24 April 2015

Hari terakhir

Ini malam terakhir di velbak. Mulai besok, kantor akan boyongan ke palmerah, ke kantor baru.
Banyak kenangan akan ditinggalkan di sini. Selama belasan tahun bergulat setiap hari mengacap pahit, manis, suntuk, dan semangat yang naik turun.


Image result for kantor tempo velbak



Image result for kantor koran tempo velbak


Image result for kantor koran tempo velbak






18 April 2015

Pergulatan benak

Minggu kembali berlalu. Apa yang sudah dilakukan? Sama saja. Hanya mengulang  bait-bait yang itu-itu juga.

Seorang motivator mungkin akan berkata: saatnya berubah. Tapi apanya yang diubah. Segala gerak baru dibebani risau dan malas. Hasrat liar pun hanya bergejolak dalam hati.

Kalau melihat ke belakang, mungkin akan kecewa. Ibarat memandang lukisan dengan sapuan kurang tegas. Penuh keraguan, banyak penghindaran. Tahu apa yang kurang, tapi tetap tak paham memperbaikinya.

Teringat coretan puisi selulus kuliah dulu. Tentang bintang di langit dan ketertinggalan. Kini rasanya mulai mewujud semua. Menusukkan meriang ke sekujur badan.

Kadang muncul kilasan pikiran. Langkah sudah di ujung. Cukup terus bergerak dengan ritme sekarang. Tapi ada pula kesadaran soal perlunya memegang idealisme. Berikhtiar dengan asumsi hidup masih seribu tahun lagi.

Hari terus berganti. Pergulatan ingin,  kecewa, ragu, dan harap tak juga usai. Dan waktu beranjak tanpa banyak menorehkan jejak.(*)


16 April 2015

Danau Cahaya

kan kuajak kau
ke danau itu
sore hari: saat matahari keemasan
memantul di muka air

lalu kita duduk bersisian
dalam bisu
memandang keajaiban di depan mata
: ini surga (*)

Lake Wanaka, New ZealandAndre Distel

13 April 2015

Menulis = Pengorbanan

Sebuah tulisan, apalagi yang panjang seperti buku, pastilah hasil dari sederet pengorbanan. Ada malas dan kantuk yg dibunuh. Ada hasrat meneguk kesenangan yang ditekan. Ada disiplin tak berkesudahan.

Semua itu justru tak mau hadir di diriku. Aku lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi, atau berselancar di dunia maya.

Mungkin juga karena tak tahu pasti mau menulis apa dan buat apa. Menulis tanpa arah juga rasanya tak berguna.

Jadi memang ada dua masalah di sini: menetapkan tujuan dan mengukuhkan motivasi.(*)

Dee

Ketika membaca kita kadang menemukan "warna" penulisnya dengan gampang. Kita mengikuti kata demi kata dengan kesadaran "oh, ini dia banget" sambil membayangkan sosok penulisnya.

Ketika membaca buku dewi "dee" lestari saya tak bisa melakukan itu. Saat membaca supernova hingga gelombang, saya bahkan kerap takjub: benarkah karya ini lahir dari tangan seorang penyanyi?

Lembar demi lembar dalam bukunya menyihir. Alami. Punya daya pikat yang membuat kita enggan beranjak.

Ia salah satu pengarang favorit saya.(*)

11 April 2015

The mentalist

Mungkin karena kita mendamba kehebatan
Di diri kita: seperti patrick jane
Menghadapi kesulitan dengan tersenyum
Menyelesaikan tantangan dengan solusi berbeda: sederhana tapi cerdas dan mencengangkan

Mungkin karena kita hidup dalam rimba masalah tak sudahsudah

Maka kita cinta patrik jane
Lelaki tampan nan nyentrik
Menyelesaikan tekateki pembunuhan
Dengan jalan memutar tak terduga

Dan ia, patrick jane
menikmati tantangan itu
dengan tetap berjarak: "aku cinta telur ceplok, tapi bukan berarti aku mendedikasikan diri untuknya dan menutup pintu untuk makanan lain"



10 April 2015

Jurnalis

Dari deadline ke deadline
Memelihara tenaga, semangat, dan konsistensi

Semua alangkah singkat
Puji atau caci
Hanya sekejap tersampir
hingga berita baru muncul
Hingga karya baru lahir

Segala amatlah nisbi
kehebatan hari ini
Bisa berubah nestapa
di hari esok: saat kenyataan baru
Datang mencubit

Hari ke hari
Tenggelam dalam tantangan
Yang menjelma rutinitas melenakan dan melelahkan
berusaha terus melangkah
membunuhi kecewa
menyiangi gulmagulma
Memelihara asa

Waktu ke waktu
Terus berpacu
sambil meyakinkan hati
Ini hidupku
Dan ini berarti(*)

08 April 2015

Tanjakan

Hidup kadang seperti ini:
Menanjak, curam, berdebu
Tak nyaman

Episode yang niscaya ada
Setelah jalan datar, turunan, dan kemudahan

Usahlah menangis dan  balik langkah
Sesekali menghela napas atau mengeluh tak apa
Tapi tetap jejakkan kaki
Satu satu
Setindak demi setindak
Sambil berbisik: akan ada akhir baik di ujung langkah
Sambil tanamkan yakin: ada buah manis dari segala sabar ini (*)

07 April 2015

Bubur ayam pamulang

Bubur ayam baru buka. Khas cirebon (bedanya apa ya?). Deket rumah, tepatnya di Jl beda raya.
Enak. Sebelas dua belas ama yang di vila pamulang. Kalo dengan skala 5 dapat 4,5 lah.

Ada juga bubur ayam lain yg suka disambangi di pamulang ini: di pasar bukit (nilai 3,5), samping vitalaya (3,5), dekat kantor polisi bsr (3,9), di depan buah hati dan danau (4), arema (4). Mana lagi ya?

Tentang Kopi

Saya hanyalah penikmat kopi biasa. Segelas sehari. Tak pernah terlalu pemilih, tidak juga fanatik. Apa yang ada dinikmati. Tapi yang paling sering: ya kapal api mix sama indocafe mix. Mungkin itu yang paling pas di lidah. Atau karena yang lebih nikmat susah diakses.

Kopi bagi saya hanyalah pelengkap hari. Mendongkrak semangat ketika mata mulai berat dibawa kerja. Ketika di rumah perlu teman menonton tv atau film. Selalu di siang hari, karena bila malam, alamat tak bisa tidur.

Menyesap kopi di cafe rasanya masih terlalu mewah. Melihat bill-nya kerap merasa bersalah pada anak-anak di rumah. Alangkah elok bila uangnya disimpan saja untuk keperluan mereka. Hehehe, maklum bapak yang baik, tapi miskin.

Perkenalan dengan kopi sejak belia, sebenarnya. Kala itu kerap diajak bapak dan ibu panen kopi di pinggiran kebun. Buat dikeringkan dan bijinya dijual ke pasar mingguan (biasanya hari selasa, yang dekat, dan Sabtu yang ramai tapi lebih jauh).

Perekenalan dengan kopi sebagai minuman mungkin sekitar kelas enam SD atau satu SMP. Kebetulan saja. Waktu itu di rumah ada kenduri. Orang yang mendirikan tenda (istilah sundanya balandong, terbuat dari bambu terpal) dengan bergotong royong selalu disuguhi kopi. Karena bikinnya banyak, tak sedikit yang tersisa. Saya pun mengecapnya.

Hmh, manis. Hanya itu, kesannya. Sebagai anak, tak lalu tergila-gila. Daya tariknya saat itu masih lebih tinggi es dawet atau es goyobod yang dijual keliling kampung.


SMA, kuliah, dan awal-awal kerja hanya sambil lalu saja menikmati si hitam manis ini. Kalau ada, apalagi pas ramai-ramai, yang dinikmati. Ketika sendiri, tak pernah tergiur untuk mencari atau membikin.

Setelah kerja di Jakarta baru seperti nyandu. Nyaris tak ada hari berlalu tanpa minuman ini. Agak aneh juga rasanya. Tak jelas awalnya kenapa, tahu-rahu sudah seperti itu. Mungkin karena di kantor memang tersedia. Dan kerap terlalu lama duduk juga sering membikin ngantuk. Maka menyeruput kopi jadi salah satu variasi. Meski belakangan ini terasa kurang afdol kalau sudah lewat tengah hari belum menyesapnya.

Ya, mulai kecanduan tamoaknya, Tapi, tetap saja saya merasa takjub melihat orang yang terjerat oleh  para penikmat kopi yang menjadikannya seperti budaya atau jalan hidup. Rutin mendatangi kedai kopi, dari yang lokal hingga impor. Rutin berburu berbagai rasa kopi dari berbagai daerah. Lalu, membaca pula buku Dewi Lestari tentang kopi (apa ya judulnya?). Wah, cetus dalam hati. Lalu melihat tayangan televisi tentang para barista. Pembuat kepi sebagai karya kuliner utama. Rasa diulik dan penyajiannya dihias-hias dindah-indah. Lebih wah lagi.

Tapi, bagi saya semua itu adalah dunia yang lain. Dunia di luar sana. Bukan keseharian saya. Saya tetap hanyalah penikmat kopi biasa. Sekedar ikut-ikut atau karena kebutuhan. Apa yang ada diseduh dan disesap. Untuk dunia yang di sana itu, saya hanya menikmatinya dari lembar kertas, layar televisi, atau cerita teman sekantor. Dan rasanya, saat ini itu sudah cukup. Seperti segelar kopi sehari. Tak lebih, tak kurang. (*)

Image result for segelas kopi



 

Memetik Kopi


Kopi. Apa yang pertama melintas di pikiran mendengar kata itu?

Saya teringat ibu dan bapa. Serta betapa banyak hal kecil yang tak terrengkuh dengan seksama.

Pertautan saya dengan kopi terjadi di kampung halaman. Kopi yang dimaksud adalah kopi yang masih berupa buah. Ya di pojokan kebun, ayah memiliki banyak pohon kopi. Bersama hasil kebun lain, kopi menjadi tambahan penghasilan bapak yang saat itu menjadi guru.

Kala itu ayah kerap dipuji orang karena telaten berkebun. Ia biasanya hanya menjawab sambil tersenyum kecil: kalau ngandelin gaji doang susah hidup. Kebunnya tak luas, tapi ada di beberapa lokasi. Tanamannya rupa-rupa: kelapa, pisang, nangka, duku, manggis, kapol, cengkih, hingga kopi. Hasilnya lumayan. Sekedar buah sih tak pernah harus membeli.

Kopi termasuk tanaman yg memberi sumbangan lumayan. Bisa dipetik rutin sebulan atau dua bulan sekali. Gak banyak hasilnya: paling banyak 3-4 kilogram saja. Tapi, tetap lumayan buat tambahan dapur.

Proses hingga kopi bisa dijual lumayan ribet. Bapa dan ibu kerap melibatkan kami--tiga anaknya yang ada di rumah--dalam prosesnya. Dimulai dari memetik, mengeringkan, hingga mengupas.

Kala itu kami anak-anaknya umumnya bersikap sama: membantu karena terpaksa.Tugas seperti itu hanya memalingkan kami dari kesenangan bermain bersama teman sebaya.

Lagi pula, proses memetik kopi itu jauh dari kesan asyik. Saat tangan sibuk meraih kopi yang sudah ranum matang atau hijau menua, badan juga kerap jadi santapan nyamuk yang berpesta pora.

Masih terbayang suasananya: nyamuk terus melancarkan teror bunyi "nging" di telinga bersahutan dengan bunyi tonggeret yang tak henti bersuara. Di seka memetik kopi tangan juga kadang harus sering tabok sana tabok seini menepuki nyamuk yang berpindah-pindah mengisap darah di tangan, kaki, dan wajah.

Jadi, apa enaknya? Kenang tentang kopi, salah satunya ya seperti itu. Karena suasan itu pula kemudian saya tak benar-benar intens mendalami dan menggali tentang kopi ini. Kopinya jenis apa, pemasarannya bagaimana, rasanya seperti apa sama sekali tak tersentuh. Karena memang persentuhan yang terjadi seperti dipaksakan dan tak sedikitpun diberi bumbu yang bikin asik.

Celakanya, semua hal-hal berkenaan dengan kebun, sawah, ternak, kayu bakar dari masa a kecil sayprosesnya juga nyaris selalu seperti itu. Jadi hal-hal dari masa kecil yang seharusnya menarik itu hanya dijalani dengan setengah terpkasa tanpa dihayati apalagi didalami. Sekarang kerap muncul rasa sesal karena seolah-olah saya telah melepaskan kesempatan emas untuk merengguk pengetahuan, yang belakangan saya tahu sangat berarti.
Kopi misalnya, kini menjadi satu segmen penting dalam kehidupan modern. Dan dulu saya punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, tapi tak dimanfaatkan dengan maksimal. Akhirnya hal itu hanya jadi sekelebat kenangan masa kecil yang nyaris tak berarti apa-apa. (*)

 Image result for pohon kopi robusta


Lihat ke sekeliling

Menunduk hanya membuatmu tenggelam
Dalam renung dan ratapan diri
Lalu langkah seakan terbebani
Terkunci pemikiran dan kalkulasi soal mungkin dan tidak

Luasnya dunia tak lagi kau lihat
Lebarnya peluang tak lagi terasa

Harusnya angkat muka
Palingkan wajah lihat sekeliling
Datangi dan selami semua
Hingga kau tahu pasti
Batas mungkin dan tidak dari jejak kaki nan pasti
Dan bukan sekedar kalkulasi di dalam kepala

Keadaan kadang melenakan
Membuat kita nyaman
seperti berenang di lautan padahal hanya kubangan
Harus berani melangkah
Keluar meninggalkan kenyamanan
Bersua hal baru yang mungkin bisa jadi darah baru

Jangan terus menunduk
Lihatlah sekeliling....(*)

Mengapa khawatir?

Dimana-mana bisa dengan mudah kita temui: di pinggir jalan, tempat-tempat sempit, dan lokasi lain yang tak terbayangkan. Mereka berusaha mandiri dengan usaha sendiri. Mungkin terlihat kecil, sepele, dan nyaris susah diterima nalar. Tapi mereka hidup. Tertawa di tengah keterbatasaannya.

Mereka adalah pekerja gigih. Bangun pagi buta atau begadang semalaman. Mereka memanggul, mendorong, atau terus berjalan tanpa ujung. Mereka hanya meraih sedikit tapi tak pernah mau berhenti. Atau memang tak mungkin berhenti. Karena bila itu dilakukan sama artinya mati.

Mereka ada di sekeliling. Terpingirkan oleh sistem dan keadaan. Tapi lihatlah mereka. Di tengah keterbatasan tetap ulet. Di tengah derita mereka masih bisa bercanda tawa.

Lalu, mengapa kita--yang lebih beruntung-- harus terus ditelikung suntuk? Terus khawatir tentang hal-hal kecil yang mungkin akan terjadi? Terus merasa tidak beruntung? (*)

06 April 2015

Bedegong

Kasadaran ngetrokan panto nurani
basa diuk ngadagoan di palataran masjid
Ngelingan ngangajak balik kana bakti jeung iman

Tapi hate bedegong
Anggur kalah diantepkeun
Lir nyanghareupan nu baramaen pupuntenan

Geus jauh pisan hate malieus
Tina kasadrahan jeung bakti ka Gusti
Meureun kapepende nikmat dunya
Boa kalangsu kabawa napsu

Di palataran masigit
Sabot ngadagoan barudak sakola
Aya paguneman jero ati
Tapi si bodas can rosa nyoara
Napsu kulawu masih kumawasa. (*)

Di halaman mesjid

Tak ada khusuk
Atau niat menyungkur menenggelamkan diri dalam bakti
Bahkan hati tak terusik
Lalu lalang jamaah sentosa beribadah
Di sini hanya menunggu
membunuh waktu
Hingga buah hati keluar gerbang sekolah
Di pelataran mesjid ini
Terasa betapa sudah jauh hati
Terpaling dari segala ajaran mulia di surau dulu
Betapa hati sudah mengeras seperti batu
Terbuai nikmat  dan kemilau dunia
Untuk semua panggilan dan pengingat itu
Hati hanya berbisik lirih: ah nanti saja....(*)

05 April 2015

Mercusuar

kerap menepikan diri
menghindari keramaian: sibuk
dengan hasrat
dan lamunan sendiri

tapi tetap tak bisa seperti
mercusuar itu: dalam kesendirian
tak henti memberi sinar
bagi pejalan di kegelapan samudra. (*)

 

04 April 2015

Bengkel sepeda

Membelah gerimis. Ngosngosan di punggung si seli. Ke bengkel benerin penyakit-penyakit kecilnya. Tak tuntas, sayangnya. Seperi di toko tu bengkel juga ga punya onderdil penahan setelan sadel.
Pulang kecewa di tengah hujan yang kian deras. Sambil mikir cara untuk menyelesaikan masalahnya. Ah terpikir juga satu cara. Besokbesoklah  dicoba.

03 April 2015

Jum'atan

Di mesjid baiturrahman pondok pinang.
Lima bulan terakhir selalu jumatan di sini.
Pas di tengah jalan ke kantor.

02 April 2015

Menanti

Kita selalu alfa
Menjadikan saat ini sebagai antara
Jembatan menuju esok yang
Semoga lebih sentosa
Lalu kita bunuh waktu
Dengan halhal remeh tak berarti
Padahal esok belum tentu tiba
Yang kita miliki hanya saat ini
Mengapa hanya disiasia(*)

Di Warteg

Ngadon ngopi di jero warteg
suruput..mmmhh
Piring kosong geus diberesan pelayan
Cukup keur ganjel beuteung: kejo satengah, terong balado, tumis jamur, jeung ceplok endog
Jarum jam asa lamban
Truk trek truk trek
Masih dua jam
Nepi ka barudak kaluar sakola
Truk trek truk trek
Di hareup mobil motor merul silih genti lewat muru kasibukan sewangsewangan
Diiringhaleuang dangdut koplo ti bengkel sabeulah
Rebo nu sasari
Pere gawe taya bedana
Truk trek truk trek
Jarum jam kacida malesna
Masih dua jam
Ngalamun dijero warteg
Dibaturan sagelas cikopi(*)