Kopi. Apa yang pertama melintas di pikiran mendengar kata itu?
Saya teringat ibu dan bapa. Serta betapa banyak hal kecil yang tak terrengkuh dengan seksama.
Pertautan saya dengan kopi terjadi di kampung halaman. Kopi yang dimaksud adalah kopi yang masih berupa buah. Ya di pojokan kebun, ayah memiliki banyak pohon kopi. Bersama hasil kebun lain, kopi menjadi tambahan penghasilan bapak yang saat itu menjadi guru.
Kala itu ayah kerap dipuji orang karena telaten berkebun. Ia biasanya hanya menjawab sambil tersenyum kecil: kalau ngandelin gaji doang susah hidup. Kebunnya tak luas, tapi ada di beberapa lokasi. Tanamannya rupa-rupa: kelapa, pisang, nangka, duku, manggis, kapol, cengkih, hingga kopi. Hasilnya lumayan. Sekedar buah sih tak pernah harus membeli.
Kopi termasuk tanaman yg memberi sumbangan lumayan. Bisa dipetik rutin sebulan atau dua bulan sekali. Gak banyak hasilnya: paling banyak 3-4 kilogram saja. Tapi, tetap lumayan buat tambahan dapur.
Proses hingga kopi bisa dijual lumayan ribet. Bapa dan ibu kerap melibatkan kami--tiga anaknya yang ada di rumah--dalam prosesnya. Dimulai dari memetik, mengeringkan, hingga mengupas.
Kala itu kami anak-anaknya umumnya bersikap sama: membantu karena terpaksa.Tugas seperti itu hanya memalingkan kami dari kesenangan bermain bersama teman sebaya.
Lagi pula, proses memetik kopi itu jauh dari kesan asyik. Saat tangan sibuk meraih kopi yang sudah ranum matang atau hijau menua, badan juga kerap jadi santapan nyamuk yang berpesta pora.
Lagi pula, proses memetik kopi itu jauh dari kesan asyik. Saat tangan sibuk meraih kopi yang sudah ranum matang atau hijau menua, badan juga kerap jadi santapan nyamuk yang berpesta pora.
Masih terbayang suasananya: nyamuk terus melancarkan teror bunyi "nging" di telinga bersahutan dengan bunyi tonggeret yang tak henti bersuara. Di seka memetik kopi tangan juga kadang harus sering tabok sana tabok seini menepuki nyamuk yang berpindah-pindah mengisap darah di tangan, kaki, dan wajah.
Jadi, apa enaknya? Kenang tentang kopi, salah satunya ya seperti itu. Karena suasan itu pula kemudian saya tak benar-benar intens mendalami dan menggali tentang kopi ini. Kopinya jenis apa, pemasarannya bagaimana, rasanya seperti apa sama sekali tak tersentuh. Karena memang persentuhan yang terjadi seperti dipaksakan dan tak sedikitpun diberi bumbu yang bikin asik.
Celakanya, semua hal-hal berkenaan dengan kebun, sawah, ternak, kayu bakar dari masa a kecil sayprosesnya juga nyaris selalu seperti itu. Jadi hal-hal dari masa kecil yang seharusnya menarik itu hanya dijalani dengan setengah terpkasa tanpa dihayati apalagi didalami. Sekarang kerap muncul rasa sesal karena seolah-olah saya telah melepaskan kesempatan emas untuk merengguk pengetahuan, yang belakangan saya tahu sangat berarti.
Kopi misalnya, kini menjadi satu segmen penting dalam kehidupan modern. Dan dulu saya punya kesempatan untuk mengenalnya lebih jauh, tapi tak dimanfaatkan dengan maksimal. Akhirnya hal itu hanya jadi sekelebat kenangan masa kecil yang nyaris tak berarti apa-apa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar