|
03 Desember 2015
You have a chat waiting in Evernote!
02 Desember 2015
nurdinsaleh@gmail.com shared a note with you in Evernote
|
29 November 2015
House of sand and fog
Jalan kita disatukan garis derita dan
Sengsara tak berkesudahan
Kedukaan lalu melukai kemanusiaan
Menyemai benih benci dan rasis:
Karena asing kau harus kalah
Tapi tak ada kemenangan sempurna
Yang bisa dibangun batu bata kecurangan
Disemen tipu daya
Maka semua berujung nestapa
Tenggelam dalam kubangan air mata dan darah
Maut dan duka
22 November 2015
Dinamis atau mBunglon...
Terlalu mudah berubah
Warna di pagi hari berganti cepat di siang hari, berubah lagi di sore hari
Seperti terombang ambing di sungai deras
Tak jenak tak pernah tenang
Mimpi berlarian
Berganti seiring bisikan
Dari satu fragmen ke adegan lain
Ini dinamis
Atau bunglon tak berpendirian?
27 September 2015
29 Agustus 2015
Ana masih terus diuji
Usia 5 bulan, ana mulai diuji. Sakit lumayan berat: batuk ga sembuh2. Lima hari di rs permata, 2 minggu di picu rs hermina serpong, lima hari di ruang perawatan rs yg sama. Baru bisa pulang.
Tapi problem belum selesai. Batuk masih ada, susah mimi. Kasian banget. Susu pun harus lewat selang hidung (ngt).
Lebih parah diagnosa dan pengobtan awal sepertinya keliru. Bukan pneumonia, bukan pula tbc. Maka dicari seban lain. Prosesnya ribet, melelahkan, dan mahal.
Akhir juli dirawat di rscm. Empat hari untuk diendoskopi. Ngt diganti selang lewat perut.
Batuk dan grok grok madih terus. Mudah2 segera hilang. Yang jelas saat ini derita ana belum juga usai. Moga Allah cepat menyembuhkan.
17 Mei 2015
Lelah
menyusuri tepian cahaya gemerlap
seraya menindas rasa tak puas
dan menenggelamkan rasa lelah
agar bisa mengecap setitik
sentosa dan merdu bujuk rayumu
aku bosan meniti
menit demi menit yang
seperti diulang-ulang
hidup yang hanya berputar
laksana tik-tok jarum jam
tanpa kelokan tanpa kejutan
aku adalah beribu
hasrat dan lamunan yang
bergulat seharian dan semalaman
bercakap-cakap dalam benak
saat kaki melangkah menunaikan
kerja yang kian menekan pundak
aku adalah debu
di pinggiran belantara cahaya gempita
hati bercucur pilu
setiap waktu merindukan
damai masa lalu
dan hasrat yang berhamburan
bersama waktu yang terus beranjak(*)
Di Padang Luas
maut hanya masa lalu
akhir dari sederet episode
kelabu: dipenuhi catatan
gelora nafsu dan alfa diri
di penghakiman ini
mengurai benang masa lalu
menimbang hitam dan putih
catatan langkah demi lengkah
niscaya perih menyileti diri
vonis yang akan tiba
sudah terduga: murka Pencipta
karena lembar demi lembar
hidup hanya
berisi pesta pora dan sia-sia(*)
24 April 2015
Hari terakhir
Banyak kenangan akan ditinggalkan di sini. Selama belasan tahun bergulat setiap hari mengacap pahit, manis, suntuk, dan semangat yang naik turun.


18 April 2015
Pergulatan benak
Minggu kembali berlalu. Apa yang sudah dilakukan? Sama saja. Hanya mengulang bait-bait yang itu-itu juga.
Seorang motivator mungkin akan berkata: saatnya berubah. Tapi apanya yang diubah. Segala gerak baru dibebani risau dan malas. Hasrat liar pun hanya bergejolak dalam hati.
Kalau melihat ke belakang, mungkin akan kecewa. Ibarat memandang lukisan dengan sapuan kurang tegas. Penuh keraguan, banyak penghindaran. Tahu apa yang kurang, tapi tetap tak paham memperbaikinya.
Teringat coretan puisi selulus kuliah dulu. Tentang bintang di langit dan ketertinggalan. Kini rasanya mulai mewujud semua. Menusukkan meriang ke sekujur badan.
Kadang muncul kilasan pikiran. Langkah sudah di ujung. Cukup terus bergerak dengan ritme sekarang. Tapi ada pula kesadaran soal perlunya memegang idealisme. Berikhtiar dengan asumsi hidup masih seribu tahun lagi.
Hari terus berganti. Pergulatan ingin, kecewa, ragu, dan harap tak juga usai. Dan waktu beranjak tanpa banyak menorehkan jejak.(*)
16 April 2015
Danau Cahaya
ke danau itu
sore hari: saat matahari keemasan
memantul di muka air
lalu kita duduk bersisian
dalam bisu
memandang keajaiban di depan mata
: ini surga (*)

13 April 2015
Menulis = Pengorbanan
Sebuah tulisan, apalagi yang panjang seperti buku, pastilah hasil dari sederet pengorbanan. Ada malas dan kantuk yg dibunuh. Ada hasrat meneguk kesenangan yang ditekan. Ada disiplin tak berkesudahan.
Semua itu justru tak mau hadir di diriku. Aku lebih suka menghabiskan waktu di depan televisi, atau berselancar di dunia maya.
Mungkin juga karena tak tahu pasti mau menulis apa dan buat apa. Menulis tanpa arah juga rasanya tak berguna.
Jadi memang ada dua masalah di sini: menetapkan tujuan dan mengukuhkan motivasi.(*)
Dee
Ketika membaca kita kadang menemukan "warna" penulisnya dengan gampang. Kita mengikuti kata demi kata dengan kesadaran "oh, ini dia banget" sambil membayangkan sosok penulisnya.
Ketika membaca buku dewi "dee" lestari saya tak bisa melakukan itu. Saat membaca supernova hingga gelombang, saya bahkan kerap takjub: benarkah karya ini lahir dari tangan seorang penyanyi?
Lembar demi lembar dalam bukunya menyihir. Alami. Punya daya pikat yang membuat kita enggan beranjak.
Ia salah satu pengarang favorit saya.(*)
11 April 2015
The mentalist
Mungkin karena kita mendamba kehebatan
Di diri kita: seperti patrick jane
Menghadapi kesulitan dengan tersenyum
Menyelesaikan tantangan dengan solusi berbeda: sederhana tapi cerdas dan mencengangkan
Mungkin karena kita hidup dalam rimba masalah tak sudahsudah
Maka kita cinta patrik jane
Lelaki tampan nan nyentrik
Menyelesaikan tekateki pembunuhan
Dengan jalan memutar tak terduga
Dan ia, patrick jane
menikmati tantangan itu
dengan tetap berjarak: "aku cinta telur ceplok, tapi bukan berarti aku mendedikasikan diri untuknya dan menutup pintu untuk makanan lain"
10 April 2015
Jurnalis
Dari deadline ke deadline
Memelihara tenaga, semangat, dan konsistensi
Semua alangkah singkat
Puji atau caci
Hanya sekejap tersampir
hingga berita baru muncul
Hingga karya baru lahir
Segala amatlah nisbi
kehebatan hari ini
Bisa berubah nestapa
di hari esok: saat kenyataan baru
Datang mencubit
Hari ke hari
Tenggelam dalam tantangan
Yang menjelma rutinitas melenakan dan melelahkan
berusaha terus melangkah
membunuhi kecewa
menyiangi gulmagulma
Memelihara asa
Waktu ke waktu
Terus berpacu
sambil meyakinkan hati
Ini hidupku
Dan ini berarti(*)
08 April 2015
Tanjakan
Menanjak, curam, berdebu
Tak nyaman
Setelah jalan datar, turunan, dan kemudahan
Usahlah menangis dan balik langkah
Sesekali menghela napas atau mengeluh tak apa
Tapi tetap jejakkan kaki
Satu satu
Setindak demi setindak
Sambil berbisik: akan ada akhir baik di ujung langkah
Sambil tanamkan yakin: ada buah manis dari segala sabar ini (*)
07 April 2015
Bubur ayam pamulang
Tentang Kopi
Kopi bagi saya hanyalah pelengkap hari. Mendongkrak semangat ketika mata mulai berat dibawa kerja. Ketika di rumah perlu teman menonton tv atau film. Selalu di siang hari, karena bila malam, alamat tak bisa tidur.
Menyesap kopi di cafe rasanya masih terlalu mewah. Melihat bill-nya kerap merasa bersalah pada anak-anak di rumah. Alangkah elok bila uangnya disimpan saja untuk keperluan mereka. Hehehe, maklum bapak yang baik, tapi miskin.
Perkenalan dengan kopi sejak belia, sebenarnya. Kala itu kerap diajak bapak dan ibu panen kopi di pinggiran kebun. Buat dikeringkan dan bijinya dijual ke pasar mingguan (biasanya hari selasa, yang dekat, dan Sabtu yang ramai tapi lebih jauh).
Perekenalan dengan kopi sebagai minuman mungkin sekitar kelas enam SD atau satu SMP. Kebetulan saja. Waktu itu di rumah ada kenduri. Orang yang mendirikan tenda (istilah sundanya balandong, terbuat dari bambu terpal) dengan bergotong royong selalu disuguhi kopi. Karena bikinnya banyak, tak sedikit yang tersisa. Saya pun mengecapnya.
Hmh, manis. Hanya itu, kesannya. Sebagai anak, tak lalu tergila-gila. Daya tariknya saat itu masih lebih tinggi es dawet atau es goyobod yang dijual keliling kampung.
SMA, kuliah, dan awal-awal kerja hanya sambil lalu saja menikmati si hitam manis ini. Kalau ada, apalagi pas ramai-ramai, yang dinikmati. Ketika sendiri, tak pernah tergiur untuk mencari atau membikin.
Setelah kerja di Jakarta baru seperti nyandu. Nyaris tak ada hari berlalu tanpa minuman ini. Agak aneh juga rasanya. Tak jelas awalnya kenapa, tahu-rahu sudah seperti itu. Mungkin karena di kantor memang tersedia. Dan kerap terlalu lama duduk juga sering membikin ngantuk. Maka menyeruput kopi jadi salah satu variasi. Meski belakangan ini terasa kurang afdol kalau sudah lewat tengah hari belum menyesapnya.
Ya, mulai kecanduan tamoaknya, Tapi, tetap saja saya merasa takjub melihat orang yang terjerat oleh para penikmat kopi yang menjadikannya seperti budaya atau jalan hidup. Rutin mendatangi kedai kopi, dari yang lokal hingga impor. Rutin berburu berbagai rasa kopi dari berbagai daerah. Lalu, membaca pula buku Dewi Lestari tentang kopi (apa ya judulnya?). Wah, cetus dalam hati. Lalu melihat tayangan televisi tentang para barista. Pembuat kepi sebagai karya kuliner utama. Rasa diulik dan penyajiannya dihias-hias dindah-indah. Lebih wah lagi.
Tapi, bagi saya semua itu adalah dunia yang lain. Dunia di luar sana. Bukan keseharian saya. Saya tetap hanyalah penikmat kopi biasa. Sekedar ikut-ikut atau karena kebutuhan. Apa yang ada diseduh dan disesap. Untuk dunia yang di sana itu, saya hanya menikmatinya dari lembar kertas, layar televisi, atau cerita teman sekantor. Dan rasanya, saat ini itu sudah cukup. Seperti segelar kopi sehari. Tak lebih, tak kurang. (*)
Memetik Kopi
Lagi pula, proses memetik kopi itu jauh dari kesan asyik. Saat tangan sibuk meraih kopi yang sudah ranum matang atau hijau menua, badan juga kerap jadi santapan nyamuk yang berpesta pora.
Lihat ke sekeliling
Menunduk hanya membuatmu tenggelam
Dalam renung dan ratapan diri
Lalu langkah seakan terbebani
Terkunci pemikiran dan kalkulasi soal mungkin dan tidak
Luasnya dunia tak lagi kau lihat
Lebarnya peluang tak lagi terasa
Harusnya angkat muka
Palingkan wajah lihat sekeliling
Datangi dan selami semua
Hingga kau tahu pasti
Batas mungkin dan tidak dari jejak kaki nan pasti
Dan bukan sekedar kalkulasi di dalam kepala
Keadaan kadang melenakan
Membuat kita nyaman
seperti berenang di lautan padahal hanya kubangan
Harus berani melangkah
Keluar meninggalkan kenyamanan
Bersua hal baru yang mungkin bisa jadi darah baru
Jangan terus menunduk
Lihatlah sekeliling....(*)
Mengapa khawatir?
Dimana-mana bisa dengan mudah kita temui: di pinggir jalan, tempat-tempat sempit, dan lokasi lain yang tak terbayangkan. Mereka berusaha mandiri dengan usaha sendiri. Mungkin terlihat kecil, sepele, dan nyaris susah diterima nalar. Tapi mereka hidup. Tertawa di tengah keterbatasaannya.
Mereka adalah pekerja gigih. Bangun pagi buta atau begadang semalaman. Mereka memanggul, mendorong, atau terus berjalan tanpa ujung. Mereka hanya meraih sedikit tapi tak pernah mau berhenti. Atau memang tak mungkin berhenti. Karena bila itu dilakukan sama artinya mati.
Mereka ada di sekeliling. Terpingirkan oleh sistem dan keadaan. Tapi lihatlah mereka. Di tengah keterbatasan tetap ulet. Di tengah derita mereka masih bisa bercanda tawa.
Lalu, mengapa kita--yang lebih beruntung-- harus terus ditelikung suntuk? Terus khawatir tentang hal-hal kecil yang mungkin akan terjadi? Terus merasa tidak beruntung? (*)
06 April 2015
Bedegong
Kasadaran ngetrokan panto nurani
basa diuk ngadagoan di palataran masjid
Ngelingan ngangajak balik kana bakti jeung iman
Tapi hate bedegong
Anggur kalah diantepkeun
Lir nyanghareupan nu baramaen pupuntenan
Geus jauh pisan hate malieus
Tina kasadrahan jeung bakti ka Gusti
Meureun kapepende nikmat dunya
Boa kalangsu kabawa napsu
Di palataran masigit
Sabot ngadagoan barudak sakola
Aya paguneman jero ati
Tapi si bodas can rosa nyoara
Napsu kulawu masih kumawasa. (*)
Di halaman mesjid
Tak ada khusuk
Atau niat menyungkur menenggelamkan diri dalam bakti
Bahkan hati tak terusik
Lalu lalang jamaah sentosa beribadah
Di sini hanya menunggu
membunuh waktu
Hingga buah hati keluar gerbang sekolah
Di pelataran mesjid ini
Terasa betapa sudah jauh hati
Terpaling dari segala ajaran mulia di surau dulu
Betapa hati sudah mengeras seperti batu
Terbuai nikmat dan kemilau dunia
Untuk semua panggilan dan pengingat itu
Hati hanya berbisik lirih: ah nanti saja....(*)
05 April 2015
Mercusuar
menghindari keramaian: sibuk
dengan hasrat
dan lamunan sendiri
tapi tetap tak bisa seperti
mercusuar itu: dalam kesendirian
tak henti memberi sinar
bagi pejalan di kegelapan samudra. (*)

04 April 2015
Bengkel sepeda
Pulang kecewa di tengah hujan yang kian deras. Sambil mikir cara untuk menyelesaikan masalahnya. Ah terpikir juga satu cara. Besokbesoklah dicoba.
03 April 2015
Jum'atan
Lima bulan terakhir selalu jumatan di sini.
Pas di tengah jalan ke kantor.
02 April 2015
Menanti
Kita selalu alfa
Menjadikan saat ini sebagai antara
Jembatan menuju esok yang
Semoga lebih sentosa
Lalu kita bunuh waktu
Dengan halhal remeh tak berarti
Padahal esok belum tentu tiba
Yang kita miliki hanya saat ini
Mengapa hanya disiasia(*)
Di Warteg
suruput..mmmhh
Piring kosong geus diberesan pelayan
Cukup keur ganjel beuteung: kejo satengah, terong balado, tumis jamur, jeung ceplok endog
Jarum jam asa lamban
Truk trek truk trek
Masih dua jam
Nepi ka barudak kaluar sakola
Truk trek truk trek
Di hareup mobil motor merul silih genti lewat muru kasibukan sewangsewangan
Diiringhaleuang dangdut koplo ti bengkel sabeulah
Rebo nu sasari
Pere gawe taya bedana
Truk trek truk trek
Jarum jam kacida malesna
Masih dua jam
Ngalamun dijero warteg
Dibaturan sagelas cikopi(*)
31 Maret 2015
Ngadagoan
Ngadon ngojay dina samudra lalamunan
Hate teu sabar hayang guragiru lekasan: di bengkel, bank, di buruan sakola barudak
Hayang geura beres hayang geura cunduk
Waktu ngan dianggap cukang muru ka sisi beulah ditu
Miharep tempat anyar leuwih tumaninah tur merenah
Mateni waktu bihari
Padahal can tangtu kitu
Isuk can tangtu cunduk
Ngan ayeuna nu geus nyampak
Kuduna dipupusti dimaksimalkeun(*)
Di Bengkel
Supaya mesin mulus
soara halus
Naha arang disevis
Padahal hate oge kudu rutin diberesihan
Di pangajian jeung majelis kaagamaan
Ari hate bet teu dipalire
29 Maret 2015
Pengkhianatan
Sepulang kerja terus menginjak rasa berdosa dalam2
Menikmati ketoprak, sambil tak henti berpikir: ini harusnya tak boleh
karena akan bikin badan kian melar
Apa daya
Ngungudag lamunan
Lolongkrang pikiran
Adegan demi adegan ngaguluyur
Bleg film nu bisa diatur lambat cepetna
Mun dikotretkeun
Asa moal kaudag
Kalah leuseuh aksara ngabeberikna
Kalah nambru sumanget ngigelanana
Ceunah lamunan teh kalangkang
Wawakil katuna diri
Gambaran kakurangan nembrak na awak sorangan
Tapi, ah, paduli teuing...(*)
Seumpama Nirwana

Lukisan alam
Hamparan surga
Pemuas dahaga para kelana
Tapi hati tetap digelitik syak
Karna di bingkainya ada
Manusia: dengan culas dan iri hati
Menabur debu kotori kesempurnaan surgawi
Menngincar licik langkah penikmat khusu
Jadi, mungkinkah ada tujuan yang benar2 nirwana?
28 Maret 2015
Malem minggu nu biasa
Malem minggu nu biasa
Bulak balik teu puguh laku: layar tv, komputer, hape
Barudak taya soarana
Ngadon ngendong peuntaseun jalan
pikiran teu daek tenang
Dikered ku kamarudah: jungkrang
Antara ideal jeung nyata
Antara kahayang jeung nu geus tumiba
Antukna ngagolehe
tapi teu reup sare
Gulinggasahan
Ngeukeupan kamarudah(*)
26 Maret 2015
Rapat Terus
Ti tunduh ka tunduh
Ti pusing ka rungsing
Hayang buruburu anggeus
Hayang guragiru bubaran
Rapat ieu
Rapat itu
Rapat naon deui
Rapat terus...(*)
Rapat di Kantor
Ngalor ngidul teu enggeus-enggeus
Masalah sadeupa diulurulur
Diulakulik diadurenyomkeun
Hasilna can tangtu jadi bukti
Da kudu dipaluruh deui
Ditaliti di lapangan
Engke sore kudu dirapatkeun deui
Siga kitu unggal poe
Ripuhna ngurus penerbitan harian...(*)
25 Maret 2015
24 Maret 2015
Hujan
Beledeg patembalan nepakeun kamelang
Si kembar murungkut di juru kamar
Si bungsu ngageubra dina aisan ninina
Ari kuring ngacacang teu puguh pikir
Keur seniman hujan kieu teh mindeng jadi ilham
Jadi sajak nu kulawu
Atawa lagu nu sendu
Keur jalma lunta hujan teh mawa mamala
Kacegat laku kacontang lengkah
Keur nu hirup di pojokan jakarta hujan kieu jadi kabalangsak
Banjir neuleumkeun imah jeung harta benda
Hujan di luar mimiti ngorotan
Beledeg ukur nyesa samarsamar
Si kembar geus jigrah deui
Si bungsu masih ngahephep
Ari diri titatadi sibuk ku pikiran sorangan
pagalo kahayang jeung lalamunan
Kabayangbayang isuk
Jeung janggelek hirup na tangtungan sarta panasiban sejen(*)
Teteh
Hayang ngudar tapak
Mieling si teteh nu poe ieu geus miheulaan
Asa bakal kaleungitan: laku nu perceka, basa darehdeh, tara pisan koret ku imut
Asa kadulur pituin
Najan ukur kabeungkeut tatali dunya
Anjeun meureun conto unik wanoja
Nu geus bisa ngalengkah jauh
Tapi teu walakaya dina urusan asmara
Nyidem kakuciwaan
Neundeun katunggaraan
Tapi beungeut tetep marahmay
Wilujeng angkat, teh...!(*)
Si Teteh Geus Mulang
Mulih ka jati mulang ka asal
Subuh subuh beja ngurunyung
Si teteh geus dipundut kunu kagungan
keun urang relakeun
Teu kudu dipuntangan kasedih digegero kahanjakal
Da geus anggeusan sagala kanyerina
Da geus lekasan sakabeh balangsakna
Urang jajap ku dua
Mugamuga dihampura dosa
Dipasihan istana bagja di alam kuburna
Amin.....(*)
23 Maret 2015
Dina Beus 102
beus bleg aki-aki: awak pasesaan, napas ngos-ngosan
di jero bayeungyang
panumpang pesesedek
pengamen jrang jreng teu pegatpegat
baju lamokot ku kesang
hate luber ku katugenah
:mun loba duit meureun moal ripuh siga kieu
beus ngadius, juamrigjeug
nangtung muntangan palang beusi: diri ati-ati
panon seuket nitenan sakuriling
inggis copet ngadodoho
beus pungkal pengkol, jig jag balap jeung sasama
paheula-heula rebutan penumpang
hate kukulutus, tapi teu wani betus
di jakarta mah biasa: unggal poe
diajar maehan sora-sora jeroeun dada: kainggis, katugenah, kekeuheul
kabeh ukur dibeuwung
ditumpuk dina ati
ngajadi binih-binih amarah
nu teuing iraha bakal bedah(*)
Sigrong
sigrong dikuriling pager tohaga
gambar pas kahirupan jakarta
tapi pager oge jadi panjara