08 Desember 2008

Anak yang Menjadi Asing

Kudapat pencerahan dari khutbah Idul Adha di At-Taqwa Pamulang hari ini. Khotib membahas tentang teladan Qurban dari sudut pandang Nabi Ibrahim sebagai bapak, Siti Hajar sebagai anak, dan Ismail sebagai anak. Bahasannya menyentuk kekhawatiranku selama ini.

Dari kepasrahan Nabi Ismail dalam peristiwa Qurban, kata sang khotib, kita bisa memetik pelajaran tentang posisi anak dalam hidup kita. Dialah anak yang jadi permata keluarga. Tapi bila salah asuh ada juga anak yang menjadi yang lain bagi kelurganya: jadi musuh atau jadi cobaan.

Soal anak yang jadi musuh dan cobaan itulah kegelisahanku belakangan sering bermula. Aku kini menjadi ayah dari dua putri (kembar). Kadang aku merasa khawatir saat menerawang masa depan mereka berdua.

Soalnya banyak contoh tak mengesankan di sekelilingku. Banyak anak-anak yang kita besarkan hanya kemudian menjadi orang lain. Tak sampai musuh, tapi mejadi orang asing.

Kakakku mengalami hal seperti ini. Anak sulungnya adalah permata kelurga saat dia masih sekolah. Setelah lulus, dia berubah. Memaksa kawin dengan pilihannya, tak peduli keberatan orang tuanya. Setelah kawin, dia pun menganggap ibunya seperti orang asing: hanya nomor sekian setelah suami dan kelurga besar suaminya. Kakaku terpukul, tapi tangis mungkin sudah habis tertumpah dari kakaku. Kini dia hanya pasrah.

Banyak lagi contoh yang serupa tapi tak sama. Kita pada akhirnya membesarkan anak-anak hanya untuk menjadi dirinya sendiri. Bukan sesuatu milik atau bagian dari diri kita.

Benar kata khalil Gibran, anak ibarat anak panah. Sekali kita lepaskan dari busurnya, dia bukan lagi jadi milik kita. Anak kakakku kini sudha terlepas dari busur dan memilih mengambil pendiriannya sendiri.

Entah akan seperti apa si kembar nanti. Mudah-mudahan tak terlalu buruk, ya.(*)

Tidak ada komentar: