16 November 2009

Hari Hari ini

hari hari yang nyaman
pikiran tanpa beban

anak anak silih berganti
menceriakan hari

kau pun lebih tenang
menekuni segala tugas
tanpa terpalingkan
kehendak berlebihan

hari hari yang sentosa
melaju kencang tak terkira
tak terasa semua berlalu
cepat belaka(*)

11 November 2009

Terlalu Banyak Pikiran

ketika melihatmu
bicara tenang
seperti sudah latihan berulang-ulang
benakku justru diserbu
segala adegan bioskop itu:
lelaki lelaki setengah baya
menghalalkan cara
demi menjejak kaki
di temmpat tinggi
angin menghembusnya
dari kiri kanan
meruapkan berbagai aroma
sekongkol dan kebusukan

melihat mereka
berlomba tebar pesona
di depan pejabat yang dipanggilnya
pikiran jadi teraduk
beraneka kecemuk:
seorang wakil bukankah tak boleh
buta dan harus bertelinga tajam
seorang wakil bukankah tak boleh bermuka tebal?

menyaksikan
mereka duduk sambil
mengudar prestasi hari itu
hati tetap syak:
tidakkah mereka semua
hanya buaya
yang mementikan isi saku belaka?(*)

Mencari Puisi

kucari dia di tikungan remang
tak mengharapkan ia
berpupur tebal dan bergincu mencolok
justru aku menduga teduh:
sosok lembut, renyah, bertutur runtun

kucari ia di lekuk ceruk
mungkin tengah terbaring
atau jongkok mengangkang
tapi sebenarnya kuharap dia
kokoh: berdiri gagah
menyuarakan percik percik
permenungan mendalam

kucari diterang siang
dan remang malam
di balik benda dan sudut-sudut sempit
kucari
tapi tak ada
hanya ada jejak semangat
yang ditinggal kata-kata
indah memikat(*)

Lebih Baik Buta-Tuli

mungkin lebih baik
menjadi buta tuli
agar tak mengetahui
semua busuk itu
yang diumbar setiap saat
di layar kaca
yang membuat kita terpana
dan geleng kepala:
seburuk itukah sudah

ya,
memang sempat ada
harapan yang mampir
saat semua peduli
lalu angin mengalir
dari puncak gunung
tapi, jelas salah
sangat salah
untuk memiliki harapan
seperti itu
di tanah yang sudah
membusuk ini

jadi,
mari kita bersama
memilih membutakan mata
menulikan telinga
agar tak tahu
akan segala buruk
dan busuk itu
sambil berdoa
semoga kita tak harus
berurusan dengan
tikut dan buaya itu

jadi,
mari kita tidur
sambil menggumamkan
puisi tentang cinta
atau sajak tentang angin
yang membawa kabar rindu(*)

10 November 2009

Tentang Degup Bertalu

ada degup bertalu
mengirngi sore hari kerja
yang lumayan sibuk
apakah ini?
pertandakah?
sekedar mekanisme
tubuh biasa
atau badan yang sudah
lebih seksama membaca tanda?

ada degup bertalu
membuatku tak nyaman
apakah ini?
sekedar jelma kecewa
yang sedikit demi sedikit
menghampiri
atau tentang sesuatu
yang lebih besar?(*)

06 November 2009

Untuk Kau Yang Menangis Malam-Malam

tuan, maafkan kami
tak lagi tergerak
melihat air mata
meleleh di sudut matamu

kami terlalu lelah
dibisiki dongeng buaya serakah
terus berlomba mengakali
aturan dan keadilan
untuk menggelembungkan isi saku

maafkan ya, tuan
kami tak lagi yakin
ada buaya putih di kolam keruh
karena kami lihat
kalian begitu bergelimang harta
begitu bermandi sentosa
saat kami tahu
berapa harusnya isi saku itu

tuan, harap kau tak kecewa
kami kini tak lagi percaya
bila kau bilang tidak,
kami duga iya
Saat kau bilang bersih,
kami yakin berlumur lumpur

kami tahu lidahmu lentur
terbiasa menenun kata penarik simpati
tapi maaf saja
rayuan itu bukan buat kami
hati hati kini sudah membatu
setelah terus dilewati kalian
yang tak henti menginjak-injak
keadilan kami(*)

Cicak Vs Buaya

tak ada yang kudapat
selain kekecewaan
kalian saling berbalas kata di layar kaca
sambil senyum anggun
atau pasang raut prihatin
kalian bilang putih, sambil menuding hitam
kalian bilang putih, sambil menuduh abu
lalu aku menjadi yakin
tapi segera ragu,
yakin lagi, ragu lagi
yakin
ragu
yakin
tagu
ah...
dan kalian terus berkata kata
berpindah ruang dikejar kamera kamera
kami tak pasti lagi
siapa putih
siapa abu
siapa hitam
yang pasti keadilan sudah lama pergi
dari negeri ini(*)

04 November 2009

Sajak Haus

tersesat aku
di padang pasir
haus, haus, haus
tak berkesudahan
padahal sudah kucaplok tanah
kumakan motor
kulahap televisi
kutelan mesin cuci
haus, haus, tetap saja haus
tak puas puas
tiap kulihat tetangga
menenteng barang baru
terbersit rasa ingin yang hebat
haus menggelegak
kucari akal
kuterjang aral
kutak peduli
meski harus korupsi
asal terhilang
haus ini(*)

Namaku Angkoro

namaku angkoro
jariku mencengkram kanan kiri
teleponku tersambung setiap kali
bidak bidak dijajarkan
bidak bidak diarahkan
bidak bidak dimanfaatkan

uang, uang, uang
kusebar ke kanan kiri
kuselipkan ke laci jaksa
kujejalkan ke saku polisi
kusodorkan ke meja hakim
hukum pun menjadi milikku
bebas kuatur semauku

namaku angkoro
halo?(*)