30 Januari 2009

Sore Yang Dingin

sepenggal sore nan muram
hujan berkejaran di wajah tenda
segelas teh panas,
seiris tahu di piring yang nyaris tandas,
dan lamunan berkelebatan

angin menebar gigil
liuk api kompor menyapa nyanyian hujan
:di sinilah aku
sendiri memeluk sepi
erat memagut hampa
penuh ragu
menyambut esok bersaput tanya(*)

28 Januari 2009

Takut Terhanyut

janjiku untuk akrabi mereka
para penggores indah dan pelantun hidup
maaf, harus kupikir lagi dua belas kali
ada khawatir yang tebal
tak hanya gelegak inspirasi
dan alunan indah
yang kuserap
tapi, juga yang buruk2 itu
karna mereka adalah jiwa2 yang bebas
tak lagi peduli norma dan nilai
tak peduli halal dan haram
sedang aku hanyalah si anak ayah
yang masih terngiang ajaran di surau
biar kulihat saja mereka
dari kejauhan
tanpa emosi, tanpa pretensi(*)

Bukan Surga

rumah mungil di batas kota
hilang denyut, sirna gairah
kemanakah semua aroma sorga itu
:siang penuh gelak tawa
dan malam bermandi kasih
ah, kau telah membunuhnya
saat menghiba meminta pergi
:ku tak tahan lagi, katamu
comel tetangga telah mengusikmu
tenggelamkanmu dalam gaulana
kini musnah semua indah
cat mengelupas
langit2 penuh gambar air
kita pun tak lagi peduli
rumah ini hanya menunggu mati
ah...(*)

27 Januari 2009

Nilai di Balik Kisah Ramayana

Gila. Begitu komentar tercetus begitu membaca pengantar "Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia" karya Radhar Panca Dahana. Ting. Sebuah proses pencerahan terjadi.

Cerita Ramayanalah pangkal soalnya. Cerita yang sudah berulang-ulang kudengar, hingga bosan dan tak lagi menarik perhatian. Tapi Radhar menyebut ada nilai filosopis sosiologis dalam cerita itu. Dan memang tarasa masuk akal.

Rama adalah unsur asing bagi India. Kesuksesannya merebut Dewi Sinta dari tangan Rahwana, sekaligus menumpas raja laknat itu, tak lain merupakan cerminan dari kemenangan sang asing dalam menggeser nilai lokal.

Kini India bahkan mengindintikkan diri dengan sang asing itu: hidung mancung, kulit putih, dan ciri-ciri sosok Eropa lain. Identifikasi yang jelas tergambar dalam film-film bolywood saat ini.

Indonesia juga memliki kisah serupa itu. Lakon Aji Saka Vs Dewata Cengkar. Aji Saka adalah unsur asing baik yang berhasil menyisihkan kekuatan lokal yang digambarkan durjana.

Belum rampung, dan terlalu detail, memang membawa chapter itu. Tapi yang sudah kudapat tampaknya layak jadi renungan. Radhar bahkan berkali-kali mengajak kita memikirkan dan menggali nilai lokal yang kini sudah tersingkirkan itu.(*)

Tak Seindah Bayangan

lebih indah dalam kenangan
sore yang berkeringat di lapangan bola
siang yang sejuk: mengendapendap di empang tetangga
memburu babi di hutan perawan
menangkap udang di gemercik sungai bening
semua terus kembali: kenangan tak tergantikan
buatku rindu ingin mengecapnya lagi
tapi ah,
saat kupulang
tak kusua indah itu
segalanya memang masih sama belaka
lapangan itu, surau, sungai cetek, empang, dan tegalan gersang
tapi semuanya mendatangkan asing
yang terus berputarputar di labirin hati(*)

Ema

berkubang derita
menangis tapa air mata
karena nestapa sudah mengeringkannya
cobaan tak tertanggungkan itu
tlah renggut semua
tegarmu
lembutmu
senyummu
sabarmu
kini hanya tertingal sesal, kesal, dan murka
serta kulit pembalut tulang
terbujur di kasur apek
menunggu dan terus menunggu
dalam derita tanpa ujung(*)

Kukan

kukan akrabi mereka
para penjual parfum
biar harum jadi milikku

kukan akrabi semua
para penulis itu
agar gelegak kreativitas
ikut menulari hari-hariku

kukan coba
kukan teguh
kukan berpeluh
setiap hari
mengukir bait-bait keindahan(*)

Kisah Kita

beranda yang hening
otak yang pening
kutatap wajahmu
memerah marah
kataku tlah jadi belati
menoreh luka hatimu
tapi tak ada ucap
kau hanya diam semata
pun matamu tiada dusta
kita semakin asing setiap hari
kata berbalas kecewa
pujian berujung ketersinggungan
manakah cinta yang dulu
mengapa cepat berlalu?
padahal baru lima purana sahaja
atau kita mungkin sama-sama api
saat salah satu harus menjadi air
kita mungkin akan segera usai
tapi kenapa tak kurasa sesal?(*)

26 Januari 2009

Setelah Kau Pergi

akulah si pandir itu
arungi sesal tiada berujung: mengapa dulu kulepas genggamanmu?

senoktah kesal, sepercik ragu, kala itu
membuatku dihanyut emosi, membiarkanmu belok kiri
sedang aku dengan yakin memilih kanan

jalanku ternyata berujung suram
aneh benar: semua yang kusua,kalah sempurna
padahal bukankah dulu kusebut kau gudang masalah

akulah si pandir itu
menyungkur tanpa malu
memintamu kembali(*)

23 Januari 2009

Diam Bukan Emas

bahtera kita karam
oleh diam yang membekukan
bersisian, hati kita terpaut langit dan bumi
dipisahkan kecewa tak terucap
dijauhkan hasrat tak berbalas
cinta memang bahasa hati
tapi juga butuh pupuk sanjung puji
kita telah alpa
dan berakhir dalam kecewa(*)

Hidup Adalah Melempar Bola

"Hidup ibarat melempar bola ke dinding kongkrit di depan mata. Sekeras apa kita berusaha melempar, sekeras itu pula pantulan yang kembali ke kita."

Saya mendapat filosofi hidup yang menarik itu dari seorang tetangga, seorang penjahit yang tengah beranjak sukses. Pria Tionghoa itu mengaku mendapatkan ajaran itu dari sang ayah.

Filosofi itu terdengar sederhana, tapi kian dipikir kian terasa masuk akal. Bukankah rezeki yang kita dapat kerap kali setara dengan besarnya usaha yang kita curahkan. Bukankah kebaikan yang kita limpahkan ke sekitar kita pada akhirnya akan berbalas kebaikan yang setara, atau kadang malah lebih.

Tetangga saya itu sudah mampu menerapkan filosopi itu dalam bekerja dan bertetangga. Dia sukes dalam usaha dan disukai oleh tetangga lain. Sedang saya, ya baru sekedar mengangguk-angguk menyadari kedalam maknanya.(*)

20 Januari 2009

Pengemis

kembali dia
wanita rudin papa
menyapa di pagar mesjid
menadahkan tangan menghiba-hiba
di gendongannya bocah kecil menatap layu

kupasang wajah datar
bergegas pergi
sambil mencaci dalam hati

Di rumah ku menyungkur
menghiba-hiba memanjatkan doa
seperti kemarin dan hari lalu
meminta tak putus-putus

apakah aku seperti pengemis papa?
akankah Tuhan memasang wajah datar dan cepat berlalu?(*)

19 Januari 2009

Lewat Batas

biru air, biru rasa
lupa diri, lupa hari
kaupun lepaskan jilbabmu
jadi alas birahi
yang memagut di tepian sejuk(*)

18 Januari 2009

Di Tepi Situ Pamulang

seperti wajah air
kau
tenang belaka
diam semata
kutak lagi paham isi benakmu
masihkah ada gelora gelombang itu
atau semua tlah terbunuh risaumu
ah, kau terlalu lemah
terus menunduk diinjak dunia
kumau kau berontak
sesekali berteriak
tapi, aku berbeda, katamu
kau tak sadar
ringkihmu tlah membunuhku
dan rasa kita itu(*)

Buruan Imah

Yu, urang ka buruan! Mulungan seungit malati, ngudag-ngudag warna-warni kukupu, nyakseni endahna ibun na tungtung daun.

Ah, hanjakal pangajak sarupa kitu teh kiwari pamohalan bisa diucapkeun. Najan hayang, tapi bener-bener mustahil dilakukeun. Di kota kapan burun geus langka pisan.

Di imah kuring, buruan malah sama sakali geus sirna. Pakarangan robah jadi teras: ditembok jeung disaungan. Taya deui taneuh nu nyesa keur pepelakan, kasilih ku sumanget ngalegaan ruangan imah nu memang ngan satapak leunguen.

Antukna budak kuring jadi korban. Arulin teh kudu di jalan baru perhatian kudu tetep waspada kana motor jeung mobil nu lalar liwat. Mun hanyang rada bagena, barudak teh sok diajak ulin ka taman.

Naha kondisi ieu bakal mangaruhan perkembangan mental barudak? Ceuk teori mah pasti. Kamampuan motorikna jadi terbatas. Baheula mah kuring kapan bisa ulin samanea di buruan: lulumpatan, teterekelan, ngadu kaleci, jeung sabangsa kaulinan liannya. Kiwari nepo budak lulumpatan oge kapan asa paur, inggir labuh turus tatu balas tidagor kana aspal. Ari kudu ka taman unggal poe da teu aya waktuna.

Kuring sakapeung sok gogodeg nempo budak kacida atohna diajak ulin di Mall. Mandi bal, poporosotan, jeung kaulinan lianna. Gogodeg lantaran kasenangan itu teh teu gratis. Kudu make duit.

Sakapeung kuring sok sono kana suasan desa. Kana buruan anu lelega. Karek ayeuna karasa bedana. Taneuh anu ngan sameter kali dua meter teh di buruan imah tatangga jadi barang anu kacida berhargana. Dimomones dijieun taman jeung balong. Wah, kabita pisan.

Pangna sakapeung sok muncul cita-cita aneh. Mun pareng ngalaman pangsiun, asa hayang balik ka desa. Nyieun imah di sisi kebon atawa sawah. Di buruan rek nyieun balong tempat miara rupa-rupa lauk. Ah, kahayang nu duka laksana atawa moal.(*)

13 Januari 2009

Si Kembar Persis 2 Tahun

Tepat dua tahun kini. Kalian mewarnai hari2 kami. Selamat ulang tahun, Nak! Panjang umur, sehat selalu, banyak rejeki, dan jadilah anak baik....
Maafkan, bila ayah tak bisa memberi lebih. Hanya bisa beri cinta dan mungkin perlindungan yang bahkan kerap berlebihan.
Hari ini bahkan tak ada lilin untuk ditiup, atau kue untuk dipotong. Padahal potong kue dan tiup lilin justru jadi lagu favorit kalian. Ah, biarkan saja seremoni seperti itu. Yang terpenting hati ayah selalu buat kalian berdua.
Mari nak, kita arungi hari2 dengan lebih baik dari kemarin!

12 Januari 2009

Dalam Resah

serasa sore di lereng bukit
terbuta diterkam kabut
inginkan cahaya
rindui tuntunan

seperti siang di gersang gurun
ubun2 mengepul ditikam matahari
haus, haus, haus...
adakah uluran tangan bagi ini musafir

ibarat tersesat di laut lepas
sesampan sendiri tiada berdayung
terayun-ayun tak tentu arah
ah, datanglah kau dewa penolong(*)

11 Januari 2009

Kuring Teh....

Asa teu adil, kurang terbuka, pelit, gede ambek, jeung hayang meunang sorangan....

07 Januari 2009

Antara Parigi-Tasik

bersua harap
persis dalam mimpi2 itu
tapi ini kali tak ada kisah tergores
kupilih menutup pintu
karna hatiku sudah memiliki cerita sendiri(*)

Saat Pulang

di kelok terakhir jalan basah gerimis
mengetuk rasa miris
kemana ambisi meraih bintang yang dulu kubawa kembara
sejuta langkah itu telah mupus segalanya
kupun pulang sebagai anak desa yang kecewa(*)