28 Oktober 2009

Persaaan Yang Kian Akrab

perasaan yang hangat bergulir
menggelitik gelitik tepian dada

apakah ini?
seperti kedamaian
mungkin harapan
atau barangkali semacam optimisme
bahwa langkah ke muka
tak semata menyasar gulita
ada seberkas janji
sinarnya menari nari
menarik narik kaki
memberi energi

ah, perasaan itu
kian akrab saja, belakangan ini
selalu menyapa
kala kusendiri: menembus terik siang
dan temaram malam

perasaan itu susah dicerna
seperti isyarat bahwa
sesuatu yang berharga, entah apa, akan segera tiba

oh, sungguh nyaman
ku dibuatnya: seperti diterpa
semilir angin di terik siang
atau berteman hangat unggun di ujung malam

perasaan itu
semoga memang sebuah pertanda
tentang harapan
yang akan menjelma nyata(*)

27 Oktober 2009

Sajak Tikus Lepas

kau tekuk tekuk semua
aturan
logika
juga omongmu
kau anggap kami semua
bodoh dan buta
kau kira kami, rakyat
tak bisa membedakan
si bersih dari si pendosa
kau bicara manis
tapi hatimu kotor
tanganmu kotor
kau bicara aturan
tapi kau abaikan nurani
kau melenggang kini
seperti tikus
cerdik di film kartun
tapi dunia tak buta
Yang Di Atas pun tak alfa
suatu saat nanti
pasti kau akan
jatuh dan aibmu terbuka semua
dan kami pasti akan
bertepuk
dalam seringai puas
jadi sesaplah
segala nikmat itu
sepuasnya
sebelum karma menjemputmu
nikmatilah
dan kami akan terus
melihatmu
berharap kejatuhanmu(*)

26 Oktober 2009

Rumah Impianku

aku tak mimpi banyak
hanya kenyamanan dalam
kesederhanaan:
menikmati hari hari
tenang di ujung ladang
tanpa harus berpikir
tentang hasil panen

aku juga membayangkan
rumah alakadarnya
di lereng gunung
tempat nikmati hari
pagi dan sore
berteman teh hangat
malam cerah berhias
gelik suling
jentreng kecapi

rumah peristirahatan
di pantai boleh juga
tempat bernaung
setelah menemani nelayan
menjala ikan
atau menghabiskan hari
di lidah ombak

ku tak mimpi banyak
hanya kenyamanan
dalam kesederhanaan(*)

25 Oktober 2009

Saat Sujud di HadapMu

ku datang bersimpuh
berganti ganti baju

kadang putih bersih
disertai penyerahan diri
penuh dan utuh
tapi ah..
jarang sekali
itu terjadi

kerap kali
ku datang dengan warna abu-abu
sesekali putih berhias khusu
tapi segera tergelincir
hati terampas hayal dunia

kadang bahkan hitam
badan bersujud
hati membayang-bayang
segala khianat dan maksiat
nan lezat

ku bersujud
terus berjuang
menghadirkan hati
tapi oh, susah sungguh(*)

Keabadian III

senandung serak basah keabadian
menggapai gapai
menarikku
kepadamu
kepada bayangmu:
mata kejora
wajah purnama
senyum nan embun

ah kenangan itu
tetap membuatku silap
mengartikannya
seperti cinta
atau kagum belaka
selintas saja
dan akhirnya dikuburkan
saat kau teguh
meneruskan takdirmu
bersama pangeranmu(*)

23 Oktober 2009

Kebadian II

bukan karena suara
serak basah yang lihai
mengayun-ayun perasaaan
semata kenangan
yang datang tiap menyimaknya
hadir pula engkau:
mata bening,
wajah purnama,
senyum yang susah diterka

sudah terpisah jarak
kumasih tak tahu
cara mengartikan saat-saat itu
mungkin hanya rasa yang percuma
datang terlalu senja
saat kau sudah bersiap
melapal janji
dan melangkah memeluk sebuket
masa depan serba terang

padahal andaipun kau menyambut
segalanya belum tentu
serupa persis harapan di mimpi
saat itu ada khawatir
yang mengusikusik hati
kutakut tak terlalu
baik buatmu

suara serak basah
kadangkadang berkumandang lagi
dan aku kerap hentikan langkah
menyimaknya
sambil bergumam: ah, kenangan itu.(*)

21 Oktober 2009

Keabadian

sebuah kaset
sederet kenangan
tentang rasa yang percuma
karna datang terlambat
karna hidupmu sudah
serba pasti:
ada janji, tanggal pengikatan, sebuket masa depan

sebuah kaset
putih bergambar perempuan
menyimpan ingatan
yang terus mengabut
ditelan laju waktu

sebuah kaset
sebuah entahlah(*)

21 Okt 2009

Gempa

ketika hari hampir beranjak
dan kelelahan
berharap segera dibaringkan
tibalah ia
guncangan yang mengguncangkan
meruntuhkan semua
gedung menjulang
rumah
toko
sekolah
pasar
dan kesombongan kita
gempa
seperti menjawil kita
menyadarkan
bahwa semua
akhirnya bukan milik kita
jadi kita harus siap
kehilangannya(*)

20 Oktober 2009

Hati Yang Telaga

kuberharap memiliki hati telaga
supaya leluasa kau
membasuh harihari yang lusuh
menyiram segala gundah
menenggelamkan segala kekurangan

kuingin memiliki hati telaga
supaya cepat terlupa
segala marah
bukankah riak telaga
segera tenang seiring cuaca berganti

kuberhasrat menjadi telaga
dalam
tenang
dan menentramkanmu
supaya kau lena
berbaring di sampingku
tanpa khawatir
pun takut sesuatu

kuingin jadi telaga
buatmu(*)

19 Oktober 2009

Sudah Benderang Semua

kukira sudah benderang kini
yang terpenting hanyalah
keberanian
dan ketekunan
sudah saatnya kini
ketakutan dikubur
raas malas dilepas
lalu mulai menekunkan diri
dengan apa yang dimiliki
mungkin kusam
mungkin asam
mungkin tak berarti apa-apa
pada akhirnya akan ada yang berjodoh
dengan tulisan kita
menganggapnya sebagai
potret
cermin
atau bahkan telaga
tempat menghela semangat
untuk meniti hidup
sudah terang kini
yang terpenting berbuat
dengan yang kita miliki
tak usai risau
dengan kelebihan mereka semua
sudah terang kini
benderang
seperti siang
tinggal bangkit dari tidur
dan menguatkan diri
menapak, setindak setindak(*)

Musafir Abadi

akulah musafir sejati
terlunta-lunta menapak jejakmu
yang dengan cepat selalu berkelok-kelok
seperti menghindar-hindar
akulah sahaya
yang memendam kekaguman
kepada seorang tuannya
kaulah itu
sudah berapa lama?
satu, dua, tiga
tahun-tahun seperti berlari
menyampirkan lelah
ke badanku dan hatiku
yang kian kerontang
lalu akupun selamanya
jadi sinta pendosa
selalu mendambamu
saat dilimpahi kasih
tak berbilang dari sang rama
o.. angin
o.. waktu
kapankah semua ini berakhir?
kuberharap
suatu saat bisa menatapmu
dengan damai
tanpa gejolak cinta dan napsu
yang bertahun terpendam
o..(*)

Renungan Setengah Jalan II

hampir separuh jalan
napas sudah ngos-ngosan
terasa berat kaki dibawa
gundah dan kecewa bebani dada
ah, ini bukan mimpi yang dulu
yang kureka-reka sebagai
sorga dunia
ini hanyalah ladang pertarungan
tanpa akhir
melawan ego
kecemasan
dan kekecewaan tak berkesudahan

setelah setengah jalan
aku hampir kalah
tapi masih terus berusaha melangkah
sambil berharap
cahaya akan tiba
tuk lebih terangi jalanku(*)

Lidah

suatu hari terpetik lah pelajaran berharga
tentang lidah setajam pedang
yang sudah jadi buah bibir dunia
tapi aku baru merasanya malam itu
saat istri merengut di pojok dapur
dia protes atas komentarku tadi siang
sebelum berangkat kerja
"memang komentar apa sih?
kok sampai diomongin pedas begitu?"
aku melongo
komentar apa?
bukankah hanya soal pohon tetangga
yang menjulang angkasa
kukatakan layak ditebang karena
sudah mengangkangi kabel listrik
aku enteng saja berkata begitu
karena sudah merasa dekat dengan
tetanggaku itu
rupaanya setelah pergi
muncul komentar pedas entah dari siapa
kenapa harus urusi rumah orang?
rumah sendiri saja tak karuan.
ya ampun
lagi-lagi lidahku
kata-kata yang kuanggap biasa saja
ternyata bisa jadi belati
yang menyakiti sesiapa
tampaknya,
sudah saatnya kata lebih dijaga(*)

18 Oktober 2009

Renungan Setengah Jalan

JALAN berliku, berdebu
kubelokkan langkah
mendinginkan kepala di rimbun pepohonan
terduduk sambil menatap ke belakang
ah, jalan panjang sudah dipijak
penuh onak
penuh luka
dibumbui sedikit bahagia
teringat tadi
hati sempat geram
nyaris memutuskan menyembal
mencari jalan lain
tapi lalu muncul dua pasang
mata bening
menatap bertanya-tanya
aku tak bahagia
tapi mungkin ini hanya rasa yang dibikin sendiri
oleh pengharapan berlebih
keinginan tanpa akhir
seandainya lebih sederhana
dan membiarkan segala
menyandang kelemahannya
mungkin akan bahagia(*)

13 Oktober 2009

Puisi di Rubrik Oase Kompas (2 Oktober)



Karya Nurdin Saleh
Jumat, 2 Oktober 2009 | 20:50 WIB

Setelah Lama di Jakarta

KULIHAT bocah lusuh melolong
dalam deras hujan di depan mall
lelaki berpayung di sampingnya
berusaha menarik-narik tangannya
sempat kuhentikan langkahku
cetus itu pun mengusik hati:
mungkinkah ini penculikan
untuk dijadikan anak jalanan?

kusua pria setengah baya
menyapa dengan manis budi
sangat akrab serasa sahabat lama
aku membalasnya dengan ragu
syak itu menyelip mengganggu
mungkinkah ia pura-pura baik
karena ada maunya?

dalam penantian mengesalkan
di hadapan birokrasi
silih berganti tamu elegan bertas besar
datangi kepala bagian
curiga pun menyapa:
jangan-jangan tas itu penuh
amplop sogokan untuk melicinkan proyek?

seorang tetangga mendadak sentosa
membangun rumah seperti tak peduli biaya
aku pun menjawil istri:
paling ia korupsi
mana mungkin seorang pegawai negeri mampu begitu?

setelah bertahun di kota ini
hari berganti, wasangka justru menjadi-jadi(*)
Pamulang, April 2009

Pemetik Abadi

PERGI lagi ke firdaus itu
memetik bunga-bunga kata
seindah melati, mawar, dan rupa-rupa
kucecap kuhirup pesona senandung pujangga
lalu kupulang menggenggam tekad seluas angkasa
kukan tumbuhkan bunga-bunga serupa
di taman sendiri
tapi ah, apalah dayaku: tak ada benih, tiada rabuk
harapan pun menjelma hampa
dan aku hanya akan terus kembali
ke taman itu: menjadi penikmat, pemetik abadi(*)
Pamulang, Mei 2009

Memaknai Hari

BAGAIMANA harus memaknainya
gundah dan bahgia bergulat
begitu mesra
tak henti berebut ruang hati
yang tak lagi lapang

jarum jam seperti diputar balik
adegan diulang-ulang
kembali ke titik-titik itu jua
hari ini tak beda kemarin:
dapur, ruang tengah, mall
dan setumpuk resah dan gundah

waktu tampaknya hanya berhasil memeta
pada sosok buah hati kita
kian hari kian beranjak
serupa insan dewasa:
membesarkan ego, haus sanjung puja

tapi derap waktu
tlah gagal mengubahmu
kau masih jinak-jinak merpati
seperti tunduk patuh sepenuh hati
tapi lantas mengulang-ulang
hal kecil itu
yang lanas membunuh sisa hariku

bagaimana memaknai hari ini
saat harap berujung kecewa
lalu kejutan kecil
kembali kobarkan asa(*)
Pamulang, April 2009

Cinta Yang Kucurahkan
: rpa dan lda

SATU waktu aku pasti merindumu
ketika angin rintih
menyapa senja di balkon sunyi
bibirku mungkin terus lapalkan asmamu
batinku tak henti melukis bayang indahmu

pasti kuingat semua
saat-saat kebersaam kita
hari ini dan kemarin:
tawa yang ceria
isak yang duka
manja yang luar biasa

saat itu aku mungkin sudah di ambang pintu
bermandi uban dipayungi
matahari kekuningan nyaris keperaduan
aku sendiri, tapi tak kesepian
selalu ada engkau
yang kubayang-bayangkan
kuduga-duga polah lagakmu

sudah pasti aku merindumu
juga akan kehilanganmu
tapi pasti kulepas kau
dengan lega dan rela
menjadi burung yang mencari bebas
atau air yang menyusuri takdir
karna kuyakin sekali
hari ini dan kemarin
karena telah kucurahkan cintaku
yang paling sempurna(*)
Pamulang, Mei 2009


(Nurdin Saleh, Jurnalis, kini tinggal di Pamulang. Masih membaca novel dengan penuh hasrat, tapi kian kesulitan merampungkan tiap cerita pendek yang dibacanya. Di sela kesibukan yang kian menekan makin yakin ba