01 Oktober 2010

Nagabumi, lebih Tebal Bukan Berarti Lebih Menarik


Ketika pertama melihat buku Nagabumi saya langsung kepincut. Itu adalah buku silat. Sangat tebal, lebih dari 800 halaman. Dan yang mengarang adalah Seno Gumira Ajidarma, penulis cerpen yang sudah kondang.

Setelah buku di tangan, seperdi diduga, Seno memang sangat serius menulis cerita ini. Terlihat dari daftar pusataka dan daftar catatan kaki untuk tiap bab buku itu.

Tapi setelah mulai membaca, terus terang saya agak kecewa. Sebagai penggemar cerita silat, dahaga saya tak terlalu terpuasakan.

Dalam membaca buku seya secara otomatis menggolong-golongkan buku di tangan dengan perasaan saat membaca. Bagus sekali: bila saya enggan teralihkan begitu mulai membacanya. Bagus: bila setelah bacaan terhenti saya masih sangat berhasrat untuk melanjutkannya. Biasa: bila buku yang dibaca masih terus ditekuni meski sejumlah halaman atau bagian dilewati serta saat kita berhenti di tengah-tengah kita tak terlalu terpacu untuk menyambungnya lagi. Biasa sekali: bila setelah beberepa halaman saya harus berjuang untuk mencermati halaman berikutnya.

Buku Nagabumi ini saya rasakan masuk kategri biasa, bahkan cenderung biasa sekali. Mungkin hal itu disebabakan pengharapan berlebih bahwa sebagai penulis ulung Seno akan bisa menghadirkan cerita silat yang lebih menawan dari serial Gajah Mada atau Senopati Pamungkas.

Beberapa hal membuat saya kurang srek membaca buku ini.

Pertama, pemilihan tokoh utama yang sudah berusia 100 tahun. Tokoh ini memang melakukan flash back, termasuk perjuangan dia menjadi pendekar besar. Tapi sejak awal porsi penceritaan saat dia sudah berusia 100 tahun cukup banyak. Dengan pemilihan seperti ini tentu Seno memiliki tujuan tertentu. Salah satunya mungkin keleluasaan untuk menyelipkan berbagai ajaran kuno yang dengan fasih dia kuasai. Tapi pemilihan seperti ini juga berlawanan dengan pakem penulisan "happy ending" yang kerap dimiliki cerita silat. Saya sendiri akan lebih seksama mengikuti buku ini bila dimuali dari masa kecil si tokoh dan perkembangannya hingga akhir. Pemilihan tokoh yang sudah sepuh juga menghalangi kemungkinan terciptanya roman yang mendebarkan dalam buku ini.

kedua, terlalu terbebani misi. Seno tampaknya hanya menjadikan cerita sebagai wadah untuk menyampaikan pandangan dan pengetahuan dia tentang agama, nilai, budaya, serta falsafah dari masa lalu. Oke. Masalahnya dia terlalu banyak mengumbar wacana itu dalam setiap babnya. Sehingga cerita tentang "silat" dan drama yang menyertainya juga jadi sedikit terpinggirkan. Saya bahkan makin sering melompati halaman demi halaman karena tak telaten mengikuti bait-bait sair dari berbagai buku kuno yang terud dikutip penulis.

Saya terus terang belum bisa membaca buku itu hingga setengahnya. Tapi saat saya memiliki waktu senggang, saya masih harus melecut diri agar bisa meneruskan mencermati buku ini. Pengalaman sama tak saya dapatkan dengan buku serial Gajah Mada yang bagi saya masuk katagori "Bagus" dan terus mendorong saya untuk mencermati jalan ceritanya hingga akhri, meskipun kita sudah tahu cerita besarnya.(*)

Tidak ada komentar: