Banyak kenangan akan ditinggalkan di sini. Selama belasan tahun bergulat setiap hari mengacap pahit, manis, suntuk, dan semangat yang naik turun.


Minggu kembali berlalu. Apa yang sudah dilakukan? Sama saja. Hanya mengulang bait-bait yang itu-itu juga.
Seorang motivator mungkin akan berkata: saatnya berubah. Tapi apanya yang diubah. Segala gerak baru dibebani risau dan malas. Hasrat liar pun hanya bergejolak dalam hati.
Kalau melihat ke belakang, mungkin akan kecewa. Ibarat memandang lukisan dengan sapuan kurang tegas. Penuh keraguan, banyak penghindaran. Tahu apa yang kurang, tapi tetap tak paham memperbaikinya.
Teringat coretan puisi selulus kuliah dulu. Tentang bintang di langit dan ketertinggalan. Kini rasanya mulai mewujud semua. Menusukkan meriang ke sekujur badan.
Kadang muncul kilasan pikiran. Langkah sudah di ujung. Cukup terus bergerak dengan ritme sekarang. Tapi ada pula kesadaran soal perlunya memegang idealisme. Berikhtiar dengan asumsi hidup masih seribu tahun lagi.
Hari terus berganti. Pergulatan ingin, kecewa, ragu, dan harap tak juga usai. Dan waktu beranjak tanpa banyak menorehkan jejak.(*)
Sebuah tulisan, apalagi yang panjang seperti buku, pastilah hasil dari sederet pengorbanan. Ada malas dan kantuk yg dibunuh. Ada hasrat meneguk kesenangan yang ditekan. Ada disiplin tak berkesudahan.
Semua itu justru tak mau hadir di diriku. Aku lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi, atau berselancar di dunia maya.
Mungkin juga karena tak tahu pasti mau menulis apa dan buat apa. Menulis tanpa arah juga rasanya tak berguna.
Jadi memang ada dua masalah di sini: menetapkan tujuan dan mengukuhkan motivasi.(*)
Ketika membaca kita kadang menemukan "warna" penulisnya dengan gampang. Kita mengikuti kata demi kata dengan kesadaran "oh, ini dia banget" sambil membayangkan sosok penulisnya.
Ketika membaca buku dewi "dee" lestari saya tak bisa melakukan itu. Saat membaca supernova hingga gelombang, saya bahkan kerap takjub: benarkah karya ini lahir dari tangan seorang penyanyi?
Lembar demi lembar dalam bukunya menyihir. Alami. Punya daya pikat yang membuat kita enggan beranjak.
Ia salah satu pengarang favorit saya.(*)
Mungkin karena kita mendamba kehebatan
Di diri kita: seperti patrick jane
Menghadapi kesulitan dengan tersenyum
Menyelesaikan tantangan dengan solusi berbeda: sederhana tapi cerdas dan mencengangkan
Mungkin karena kita hidup dalam rimba masalah tak sudahsudah
Maka kita cinta patrik jane
Lelaki tampan nan nyentrik
Menyelesaikan tekateki pembunuhan
Dengan jalan memutar tak terduga
Dan ia, patrick jane
menikmati tantangan itu
dengan tetap berjarak: "aku cinta telur ceplok, tapi bukan berarti aku mendedikasikan diri untuknya dan menutup pintu untuk makanan lain"
Dari deadline ke deadline
Memelihara tenaga, semangat, dan konsistensi
Semua alangkah singkat
Puji atau caci
Hanya sekejap tersampir
hingga berita baru muncul
Hingga karya baru lahir
Segala amatlah nisbi
kehebatan hari ini
Bisa berubah nestapa
di hari esok: saat kenyataan baru
Datang mencubit
Hari ke hari
Tenggelam dalam tantangan
Yang menjelma rutinitas melenakan dan melelahkan
berusaha terus melangkah
membunuhi kecewa
menyiangi gulmagulma
Memelihara asa
Waktu ke waktu
Terus berpacu
sambil meyakinkan hati
Ini hidupku
Dan ini berarti(*)
Menunduk hanya membuatmu tenggelam
Dalam renung dan ratapan diri
Lalu langkah seakan terbebani
Terkunci pemikiran dan kalkulasi soal mungkin dan tidak
Luasnya dunia tak lagi kau lihat
Lebarnya peluang tak lagi terasa
Harusnya angkat muka
Palingkan wajah lihat sekeliling
Datangi dan selami semua
Hingga kau tahu pasti
Batas mungkin dan tidak dari jejak kaki nan pasti
Dan bukan sekedar kalkulasi di dalam kepala
Keadaan kadang melenakan
Membuat kita nyaman
seperti berenang di lautan padahal hanya kubangan
Harus berani melangkah
Keluar meninggalkan kenyamanan
Bersua hal baru yang mungkin bisa jadi darah baru
Jangan terus menunduk
Lihatlah sekeliling....(*)
Dimana-mana bisa dengan mudah kita temui: di pinggir jalan, tempat-tempat sempit, dan lokasi lain yang tak terbayangkan. Mereka berusaha mandiri dengan usaha sendiri. Mungkin terlihat kecil, sepele, dan nyaris susah diterima nalar. Tapi mereka hidup. Tertawa di tengah keterbatasaannya.
Mereka adalah pekerja gigih. Bangun pagi buta atau begadang semalaman. Mereka memanggul, mendorong, atau terus berjalan tanpa ujung. Mereka hanya meraih sedikit tapi tak pernah mau berhenti. Atau memang tak mungkin berhenti. Karena bila itu dilakukan sama artinya mati.
Mereka ada di sekeliling. Terpingirkan oleh sistem dan keadaan. Tapi lihatlah mereka. Di tengah keterbatasan tetap ulet. Di tengah derita mereka masih bisa bercanda tawa.
Lalu, mengapa kita--yang lebih beruntung-- harus terus ditelikung suntuk? Terus khawatir tentang hal-hal kecil yang mungkin akan terjadi? Terus merasa tidak beruntung? (*)
Kasadaran ngetrokan panto nurani
basa diuk ngadagoan di palataran masjid
Ngelingan ngangajak balik kana bakti jeung iman
Tapi hate bedegong
Anggur kalah diantepkeun
Lir nyanghareupan nu baramaen pupuntenan
Geus jauh pisan hate malieus
Tina kasadrahan jeung bakti ka Gusti
Meureun kapepende nikmat dunya
Boa kalangsu kabawa napsu
Di palataran masigit
Sabot ngadagoan barudak sakola
Aya paguneman jero ati
Tapi si bodas can rosa nyoara
Napsu kulawu masih kumawasa. (*)
Tak ada khusuk
Atau niat menyungkur menenggelamkan diri dalam bakti
Bahkan hati tak terusik
Lalu lalang jamaah sentosa beribadah
Di sini hanya menunggu
membunuh waktu
Hingga buah hati keluar gerbang sekolah
Di pelataran mesjid ini
Terasa betapa sudah jauh hati
Terpaling dari segala ajaran mulia di surau dulu
Betapa hati sudah mengeras seperti batu
Terbuai nikmat dan kemilau dunia
Untuk semua panggilan dan pengingat itu
Hati hanya berbisik lirih: ah nanti saja....(*)
Kita selalu alfa
Menjadikan saat ini sebagai antara
Jembatan menuju esok yang
Semoga lebih sentosa
Lalu kita bunuh waktu
Dengan halhal remeh tak berarti
Padahal esok belum tentu tiba
Yang kita miliki hanya saat ini
Mengapa hanya disiasia(*)