Namanya Elang. Seorang pemuda dengan ilmu tak terduga. Memilih membenamkan
diri di kota kecil. Tak pernah secara berlebihan menonjolkan kagagahannya.
Tak juga mengumbar ayunan pedang untuk menegakkan wibawa.
Tapi semua penghuni kota tak berani meremehkannya. Semua orang sadar, ia
seperti danau: tenang, tapi kedalamannya susah diterka.
Sudah berkali-kali terjadi, orang yang berani menyatroni rumahnya baru bisa
keluar berjam-jam kemudian. Mereka umumnya mengalami nasib satu di antara
dua: tersesat di taman bunga yang berliku dan berputar-putar. Atau terdiam
kaku oleh lemparan kerikil.
Yang paling jadi buah bibir adalah nahasnya nasib Si Burung Hantu, pencuri
nomor satu di rimba hijau. Satu kali, karena penasaran, ia menyatroni rumah
Si Elang. Kehebatan ilmu meringankan tubuhnya membuat ia besar nyali.
Tapi ketika itu semua warga kota menyaksikan bahwa ia, yang masuk malam hari,
baru bisa keluar keesokan siang. Semalaman ia kedinginan di bawah hujan salju
setelah sebuah, ya hanya sebuah, kerikil membuatnya tak berdaya. Ia tertotok
jalan darahnya dan harus mematung semalam di tengah taman yang membekukan
darah.
Sarang harimau. Begitu kemudian warga kota menyebut rumah Si Elang.
"Hmh, apakah dia selihai itu?" Seorang dara mendengus tak percaya. Ia cantik
dengan dandanan baju ringkas berwarna putih.
Saat itu ia ada di warung makan di ujung kota kecil itu. Saat menyantap
semangkuk mie ia mendengar pengunjung warung lain berbicara tentang rumah dan
kemesteriusan Si Elang. Seperti sebelumnya warga kota itu memang tak bosan
menggunjingkan betapa misteriusnya pemuda berusia 20-an itu. Asal usul ilmu
silatnya tak bisa diduga. Ketingian ilmunya juga tak pernah diketahui.
"Tak ada yang tahu," Seorang lelaki usia 30-an dengan sukarela menyahuti
celetukan si Nona. Ia menjawab dengan wajah dipenuhi senyum. Tangannya secara
otomatis merapikan baju dan belahan rambutnya. "Tapi siapapun yang berani
beruurusan dengannya pasti mendapat malu."
"Hmh, memangnya masih ada korban lain selain si maling kecil itu?" Si Nona
tetap bertanya dengan ketus.
Lelaki tadi agak berkerut dahinya. Ia kaget karena si nona berani menyebut
raja maling dengan sebutan maling kecil. Tapi ia tetap menjawab pertanyaan si
nona. "Ya memang ada. Banyak bahkan. Seorang pendatang dari Barat yang
berusaha mencurangi dia di meja judi malah balik ditipu. Ia yang menduga
berhasil meraih banyak emas, justru kehilangan banyak kepingan emas. Seorang
begundal terkenal di kota ini berusaha mengadu dia dengan seorang jago tua.
Pemuda ini berhasil menyadari adu domba itu. Tiga hari setelah kejadian
begundal itu ditemukan mati di rumahnya. Ia mati dalam tidurnya dengan senyum
di wajah. Tak ada yang bisa memastikan, tapi semua orang menduga kematiannya
itu tak lepas dari kelihaian Si Elang."
Si Nona kembali mendengus jengkel. "Huh, kalau memang begitu lihai mengapa dia
menyembunyikan diri di kota kecil ini. Bila melihat perkataan kalin bukannya
ia bisa tampil dan menggemparkan dunia persilatan dengan kemampuannya itu."
"Itulah justru yang membuatnya jadi lebih misterius. Sampai sekarang tak ada
yang pernah tahu asal usul dia dan kenapa dia menenggelamkan diri di kota
ini."
Dengusan si nona cantik kembali terdengar. Ia tak berkata-kata lagi. Tapi,
dalam hatinya tetap penasaran. Sebuah rencana muncul dan ia siap mewujudkanya
nanti malam.
***
Malam tiba. Gulita. Bulan yang sempat muncul tenggelam ditelan awan.
Sesosok tubuh mungil dengan enteng meloncat ke atas pagar rumah. Pakainnya
hitam dengan kain menutupi wajahnya. Hanya sepasang matanya yang mencorong
yang terlihat.
Ia seksama mengedarkan pandangan. Rumah di depannya dibalut gulita. Hanya
tampak sebersit cahaya dari salah satu ruangan yang tampaknya merupakan
tengah rumah. Telinganya ditajamkan. Sepi. Hanya sepi yang ada. Hanya suara
tok tok penjual minuman di kejauhan.
Dengan ringan sosok itu meloncat. Kaki menjejak pohon lalu mendarat di atas
genting. Tak ada suara berisik yang ditimbulkan. Ia berlari ke atas wuwungan
lalu menjatuhkan diri. Telinganya kembali mendengarkan sekitar. Sepi.
Ia membuka genting untuk melihat ke dalam rumah. Tapi tiba-tiba kesiur kecil
mengarah padanya. Ia sigap melompat, bersiap menyambut serangan. Sebuah
serangan mengarah ke tubuhnya. Ia menghindar tapi tahu-tahu serangan lain
sudah menghadang jalan menghindarnya. Ia mencabut pedang tapi sudah kasip.
Benda itu sangat cepat datang dan mengenai bahunya.
Ia mematung. Tubuh tak bisa bergerak. Pedang baru terangkat penuh dari
sarungnya, tapi tangannya tak bisa lagi meneruskan ayunan pedang itu. Hanya
matanya yang leluasa mergerak. Dan ia melihat benda yang mengenai tubuhnya
bergulir di genting. Hatinya pun seperti tenggelam. Sebuah kerikil. Ya, ia
tak berdaya oleh sebuah kerikil.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar