07 April 2015

Tentang Kopi

Saya hanyalah penikmat kopi biasa. Segelas sehari. Tak pernah terlalu pemilih, tidak juga fanatik. Apa yang ada dinikmati. Tapi yang paling sering: ya kapal api mix sama indocafe mix. Mungkin itu yang paling pas di lidah. Atau karena yang lebih nikmat susah diakses.

Kopi bagi saya hanyalah pelengkap hari. Mendongkrak semangat ketika mata mulai berat dibawa kerja. Ketika di rumah perlu teman menonton tv atau film. Selalu di siang hari, karena bila malam, alamat tak bisa tidur.

Menyesap kopi di cafe rasanya masih terlalu mewah. Melihat bill-nya kerap merasa bersalah pada anak-anak di rumah. Alangkah elok bila uangnya disimpan saja untuk keperluan mereka. Hehehe, maklum bapak yang baik, tapi miskin.

Perkenalan dengan kopi sejak belia, sebenarnya. Kala itu kerap diajak bapak dan ibu panen kopi di pinggiran kebun. Buat dikeringkan dan bijinya dijual ke pasar mingguan (biasanya hari selasa, yang dekat, dan Sabtu yang ramai tapi lebih jauh).

Perekenalan dengan kopi sebagai minuman mungkin sekitar kelas enam SD atau satu SMP. Kebetulan saja. Waktu itu di rumah ada kenduri. Orang yang mendirikan tenda (istilah sundanya balandong, terbuat dari bambu terpal) dengan bergotong royong selalu disuguhi kopi. Karena bikinnya banyak, tak sedikit yang tersisa. Saya pun mengecapnya.

Hmh, manis. Hanya itu, kesannya. Sebagai anak, tak lalu tergila-gila. Daya tariknya saat itu masih lebih tinggi es dawet atau es goyobod yang dijual keliling kampung.


SMA, kuliah, dan awal-awal kerja hanya sambil lalu saja menikmati si hitam manis ini. Kalau ada, apalagi pas ramai-ramai, yang dinikmati. Ketika sendiri, tak pernah tergiur untuk mencari atau membikin.

Setelah kerja di Jakarta baru seperti nyandu. Nyaris tak ada hari berlalu tanpa minuman ini. Agak aneh juga rasanya. Tak jelas awalnya kenapa, tahu-rahu sudah seperti itu. Mungkin karena di kantor memang tersedia. Dan kerap terlalu lama duduk juga sering membikin ngantuk. Maka menyeruput kopi jadi salah satu variasi. Meski belakangan ini terasa kurang afdol kalau sudah lewat tengah hari belum menyesapnya.

Ya, mulai kecanduan tamoaknya, Tapi, tetap saja saya merasa takjub melihat orang yang terjerat oleh  para penikmat kopi yang menjadikannya seperti budaya atau jalan hidup. Rutin mendatangi kedai kopi, dari yang lokal hingga impor. Rutin berburu berbagai rasa kopi dari berbagai daerah. Lalu, membaca pula buku Dewi Lestari tentang kopi (apa ya judulnya?). Wah, cetus dalam hati. Lalu melihat tayangan televisi tentang para barista. Pembuat kepi sebagai karya kuliner utama. Rasa diulik dan penyajiannya dihias-hias dindah-indah. Lebih wah lagi.

Tapi, bagi saya semua itu adalah dunia yang lain. Dunia di luar sana. Bukan keseharian saya. Saya tetap hanyalah penikmat kopi biasa. Sekedar ikut-ikut atau karena kebutuhan. Apa yang ada diseduh dan disesap. Untuk dunia yang di sana itu, saya hanya menikmatinya dari lembar kertas, layar televisi, atau cerita teman sekantor. Dan rasanya, saat ini itu sudah cukup. Seperti segelar kopi sehari. Tak lebih, tak kurang. (*)

Image result for segelas kopi



 

Tidak ada komentar: