12 Desember 2010

Janji Manis Si Bidadari

Permintaan yang berat. Sangat berat. Bila ia menurut, mungkin selamanya tak
akan punya tempat berpijak lagi di sungai telaga.

"Kehidupan yang tenang, jauh dari keramaian dunia, mungkin tak kalah menarik."

Seperti mengerti pergulatan batinnya, wanita itu segera berkata dengan lembut.
Sangat lembut. Senyum manis terlukis di wajahnya. Lelaki mana yang kuat
menghadapi senyum seperti itu?

Jauh dari keramaian. Kalimat itu perlahan ia ulang-ulang dalam hatinya. Ya,
hakekatnya, kehidupan seperti itulah yang harus ia jalani bila ia menerima
pilihan itu. "Kamu jangan khawatir, Si kupu kupu akan selalu mendampingimu."

Si kupu kupu, ah, wanita yang menarik. Ia tak keberatan bila terus ditemani
wanita itu hingga akhir hayatnya. Cantik, pandai masak, murah senyum,
kata-katanya selalu lembut. Tapi, bukan dia yang membuat dia lama mau
mempertimbangkan tawaran itu. Wanita yang kini berdiri di depannyalah
alasannya.

Ia begitu anggun. Tak heran bila dunia persilatan menjulukinya sebagai wanita
paling cantik di dunia. Tapi julukan sebenarnya adalah Bidadari Baju Putih.
Ia adalah pemimpin Perkumpulan Bunga. Dan Si Kupu Kupu adalah salah satu anak
buah kepercayaannya di perkumpulan itu.

Si Bidadari jadi incaran semua lelaki. Tapi ia sudah memilih. Enam bulan lagi
ia akan menikah dengan Si Pedang Langit, pendekar ternama dari Kota Tengah.
Semua menganggap mereka pasangan setimpal. Yang satu tampan, yang lain
ayu.Yang satu jago, yang lain pilih tanding.

Tapi, jelas ada masalah di antara kedua orang itu. Buktinya Si Bidadari kini
memintanya melakukan hal yang sangat berat itu. Membunuh Si Pedang Langit.
Wanita itu tahu, orang lain mungkin tak akan mampu melakukannya, tapi ia
bisa. Karena ia adalah orang yang paling dipercaya Majikan Istana Tengah,
ayah Si Pedang Langit.

Tak usah bertanya alasannya, pikirkanlah imbalannya. Begitu kata Si Bidadari
ketika ia beratnya mengapa Si Pedang Langit harus dibunuh. Imbalannya, itulah
yang membuatnya langsung kelimpungan. Tanpa malu-malu, atau berubah raut
mukanya, Si Bidadari menjanjikan untuk melayaninya selama seminggu
penuh. "Apapun yang kau minta aku pasti mengabulkan," katanya saat itu, tentu
saja dengan senyumnya yang supermanis.

***

Membunuh Si Pedang Langit adalah perkara rumit. Seperti naik ke langit. Itu
anggapan banyak orang di dunia persilatan. Tapi baginya tidak seperti itu.

Pendekar muda itu sama sekali tidak sempurna. Ia memiliki kelemahan mendasar
sebagai lelaki: gemar main perempuan. Ia menduga karena alasan ini pula Si
Bidadari ingin melepaskan diri dari kemungkinan terkikat dengan lelaki ini.

Tak banyak yang mengetahui kebiasaan buruk Si Pedang Langit. Sebagai pelayan
ayahnya, ia mungin termasuk yang sedikit itu. Tapi seperti kata pepatah,
serapi-rapinya menyimpan bangkai pada akhirnya akan tercium juga. Mungkin hal
seperti itu pula yang berlaku dengan Si Pedang Langit dan Si Bidadari.

Tapi itu semua bukan masalahnya. Masalahnya kini adalah bagaimana melenyapkan
Si Pedang Langit dengan cepat, tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia sudah punya
beberapa rencana bagus, tinggal memilih yang paling ampuh.

***

Dan ternyata semuanya sangat mudah. Bekerja sama dengan Si Kipas, wanita
penghibur paling cantik di Kota Utara, ia bisa melakukan tugasnya dengan
sempurna.

Ia sangaja memakai Si Kipas karena pernah sekali bertemu dengannya. Ia sangat
memikat dan tahu caranya menyenangkan lelaki. Ia juga tidak bermulut ember
seperti wanita penghibur lainnya.

Ia sengaja membuat jerat agar Si Pedang Langit kepincut dengan wanita yang tak
pernah lepas dari kipasnya itu. Dan itu mudah. Ia tinggal memanfaatkan
kebiasaan anak majikannya yang selalu meminum arak di Warung Merah.

Ia mengatur skenario agar Si Kipas tak sengaja menumpahkan arak si pedang
Langit. Dan semuanya kemudian sesuai rencana. Malam-malam si pedang
mendatangi kamar si kipas diam-diam. Keduanya terlibat obrolan hebat, lalu
pergumulan yang luar biasa.

Ketika nafsu sudah mereda itulah saat yang kritis. Ia sudah meminta agar Si
Kipas memberikan arak yang sudah dipersiapkan. Arak yang sudah ditaburi racun
tanpa warna, rasa, dan bau.

Karena masih termabuk oleh napsu, Si Pedang Langit pun kehilangan kewaspadaan
dan menenggak arak itu hingga habis. Sejam kemudian, ketika Si Pedang Langit
tak sadarkan diri, ia pun dengan mudah menusukkan belati ke jantungnya. Saat
itu Si Kipas sudah berlalu membawa upah yang memuaskan.

***

Dan disinilah ia. Seorang penagih yang berdebar diamuk sensasi. Kamar itu
begitu indah dan harum. Sangat sesuai untuk ditempati Wanita Tercantik di
Dunia.

"Tuan, silahkan dinikmati araknya."

Ia agak terperanjat. Ternyata di depannya sudah terhidang arak. Yang
Menghidangkan adalah Si Kupu Kupu yang tengah tersenyum manis. Wajahnya tak
menunjukkan sesuatu keanehan. Tetap seperti biasanya. Apakah dia sadar apa
yang akan terjadi antara dirinya dan ketuanya?

Ah, tapi ia tak mau terganggu dengan hal seperti itu. Ia saat ini lebih
memilih menikmati setiap detik pengalaman yang tak akanbisa diraih oleh
sembarang orang. Bahkan Si Pedang Langit yang begitu hebat pun tak bisa
merasakaannya.

"Mari, Tuan, saya permisi dulu."

Ia agak terperanjat dan lantas mengangguk menyiayakan.

Ia lantas sendiri lagi di kamar itu. Tapi tak berselang lama. Saat satu cawan
masih ia nikmati, yang ditunggu pun datang.

Si Bidadari masuk menggunakan gaun putih. Tetap anggun seperti biasanya.
Wajahnya tampak sendu, seperti menyimpan perasaan duka. Tapi mungkin juga ia
salah. Atau tak peduli. Saat ini terlalu berharga untuk dibebani masalah
apapun. Ia hanya ingin merasakan sensasi yang lama dimimpi-mimpinya itu.

"Kuharap tuan pendekar belum terlalu lama menunggu." katanya sambil tersenyum
dan duduk di sampingnya.

Ia hanya menggeleng. Wangi tubuh wanita itu sungguh memabukkan. Dan ia tak
tahan.

"Ih tuan pendekar rupanya sudah tak sabar," Si Bidadari tampaknya sadar benar
dengan keadannya lelaki di sampingnya. Ia tersenyuma, "Harap sabar, mari
minum secawan lagi, lalu tuan boleh mendapatkan keinginan tuan."

Ia segera mengambil cawan arak yang kembali sudah penuh tertuang dengan arak
itu dan langsung menegukanya. Si Bidadari menatapnya dengan tenang. Senyum
tak pernah hilang dari bibirnya.

Ia lantas berdiri berusaha mendekat ke arah si Bidadari. Tapi langkahnya tak
kukuh. Kakinya gemetar. Lalu gemetar pula seluruh badannya. Perutnya pun
bergolak. Racun? tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di benaknya. Cepat,
secepat ambruk tubuhnya di lantai.

Si Bidadari tetap duduk dengan tenang. Menyaksikan lelaki itu
menggelepar-gelepar kesakitan di lantai. Senyum kini sudah hilang dari
wajahnya.

"Jangan katakan aku tak setia pada calon suamiku. Racun dibalas dengan racun.
Jadi sekarang beristirhatakan lah engkau dengan tenang, Hai Pedang Langit,"
katanya bergumam. Lelaki itu tak jelas menangkap gumamaman itu karena
kesadarannya mulai hilang. Gelap lambat laun menguasai pandangannya,
kepalanya, dan seluruh tubuhnya.(*)

10 Desember 2010

Maling Kecil Mencuri Hati Pendekar Jelita

!m
Wajah cantik itu murung. Termangu-mangu di kursi taman. Berkali-kali terdengar
ia menghela napas panjang.

Ia tengah bimbang. Sebulan lagi hari bersejarah, yang sudah lama ia tunggu,
akan tiba. Ia akan dipersunting Li Si Pisau Maut, pendekar nomor satu di
negeri itu. Itu harusnya jadi hari yang luar biasa.

Ya, harusnya. Masalahnya adalah Liong Si Pencuri Kecil. Ia bertemu dengan
penjahat rendahan itu dua minggu lalu. Dan kini ia sulit mengusir bayangan
lelaki kurang ajar itu dari pikirannya.

Mungkinkah ia benar telah menenungku? batinnya. Sebelum berpisah, Si Liong
mencegatnya di pintu kuil. "Coba rasakan, bila malam-malam kau terus
mengingat aku berarti ilmu tenungku sudah bekerja," katanya sambil
cengengean. Golok naga yang jadi andalannya ia panggul di bahu.

Ia saat itu tak gubris. Memilih terus acuh dan berlalu pulang.

Tapi kini ia muali tersiksa. Malam-malamnya ternyata terus dipenuhi
bayang-bayang sosok si maling kecil itu. Tak sadar ia pun kembali menghela
napas.

Harusnya saat itu aku menurut kata ayah dan ibu agar tidak datang ke Kanglam,
batinnya. Dua minggu lalu, ia memang memaksa agar ayah dan ibunya mengijinkan
dia pergi meliat festival musim semi di Kanglam. Festival itu sudah jadi buah
bibir seluruh negeri dan hingga usia 18 tahun ia belum pernah menyaksikannya.

Dan omongan orang memang tak keliru. Kanglam di musim semi sungguh luar biasa.
Indah tak terperi. Keindahan alam itu dipadu dengan berbagai suguhan atraksi
seni serta pameran kuliner dan berbagai barang kebutuhan membuat Kanglam jadi
pusat tujuan orang-orang dari seluruh negeri.

Ia bahkan hampir tak kebagian tempat menginap. Beruntung ia mendapat sebuah
kamar losmen. Tapi sebenarnya, ia tak bisa dikatakan beruntung. Justru kamar
losmen itulah yang jadi biang masalah. Ia nyaris dicelaki tiga penjahat
pemetik bunga, yang tampaknya sudah terbiasa mencari mengasa di losmen dekil
itu.

Ia saat itu sudah terbius oleh asap dupa yang ditebar tiga penjahat itu. Saat
sadar keadaan sudah hampir terlambat. Badannya lemas dan ilmu silatnya
seperti menguap.

Ia nyaris digerayangi tiga bajingan itu, saat dari jendela tiba-tiba muncul
sesosok pemuda. Ia cengengesan dan berkeplok-keplok seperti senang
menyaksikan aksi mesum ketiga orang di dalam kamar. Saat kesadarannya hampir
hilang, ia pun masih menyaksikan ketiga penjahat itu merangsek menyerbu
pemuda yang duduk seenaknya di jendela.

Ketika tersadar, ia masih terbaring di ranjang itu. Pakainnya berantakan, tapi
masih seluruhnya melekat di tubuh. Yang membuat ia kaget, pemuda itu masih
tampak cengengesan di jendela. Sedangkan tiga penjahat pembius itu sudah tak
kelihatan batang hidungnya.

Begitu tenaganya pulih ia langsung menyerang pemuda itu. Tapi ternyata ia
memiliki kepandaian, bisa mengimbangi ilmu silatnya. Padahal ia selama ini
selalu membanggakan diri sebagai pendekar wanita muda yang berilmu tinggi.
Ya, ia adalah putri tunggal sepasang pedang dari utara.

Tapi, pemuda itu dengan mudah bisa mengimbangi jurus-jurusnya. Bahkan ia
berkelahi sambil cengengesan dan sama sekali tak tampak serius. Padahal,
bekalangan, ia mengetahui lelaki dekil itu hanyalah begundal kecil dari Yong
San. Ia adalah Liong Seng Ih, Si Pencuri Kecil, murid dari Raja Pencuri.(*)

05 Desember 2010

Elang Sakti di Balik Rimbun Daun

Elang Sakti di Balik Rimbun Daun

Namanya Elang. Seorang pemuda dengan ilmu tak terduga. Memilih membenamkan
diri di kota kecil. Tak pernah secara berlebihan menonjolkan kagagahannya.
Tak juga mengumbar ayunan pedang untuk menegakkan wibawa.

Tapi semua penghuni kota tak berani meremehkannya. Semua orang sadar, ia
seperti danau: tenang, tapi kedalamannya susah diterka.

Sudah berkali-kali terjadi, orang yang berani menyatroni rumahnya baru bisa
keluar berjam-jam kemudian. Mereka umumnya mengalami nasib satu di antara
dua: tersesat di taman bunga yang berliku dan berputar-putar. Atau terdiam
kaku oleh lemparan kerikil.

Yang paling jadi buah bibir adalah nahasnya nasib Si Burung Hantu, pencuri
nomor satu di rimba hijau. Satu kali, karena penasaran, ia menyatroni rumah
Si Elang. Kehebatan ilmu meringankan tubuhnya membuat ia besar nyali.

Tapi ketika itu semua warga kota menyaksikan bahwa ia, yang masuk malam hari,
baru bisa keluar keesokan siang. Semalaman ia kedinginan di bawah hujan salju
setelah sebuah, ya hanya sebuah, kerikil membuatnya tak berdaya. Ia tertotok
jalan darahnya dan harus mematung semalam di tengah taman yang membekukan
darah.

Sarang harimau. Begitu kemudian warga kota menyebut rumah Si Elang.

"Hmh, apakah dia selihai itu?" Seorang dara mendengus tak percaya. Ia cantik
dengan dandanan baju ringkas berwarna putih.

Saat itu ia ada di warung makan di ujung kota kecil itu. Saat menyantap
semangkuk mie ia mendengar pengunjung warung lain berbicara tentang rumah dan
kemesteriusan Si Elang. Seperti sebelumnya warga kota itu memang tak bosan
menggunjingkan betapa misteriusnya pemuda berusia 20-an itu. Asal usul ilmu
silatnya tak bisa diduga. Ketingian ilmunya juga tak pernah diketahui.

"Tak ada yang tahu," Seorang lelaki usia 30-an dengan sukarela menyahuti
celetukan si Nona. Ia menjawab dengan wajah dipenuhi senyum. Tangannya secara
otomatis merapikan baju dan belahan rambutnya. "Tapi siapapun yang berani
beruurusan dengannya pasti mendapat malu."

"Hmh, memangnya masih ada korban lain selain si maling kecil itu?" Si Nona
tetap bertanya dengan ketus.

Lelaki tadi agak berkerut dahinya. Ia kaget karena si nona berani menyebut
raja maling dengan sebutan maling kecil. Tapi ia tetap menjawab pertanyaan si
nona. "Ya memang ada. Banyak bahkan. Seorang pendatang dari Barat yang
berusaha mencurangi dia di meja judi malah balik ditipu. Ia yang menduga
berhasil meraih banyak emas, justru kehilangan banyak kepingan emas. Seorang
begundal terkenal di kota ini berusaha mengadu dia dengan seorang jago tua.
Pemuda ini berhasil menyadari adu domba itu. Tiga hari setelah kejadian
begundal itu ditemukan mati di rumahnya. Ia mati dalam tidurnya dengan senyum
di wajah. Tak ada yang bisa memastikan, tapi semua orang menduga kematiannya
itu tak lepas dari kelihaian Si Elang."

Si Nona kembali mendengus jengkel. "Huh, kalau memang begitu lihai mengapa dia
menyembunyikan diri di kota kecil ini. Bila melihat perkataan kalin bukannya
ia bisa tampil dan menggemparkan dunia persilatan dengan kemampuannya itu."

"Itulah justru yang membuatnya jadi lebih misterius. Sampai sekarang tak ada
yang pernah tahu asal usul dia dan kenapa dia menenggelamkan diri di kota
ini."

Dengusan si nona cantik kembali terdengar. Ia tak berkata-kata lagi. Tapi,
dalam hatinya tetap penasaran. Sebuah rencana muncul dan ia siap mewujudkanya
nanti malam.

***

Malam tiba. Gulita. Bulan yang sempat muncul tenggelam ditelan awan.

Sesosok tubuh mungil dengan enteng meloncat ke atas pagar rumah. Pakainnya
hitam dengan kain menutupi wajahnya. Hanya sepasang matanya yang mencorong
yang terlihat.

Ia seksama mengedarkan pandangan. Rumah di depannya dibalut gulita. Hanya
tampak sebersit cahaya dari salah satu ruangan yang tampaknya merupakan
tengah rumah. Telinganya ditajamkan. Sepi. Hanya sepi yang ada. Hanya suara
tok tok penjual minuman di kejauhan.

Dengan ringan sosok itu meloncat. Kaki menjejak pohon lalu mendarat di atas
genting. Tak ada suara berisik yang ditimbulkan. Ia berlari ke atas wuwungan
lalu menjatuhkan diri. Telinganya kembali mendengarkan sekitar. Sepi.

Ia membuka genting untuk melihat ke dalam rumah. Tapi tiba-tiba kesiur kecil
mengarah padanya. Ia sigap melompat, bersiap menyambut serangan. Sebuah
serangan mengarah ke tubuhnya. Ia menghindar tapi tahu-tahu serangan lain
sudah menghadang jalan menghindarnya. Ia mencabut pedang tapi sudah kasip.
Benda itu sangat cepat datang dan mengenai bahunya.

Ia mematung. Tubuh tak bisa bergerak. Pedang baru terangkat penuh dari
sarungnya, tapi tangannya tak bisa lagi meneruskan ayunan pedang itu. Hanya
matanya yang leluasa mergerak. Dan ia melihat benda yang mengenai tubuhnya
bergulir di genting. Hatinya pun seperti tenggelam. Sebuah kerikil. Ya, ia
tak berdaya oleh sebuah kerikil.

***