miyuni taneuh
nyerep girimis
sadrah
sumerah
taya tuntutan
taya keluhan
hayang mikanyaah salira
sarupa bakti panonpoe
nu satia nyaangan alam
taya kabosen
taya hoream
taya kahanjakal
hayang bisa ngahargaan
cinta anjeun
salawasna
sagemblengna(*)
hayang mikanyaah salira
sarupa bakti panonpoe
nu satia nyaangan alam
taya kabosen
taya hoream
taya kahanjakal
hayang bisa ngahargaan
cinta anjeun
salawasna
sagemblengna(*)
najan heureut
asa sigrong
penuh ka asih
lega ku kasadrah
imah urang
leuit pangampih asih
sajadah tempat segruk sumujud
bangku pakeeun buat ati
neuleuman kahirupan
saung basajan
sirung harepan(*)
najan heureut
asa sigrong
penuh ka asih
lega ku kasadrah
imah urang
leuit pangampih asih
sajadah tempat segruk sumujud
bangku pakeeun buat ati
neuleuman kahirupan
saung basajan
sirung harepan(*)
Satu lagi hasil keliaran imajinasi manusia. Source Code, film besutan Duncan
Jones, menyajikan sebuah teknologi anyar yang sudah dikuasai manusia. Itulah
mesin yang memungkinkan seseorang kembali ke kejadian di masa lalu lewat
tubuh para pelakunya.
Colter Stevens (Jake Gyllenhaal) berperan sebagai tentara yang jadi korban
kecelakan helikopter. Kedua kakinya hilang. Dengan mesin Source Code ciptaan
Dr. Rutledge (Jeffrey Wright) ia ditugasi merekonstruksi, bahkan mencegah
peledakan kereta cepat. Ia kembali ke tubuh salah satu penumpang dan berusaha
menemukan bom.
Mesin itu membuat ia bisa berulang-ulang kembali dan mengalami siksaan batin
menjadi korban ledakan bom. Lalu film ini pun masuk pada wilayah khas 'time
travel': bisakah seseorang mengubah masa lalu? Jawabannya terasa khas
hollywood. Tapi, bukankah memang untuk itu film dibuat: sebagai hiburan
sehingga ketika keluar dai bioskop, atau meninggalkan depan televisi kita tak
justru terbebani.
Hollywood memang sudah jauh di depan dalam urusan pengembangan imaji. Mereka
dengan leluasa mengekplorasi segala kemungkinan dan memiliki teknologi untuk
mewujudkannya sehingga semua seolah nyata. Kita tersedot dan dengan sukarela
ikut ditarik ke dalam pergulatan ide. Bahkan diam-diam kita bisa saja
dicekoki paham-paham baru, tanpa sadar tanpa perlawanan.
Film Indonesia, tampaknya masih jauh sekali tertinggal di belakang. Urusan
film kita semata horor yang mengkhianati akal sehat, atau asmara yang
mengandalkan napsu, serta pameran kemewahan yang bikin hidup kita terasa
sangat menderita.(*)