12 Desember 2010

Janji Manis Si Bidadari

Permintaan yang berat. Sangat berat. Bila ia menurut, mungkin selamanya tak
akan punya tempat berpijak lagi di sungai telaga.

"Kehidupan yang tenang, jauh dari keramaian dunia, mungkin tak kalah menarik."

Seperti mengerti pergulatan batinnya, wanita itu segera berkata dengan lembut.
Sangat lembut. Senyum manis terlukis di wajahnya. Lelaki mana yang kuat
menghadapi senyum seperti itu?

Jauh dari keramaian. Kalimat itu perlahan ia ulang-ulang dalam hatinya. Ya,
hakekatnya, kehidupan seperti itulah yang harus ia jalani bila ia menerima
pilihan itu. "Kamu jangan khawatir, Si kupu kupu akan selalu mendampingimu."

Si kupu kupu, ah, wanita yang menarik. Ia tak keberatan bila terus ditemani
wanita itu hingga akhir hayatnya. Cantik, pandai masak, murah senyum,
kata-katanya selalu lembut. Tapi, bukan dia yang membuat dia lama mau
mempertimbangkan tawaran itu. Wanita yang kini berdiri di depannyalah
alasannya.

Ia begitu anggun. Tak heran bila dunia persilatan menjulukinya sebagai wanita
paling cantik di dunia. Tapi julukan sebenarnya adalah Bidadari Baju Putih.
Ia adalah pemimpin Perkumpulan Bunga. Dan Si Kupu Kupu adalah salah satu anak
buah kepercayaannya di perkumpulan itu.

Si Bidadari jadi incaran semua lelaki. Tapi ia sudah memilih. Enam bulan lagi
ia akan menikah dengan Si Pedang Langit, pendekar ternama dari Kota Tengah.
Semua menganggap mereka pasangan setimpal. Yang satu tampan, yang lain
ayu.Yang satu jago, yang lain pilih tanding.

Tapi, jelas ada masalah di antara kedua orang itu. Buktinya Si Bidadari kini
memintanya melakukan hal yang sangat berat itu. Membunuh Si Pedang Langit.
Wanita itu tahu, orang lain mungkin tak akan mampu melakukannya, tapi ia
bisa. Karena ia adalah orang yang paling dipercaya Majikan Istana Tengah,
ayah Si Pedang Langit.

Tak usah bertanya alasannya, pikirkanlah imbalannya. Begitu kata Si Bidadari
ketika ia beratnya mengapa Si Pedang Langit harus dibunuh. Imbalannya, itulah
yang membuatnya langsung kelimpungan. Tanpa malu-malu, atau berubah raut
mukanya, Si Bidadari menjanjikan untuk melayaninya selama seminggu
penuh. "Apapun yang kau minta aku pasti mengabulkan," katanya saat itu, tentu
saja dengan senyumnya yang supermanis.

***

Membunuh Si Pedang Langit adalah perkara rumit. Seperti naik ke langit. Itu
anggapan banyak orang di dunia persilatan. Tapi baginya tidak seperti itu.

Pendekar muda itu sama sekali tidak sempurna. Ia memiliki kelemahan mendasar
sebagai lelaki: gemar main perempuan. Ia menduga karena alasan ini pula Si
Bidadari ingin melepaskan diri dari kemungkinan terkikat dengan lelaki ini.

Tak banyak yang mengetahui kebiasaan buruk Si Pedang Langit. Sebagai pelayan
ayahnya, ia mungin termasuk yang sedikit itu. Tapi seperti kata pepatah,
serapi-rapinya menyimpan bangkai pada akhirnya akan tercium juga. Mungkin hal
seperti itu pula yang berlaku dengan Si Pedang Langit dan Si Bidadari.

Tapi itu semua bukan masalahnya. Masalahnya kini adalah bagaimana melenyapkan
Si Pedang Langit dengan cepat, tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia sudah punya
beberapa rencana bagus, tinggal memilih yang paling ampuh.

***

Dan ternyata semuanya sangat mudah. Bekerja sama dengan Si Kipas, wanita
penghibur paling cantik di Kota Utara, ia bisa melakukan tugasnya dengan
sempurna.

Ia sangaja memakai Si Kipas karena pernah sekali bertemu dengannya. Ia sangat
memikat dan tahu caranya menyenangkan lelaki. Ia juga tidak bermulut ember
seperti wanita penghibur lainnya.

Ia sengaja membuat jerat agar Si Pedang Langit kepincut dengan wanita yang tak
pernah lepas dari kipasnya itu. Dan itu mudah. Ia tinggal memanfaatkan
kebiasaan anak majikannya yang selalu meminum arak di Warung Merah.

Ia mengatur skenario agar Si Kipas tak sengaja menumpahkan arak si pedang
Langit. Dan semuanya kemudian sesuai rencana. Malam-malam si pedang
mendatangi kamar si kipas diam-diam. Keduanya terlibat obrolan hebat, lalu
pergumulan yang luar biasa.

Ketika nafsu sudah mereda itulah saat yang kritis. Ia sudah meminta agar Si
Kipas memberikan arak yang sudah dipersiapkan. Arak yang sudah ditaburi racun
tanpa warna, rasa, dan bau.

Karena masih termabuk oleh napsu, Si Pedang Langit pun kehilangan kewaspadaan
dan menenggak arak itu hingga habis. Sejam kemudian, ketika Si Pedang Langit
tak sadarkan diri, ia pun dengan mudah menusukkan belati ke jantungnya. Saat
itu Si Kipas sudah berlalu membawa upah yang memuaskan.

***

Dan disinilah ia. Seorang penagih yang berdebar diamuk sensasi. Kamar itu
begitu indah dan harum. Sangat sesuai untuk ditempati Wanita Tercantik di
Dunia.

"Tuan, silahkan dinikmati araknya."

Ia agak terperanjat. Ternyata di depannya sudah terhidang arak. Yang
Menghidangkan adalah Si Kupu Kupu yang tengah tersenyum manis. Wajahnya tak
menunjukkan sesuatu keanehan. Tetap seperti biasanya. Apakah dia sadar apa
yang akan terjadi antara dirinya dan ketuanya?

Ah, tapi ia tak mau terganggu dengan hal seperti itu. Ia saat ini lebih
memilih menikmati setiap detik pengalaman yang tak akanbisa diraih oleh
sembarang orang. Bahkan Si Pedang Langit yang begitu hebat pun tak bisa
merasakaannya.

"Mari, Tuan, saya permisi dulu."

Ia agak terperanjat dan lantas mengangguk menyiayakan.

Ia lantas sendiri lagi di kamar itu. Tapi tak berselang lama. Saat satu cawan
masih ia nikmati, yang ditunggu pun datang.

Si Bidadari masuk menggunakan gaun putih. Tetap anggun seperti biasanya.
Wajahnya tampak sendu, seperti menyimpan perasaan duka. Tapi mungkin juga ia
salah. Atau tak peduli. Saat ini terlalu berharga untuk dibebani masalah
apapun. Ia hanya ingin merasakan sensasi yang lama dimimpi-mimpinya itu.

"Kuharap tuan pendekar belum terlalu lama menunggu." katanya sambil tersenyum
dan duduk di sampingnya.

Ia hanya menggeleng. Wangi tubuh wanita itu sungguh memabukkan. Dan ia tak
tahan.

"Ih tuan pendekar rupanya sudah tak sabar," Si Bidadari tampaknya sadar benar
dengan keadannya lelaki di sampingnya. Ia tersenyuma, "Harap sabar, mari
minum secawan lagi, lalu tuan boleh mendapatkan keinginan tuan."

Ia segera mengambil cawan arak yang kembali sudah penuh tertuang dengan arak
itu dan langsung menegukanya. Si Bidadari menatapnya dengan tenang. Senyum
tak pernah hilang dari bibirnya.

Ia lantas berdiri berusaha mendekat ke arah si Bidadari. Tapi langkahnya tak
kukuh. Kakinya gemetar. Lalu gemetar pula seluruh badannya. Perutnya pun
bergolak. Racun? tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di benaknya. Cepat,
secepat ambruk tubuhnya di lantai.

Si Bidadari tetap duduk dengan tenang. Menyaksikan lelaki itu
menggelepar-gelepar kesakitan di lantai. Senyum kini sudah hilang dari
wajahnya.

"Jangan katakan aku tak setia pada calon suamiku. Racun dibalas dengan racun.
Jadi sekarang beristirhatakan lah engkau dengan tenang, Hai Pedang Langit,"
katanya bergumam. Lelaki itu tak jelas menangkap gumamaman itu karena
kesadarannya mulai hilang. Gelap lambat laun menguasai pandangannya,
kepalanya, dan seluruh tubuhnya.(*)

10 Desember 2010

Maling Kecil Mencuri Hati Pendekar Jelita

!m
Wajah cantik itu murung. Termangu-mangu di kursi taman. Berkali-kali terdengar
ia menghela napas panjang.

Ia tengah bimbang. Sebulan lagi hari bersejarah, yang sudah lama ia tunggu,
akan tiba. Ia akan dipersunting Li Si Pisau Maut, pendekar nomor satu di
negeri itu. Itu harusnya jadi hari yang luar biasa.

Ya, harusnya. Masalahnya adalah Liong Si Pencuri Kecil. Ia bertemu dengan
penjahat rendahan itu dua minggu lalu. Dan kini ia sulit mengusir bayangan
lelaki kurang ajar itu dari pikirannya.

Mungkinkah ia benar telah menenungku? batinnya. Sebelum berpisah, Si Liong
mencegatnya di pintu kuil. "Coba rasakan, bila malam-malam kau terus
mengingat aku berarti ilmu tenungku sudah bekerja," katanya sambil
cengengean. Golok naga yang jadi andalannya ia panggul di bahu.

Ia saat itu tak gubris. Memilih terus acuh dan berlalu pulang.

Tapi kini ia muali tersiksa. Malam-malamnya ternyata terus dipenuhi
bayang-bayang sosok si maling kecil itu. Tak sadar ia pun kembali menghela
napas.

Harusnya saat itu aku menurut kata ayah dan ibu agar tidak datang ke Kanglam,
batinnya. Dua minggu lalu, ia memang memaksa agar ayah dan ibunya mengijinkan
dia pergi meliat festival musim semi di Kanglam. Festival itu sudah jadi buah
bibir seluruh negeri dan hingga usia 18 tahun ia belum pernah menyaksikannya.

Dan omongan orang memang tak keliru. Kanglam di musim semi sungguh luar biasa.
Indah tak terperi. Keindahan alam itu dipadu dengan berbagai suguhan atraksi
seni serta pameran kuliner dan berbagai barang kebutuhan membuat Kanglam jadi
pusat tujuan orang-orang dari seluruh negeri.

Ia bahkan hampir tak kebagian tempat menginap. Beruntung ia mendapat sebuah
kamar losmen. Tapi sebenarnya, ia tak bisa dikatakan beruntung. Justru kamar
losmen itulah yang jadi biang masalah. Ia nyaris dicelaki tiga penjahat
pemetik bunga, yang tampaknya sudah terbiasa mencari mengasa di losmen dekil
itu.

Ia saat itu sudah terbius oleh asap dupa yang ditebar tiga penjahat itu. Saat
sadar keadaan sudah hampir terlambat. Badannya lemas dan ilmu silatnya
seperti menguap.

Ia nyaris digerayangi tiga bajingan itu, saat dari jendela tiba-tiba muncul
sesosok pemuda. Ia cengengesan dan berkeplok-keplok seperti senang
menyaksikan aksi mesum ketiga orang di dalam kamar. Saat kesadarannya hampir
hilang, ia pun masih menyaksikan ketiga penjahat itu merangsek menyerbu
pemuda yang duduk seenaknya di jendela.

Ketika tersadar, ia masih terbaring di ranjang itu. Pakainnya berantakan, tapi
masih seluruhnya melekat di tubuh. Yang membuat ia kaget, pemuda itu masih
tampak cengengesan di jendela. Sedangkan tiga penjahat pembius itu sudah tak
kelihatan batang hidungnya.

Begitu tenaganya pulih ia langsung menyerang pemuda itu. Tapi ternyata ia
memiliki kepandaian, bisa mengimbangi ilmu silatnya. Padahal ia selama ini
selalu membanggakan diri sebagai pendekar wanita muda yang berilmu tinggi.
Ya, ia adalah putri tunggal sepasang pedang dari utara.

Tapi, pemuda itu dengan mudah bisa mengimbangi jurus-jurusnya. Bahkan ia
berkelahi sambil cengengesan dan sama sekali tak tampak serius. Padahal,
bekalangan, ia mengetahui lelaki dekil itu hanyalah begundal kecil dari Yong
San. Ia adalah Liong Seng Ih, Si Pencuri Kecil, murid dari Raja Pencuri.(*)

05 Desember 2010

Elang Sakti di Balik Rimbun Daun

Elang Sakti di Balik Rimbun Daun

Namanya Elang. Seorang pemuda dengan ilmu tak terduga. Memilih membenamkan
diri di kota kecil. Tak pernah secara berlebihan menonjolkan kagagahannya.
Tak juga mengumbar ayunan pedang untuk menegakkan wibawa.

Tapi semua penghuni kota tak berani meremehkannya. Semua orang sadar, ia
seperti danau: tenang, tapi kedalamannya susah diterka.

Sudah berkali-kali terjadi, orang yang berani menyatroni rumahnya baru bisa
keluar berjam-jam kemudian. Mereka umumnya mengalami nasib satu di antara
dua: tersesat di taman bunga yang berliku dan berputar-putar. Atau terdiam
kaku oleh lemparan kerikil.

Yang paling jadi buah bibir adalah nahasnya nasib Si Burung Hantu, pencuri
nomor satu di rimba hijau. Satu kali, karena penasaran, ia menyatroni rumah
Si Elang. Kehebatan ilmu meringankan tubuhnya membuat ia besar nyali.

Tapi ketika itu semua warga kota menyaksikan bahwa ia, yang masuk malam hari,
baru bisa keluar keesokan siang. Semalaman ia kedinginan di bawah hujan salju
setelah sebuah, ya hanya sebuah, kerikil membuatnya tak berdaya. Ia tertotok
jalan darahnya dan harus mematung semalam di tengah taman yang membekukan
darah.

Sarang harimau. Begitu kemudian warga kota menyebut rumah Si Elang.

"Hmh, apakah dia selihai itu?" Seorang dara mendengus tak percaya. Ia cantik
dengan dandanan baju ringkas berwarna putih.

Saat itu ia ada di warung makan di ujung kota kecil itu. Saat menyantap
semangkuk mie ia mendengar pengunjung warung lain berbicara tentang rumah dan
kemesteriusan Si Elang. Seperti sebelumnya warga kota itu memang tak bosan
menggunjingkan betapa misteriusnya pemuda berusia 20-an itu. Asal usul ilmu
silatnya tak bisa diduga. Ketingian ilmunya juga tak pernah diketahui.

"Tak ada yang tahu," Seorang lelaki usia 30-an dengan sukarela menyahuti
celetukan si Nona. Ia menjawab dengan wajah dipenuhi senyum. Tangannya secara
otomatis merapikan baju dan belahan rambutnya. "Tapi siapapun yang berani
beruurusan dengannya pasti mendapat malu."

"Hmh, memangnya masih ada korban lain selain si maling kecil itu?" Si Nona
tetap bertanya dengan ketus.

Lelaki tadi agak berkerut dahinya. Ia kaget karena si nona berani menyebut
raja maling dengan sebutan maling kecil. Tapi ia tetap menjawab pertanyaan si
nona. "Ya memang ada. Banyak bahkan. Seorang pendatang dari Barat yang
berusaha mencurangi dia di meja judi malah balik ditipu. Ia yang menduga
berhasil meraih banyak emas, justru kehilangan banyak kepingan emas. Seorang
begundal terkenal di kota ini berusaha mengadu dia dengan seorang jago tua.
Pemuda ini berhasil menyadari adu domba itu. Tiga hari setelah kejadian
begundal itu ditemukan mati di rumahnya. Ia mati dalam tidurnya dengan senyum
di wajah. Tak ada yang bisa memastikan, tapi semua orang menduga kematiannya
itu tak lepas dari kelihaian Si Elang."

Si Nona kembali mendengus jengkel. "Huh, kalau memang begitu lihai mengapa dia
menyembunyikan diri di kota kecil ini. Bila melihat perkataan kalin bukannya
ia bisa tampil dan menggemparkan dunia persilatan dengan kemampuannya itu."

"Itulah justru yang membuatnya jadi lebih misterius. Sampai sekarang tak ada
yang pernah tahu asal usul dia dan kenapa dia menenggelamkan diri di kota
ini."

Dengusan si nona cantik kembali terdengar. Ia tak berkata-kata lagi. Tapi,
dalam hatinya tetap penasaran. Sebuah rencana muncul dan ia siap mewujudkanya
nanti malam.

***

Malam tiba. Gulita. Bulan yang sempat muncul tenggelam ditelan awan.

Sesosok tubuh mungil dengan enteng meloncat ke atas pagar rumah. Pakainnya
hitam dengan kain menutupi wajahnya. Hanya sepasang matanya yang mencorong
yang terlihat.

Ia seksama mengedarkan pandangan. Rumah di depannya dibalut gulita. Hanya
tampak sebersit cahaya dari salah satu ruangan yang tampaknya merupakan
tengah rumah. Telinganya ditajamkan. Sepi. Hanya sepi yang ada. Hanya suara
tok tok penjual minuman di kejauhan.

Dengan ringan sosok itu meloncat. Kaki menjejak pohon lalu mendarat di atas
genting. Tak ada suara berisik yang ditimbulkan. Ia berlari ke atas wuwungan
lalu menjatuhkan diri. Telinganya kembali mendengarkan sekitar. Sepi.

Ia membuka genting untuk melihat ke dalam rumah. Tapi tiba-tiba kesiur kecil
mengarah padanya. Ia sigap melompat, bersiap menyambut serangan. Sebuah
serangan mengarah ke tubuhnya. Ia menghindar tapi tahu-tahu serangan lain
sudah menghadang jalan menghindarnya. Ia mencabut pedang tapi sudah kasip.
Benda itu sangat cepat datang dan mengenai bahunya.

Ia mematung. Tubuh tak bisa bergerak. Pedang baru terangkat penuh dari
sarungnya, tapi tangannya tak bisa lagi meneruskan ayunan pedang itu. Hanya
matanya yang leluasa mergerak. Dan ia melihat benda yang mengenai tubuhnya
bergulir di genting. Hatinya pun seperti tenggelam. Sebuah kerikil. Ya, ia
tak berdaya oleh sebuah kerikil.

***

07 November 2010

Poe Nu Neken

BASA sarangenge moreret
sababaraha deupa leuwih deuket
hate marudah mamanggul
kalangkang katugenah
kahanjakal
kakuciwa
pagalo jadi hiji

suku ngalengkah
ka kaler ka kidul
pikiran ngacacang
marojengjang
awak teu nangan
lir aya beusi panas
nurihan kulit
ngalentaban hate
teu puguh rasa
teu puguh cabak
teu puguh sababna
teu puguh tungtungna

poe-poe nu beurat
ngagencetan
katengtreman diri(*)

29 Oktober 2010

Pangandaran

taya jentreng kacapi
teu aya gelik suling
ukur ombak nu ngaletakan suku

pasosore
nyanghunjar dina kikisik
beulahan hate di kenca-katuhu

tingtrim diri, tengtrem hate
nyerangkeun sarangene
teuleum di tungtung laut
mun salilana
poe teu robah
tetap endah(*)

Nagri Aing


sungut sungut pabaliut 
ngabudah ku kecapkecap taya ma'na
pangagung pangagung linglung
pejabat poho ka rakyat
ieu nagri urang
tempat endah
tapi loba hal
nu ngabalukarkeun 
 hate marudah(*)

26 Oktober 2010

Cinta Terlarang

nasib jadi jurang
ngahalang cinta urang

bongan patepung
dina waktu nu kaliru
masing-masing
geus terlanjur
jadi milik nu lian

tapi da teu wasa
megung kasono
hayang terus panggih
neuteup pameunteu nu liuh
ngarasakeun sora halimpu
kuer maseuhan hate nu halodo

"leuwih hade urang anggeusan,"
ceuk anjeun
tapi karasa aya rasa
teu rido jeung teu wasa
dina eta kalimah teh
rasa nu sarua
oge minuhan dada

jalan urang, nuju jungkrang
tapi asa hoream rek
mungkasanana

basa urang pateuteup
kasawang salempang
jero soca nu talaga
"naha masih aya isukan
keur urang duaan?"(*)

22 Oktober 2010

Poe nu Monoton

Poe geus hudang. Sarangenge mimiti nguniang. Kuring masih ngagelehe. Pikiran ngacacang teu fokus. Barudak salare keneh. Indungna sibuk di dapur.

Poe anyar. Kuduna aya antusias jeroeun dada keur nyambutna. Tapi bororaah. Sagalana karasa datar. Monoton pisan.

Poe ieu sigana ngan ukur rek ngulang kamari jeung poe samemehna deui. Ngaguluyur, tapi suku teu maju-maju.

19 Oktober 2010

nyaris puisi

seperti puisi
atau setidaknya ingin serupa itu
nyatanya hanya kumpulan kata
dangkal makna
tak indah pula
Puisi? ah, nyaris pun tidak(*)

Terlalu Lahiriah-Minded

Poe ieu meunang pelajaran berharga. Diri teh terlalu ngutamakankeun penilaian lahiriah. Kabuktian, hal eta teh sama sakali teu langgeng.

Kuring amprok jeung AKA. Ngagebeg. Naha pangling pisan. Baheula mah manehna teh geulis kacida. Terus terang kuring teh salah sahiji pangagum manehna. Rerencepan tangtuna ge. Tapi basa pasarandog dina lawang teh kuring ampir teu ngenali manehanana. Kageulisanana geus taya urutna.

Kuring inget, manehna memang pernah sababaraha kali naek meja operasi lantaran aya kangker dina daerah huntuna. Akibatna, nya jadi kitu: beungeutna nu baheula mencrang bet taya susana.

Ras we kuring teh kana papatah kolot. Sarupaning nu aya di dunya mah memang taya nu lana. Cinta mun ukur ngandelkeun ku rupa, tinangtu tereh lekasannana. Hanjakal papatah eta teh can berhasil kateuleuman ku kuring teh. Bahkean, ayeuna, sabada papanggih jeung AKA.

Kuring kiwari masih tetap jadi lalaki sabihari: nu ngutamakeun penilaian lahiriah. Mun papanggih jeung mojang geulis, langsung kairut. Heheh. Mun diajak ngobrol ku awewe nu rada belewuk sok males-malesan. Ah, da memang asa hese ngobahna.(*)

12 Oktober 2010

Wani Ngomong

Nu penting mah ngomong. Jalma nu pinter ngomong, bari dibarengan ku pamikiran nu daria tangtu wae, pasti leuwih bisa sukses, terutama dina pagaweanana.

Hal eta kaalaman pisan ku kuring. Ngomong teh jadi modal berharga di kantor. Mun urang bisa ngomong, pinter nyuarakeun eusi uteuk, komo bari dibarengan ku logika anu brilian, pasti loba nu serab.

Hal paling sederhana, alatan sering ngomong urang teh bisa leuwih dikenal ke pingpinan. Tinangtu bae anak buah nu leuwih dipikaloman, atasan oge bisa leuwih berehan dina nganilai.

Tapi tangtu bae modal ngomong teu cukup. Konsistensi tangtu bae jadi aspek kadua anu kacida pentingna. Sanajan urang ngabudah ngomong endah, lamun dina pelaksanaana ancur lebur mah pasti batur oge bakal nyeungseurikeun.

Hal anu rek diutamakan ku kuring di dieu teh nyaeta: tong kudu wani ngomong ngutarakeun pamikiran urang. Tong sieun salah, ulah inggis dianggap bodo.(*)

Kemana

"Akan dibawa kemana hubungan kita?"

lagu merdu merayu itu
menusuk telinga
melukai
mengalirkan darah
melimpah mengalir mebentuk lukisan
tak merah
hanya pucat
menyerupai kita
yang kini bertatapan
dalam hampa
di sana
harihari seperti
tak lagi berganti
terulang persis kemarin
dan kita melangkahinya
dengan mendung
murung
entah kemana semua berujung(*)

11 Oktober 2010

Nalika Maca Jeung Nonton Ngadatangkeun Putus Asa

Mindeng aya rasa putus asa. Soal diri nu nyandu kana nonton jeung maca buku fiksi. Keresep eta, hanjakal pisan teu dibarengan ku nembrakna daya inget kuat dina diri kuring. Jadina mindeng putus asa: sagalana asa taya gunana.

Dina lalajo film misalna. Kuring teh kacida nyanduna. Ti leuleutik mula kitu teh. Kuring inget basa kuring SD ema jeung bapa teh can boga tivi. Jadi lalajo teh sok ngadon milu di tatangga.

Kalan-kalan ema teh rada streng. Ti peuting kuring teu menang kaluar, sanajan malem minggu. Kuring teu ieuh eleh akal. Demi lalajo, kuring bela-belaeun loncat tina jandela. Berekah laku codeka kitu teh teu kanyahoan. Kuring kadang-kadang ngarasa hanjakal jeung dosa ka ema mun inget kana kalakuan teh.

Maca oge geus kahucuhkeun ti keur SD mula. Sarua modal nginjeum. Novel percintaan model Fredy S, Mira W, jllnd, serta novel silat Wiro Sableng geus jadi konsumsi kuring ti awit SD, terutama SMP.

Kadieunakeun, karesep teh teu ieuh ngurangan. Tapi mindeng muncul rasa putus asa ku daya inget anu pondok pisan. Ladang maca jeung nonton teh taya nyerepna. Nu dibaca atawa dilalajoan bulan ka tukang, komo deui taun katukang, mindengna mah berekah taya tapak-tapakna. Mun buku jeung filmna kapanggih deui teh asa manggihan nu anyar deui. Asa-asa siga amnesia.

Sabenerna baheula kungsi aya usaha keur ngatasi hal ieu teh. Maca jeung lalajo teh kudu dibarengan ku nulis. Jadi sabada maca jeung lalajo tuh kuring kudu maksakeun nulis. Perkara naon wae anu kainget sabada kagiatan eta. Tina sakadar nyieun resensi, neangan pelajaran, atawa ngembangkeun leuwih jauh deui.

Hanjakal jalan eta teh teu bisa konsisten ditedunan. Semangat nulis teh kalan-kalan ilang taya raratan. Tapi kadang-kadang kasadaran teh datang deui ngahucugkeun semangat jadi ngagedur deui.

Jauh dina jero ati kuring yakin, tina ladang nulis kitu, hiji waktu pasti kaala hasilan. Ukur sakadar jadi panineungan atawa jadi nu leuwih berharga. (*)

Basa Mudik

balik deui
nyorang jalan kamari
asa teu loba robahna
jalan nu ruksak
imah nu anclang-ancalangan
kahirupan nu taya menyatna

nu beda jeroeun dada
aya rasa asing
asa beuki jauh
Ah, asana ieu geus lain
dunya uing(*)

10 Oktober 2010

Di Buruan SD

Nincak deui ka buruan ieu
luak lieuk, lebeng
taya kalangkang nu ngaringkang
panineungan geus kasered
walungan waktu

ukur hawar-hawar
aya kahanjakal
baheula asa kurang
sampurna milampah
sagalana(*)

Seja Nyutat Lalakon

Seja nyutat lalakon katukang. Rek ditulis dina bab-bab pondok, sarupa sajak.

Keun we mun teu endah. Moal pati malire mun aya nu ngece. Da ieu mah keur usaha diri keur ngalatih mikir dina basa sunda.

Sugan we tina usaha ieu kaparigelan nulis kaasah, tur akhirna aya hal-hal leutik anu bisa dijadikeun panineungan, komo deui mun bisa jadi bongbolongan hirup.(*)

Bulir Padi

kita Seperti bulir padi
menguning
indah dalam pandangan
tapi di dalam
hampa: bulir padi kosong tak berisi

adakah kau rasakan hal sama?
kita kian terpisah
ruang kecewa dan harapan hampa
hingga kapan
kita masih bisa menahannya?(*)

08 Oktober 2010

Panineungan: Nyangu

Sok murukusunu ari dititah nyangu teh. Bahuela basa keur SD jeung SMP keneh, kuring mindeng dipancen tugas nyangu. Nungguan sangu asak, persisna mah, da ema nu mindeng ngisikan jeung ngagigihan mah.

Biasanya tugas eta teh katarima lamun ema kudu ngiderkeun dagangan atawa ngadon ka kebon. Sabenerna hoream mancen tugas eta teh. Bubaran sakola, kasorenakeun kitu teh, wayahna loba kaulinan. Babaturan sok ngadon ngojay di balong atawa ngadon maen bal di lapangan hareupeun
kaum. Atuh tugas nyangu teh nyangkered kuring tina karesep.

Kuring pasti teu bisa ingkah salila sangu can asak teh. Maklum jaman harita mah can usum mejik jar nu otomatis bisa ngasakan sangu cara ayeuna. Kuring nyangu teh dina hawu. Suluhna kudu teratur diasur-asur. Mun seeng geus saheng, tandana sangu tereh asak.

Kuring harita mah apal iraha sangu asak teh. Mun geus tanek, terus sangu teh diakeul dina nyiru plastik (da di umah kuring mah teu aya dulang). Kuring beraksi: hihid dina leungeun kenca, centong dina leugeun katuhu. Duanana kudu sairama magawe.

"Sing nepi ka erep haseupna sangu teh, supaya teu gancang haseum," kuring ingat omongan ema soal akeulan teh. Mun geus asak sangu teh diwadahan kana sangku atawa boboko.

Kiwari nyangu teh ukur tinggal waasna. Di imah mejic jar geus berkuasa.

Tapi kuring jusrtu asa rada hanjakal ari ngingetan pangalaman baheula teh. Handeueul naha beheula teu bener-bener ngalaksanakeun tugas di dapur teh. Meureun mun harita bener-bener daek ngulik kana masak mah,
kiwari teh bisa kapetik manfaatna.

Ayeuna teh kuring justru mindeng nitenan acara masak dina tivi. Resep pisan. Kadang-kadang sok digeunggeureuhkeun ku pamajikan pedah kuring resep nempoan nu kita. Tapi ah da tetep we resep. Ngan memang ukur resep nempo wungkul. Ari prakna masak mah tara pisan. Rencana jeung kahayang mah aya, tapi teu purun ngamimitianana.(*)

06 Oktober 2010

Sabada Maca Darpan

Karek rengse maca carpon Darpan. Duet Maut, judulna. Top. Ngaguluyur. Basana nerap tur konsisten. Oge aya unsur dramatis anu matak ngajiret emosi pembaca.

Teu aneh. Darpan memang geus kakoncara salaku pangarang sunda ngora. Manehna, anu sapopoena cekel gawe jadi guru, geus kungsisababaraha kali dileler penghargaan lantaran karyany ny pinunjul.

Maca carponna, ngahudang kasono kuring. Bahuela kuring bisa rutin nengetan carita sunda siga kieu dina majalah mangle. Kiwari ukur tinggal waasna, da kuring teh geus lila bumetah di Jakarta.(*)

04 Oktober 2010

Calon silat

Ia merasa bimbang. Rasanya lebih nyaman melepas semuanya. Sendiri, bebas lepas, tanpa harus selalu berpikir tentang orang lain.

Ini sungguh aneh. Banyak orang mungkin akan menyebut gila. Betapa tidak. Di saat semua orang berlomba, dengan melakukan segala daya upaya, merebut kedudukan ini, ia justru merasa ingin melepaskannya.

Kedudukan ini harusnya jadi tangga menunju puncak. Dulu ia pernah berhasrat jadi pendekar nomor satu. Cerita tetang kehebatan Pendekar Tanpa Tanding saat ia masih kecil jadi inspirasi.

Tapi kini ia makin banyak melihat hal tak menyenangkan. Nama di dunia persilatan ibarat pohon. Kian tinggi menjulang, kian deras diterpa angin. Sebagai ketua perguran Pedang Kayu Besi ia sudah meladeni banyak sekali tantangan bertarung. Padahal baru tiga bulan ia memangku posisi itu.

Ia ingat, semua itu dimulai dari sebuah kebetulan. Seorang penunggang kuda melihatnya saat bertarung di pinggir jalan. Badannya yang kecil

01 Oktober 2010

sabot ngeunteung

beungeut lir taya getihan
tumanya
"geus tepi kamana
lalampahan salira?"

ukur balem
baham kakunci
dina hihideung matana
kuring malah nyakseni
gambar-gambar kahirupan
lalakon katukang

"naon warna hirup
anjeung teh?"
kalah bingung
teu kabade
da tiap warna
ngadadak sepa
sasepa rarasaan(*)

Nagabumi, lebih Tebal Bukan Berarti Lebih Menarik


Ketika pertama melihat buku Nagabumi saya langsung kepincut. Itu adalah buku silat. Sangat tebal, lebih dari 800 halaman. Dan yang mengarang adalah Seno Gumira Ajidarma, penulis cerpen yang sudah kondang.

Setelah buku di tangan, seperdi diduga, Seno memang sangat serius menulis cerita ini. Terlihat dari daftar pusataka dan daftar catatan kaki untuk tiap bab buku itu.

Tapi setelah mulai membaca, terus terang saya agak kecewa. Sebagai penggemar cerita silat, dahaga saya tak terlalu terpuasakan.

Dalam membaca buku seya secara otomatis menggolong-golongkan buku di tangan dengan perasaan saat membaca. Bagus sekali: bila saya enggan teralihkan begitu mulai membacanya. Bagus: bila setelah bacaan terhenti saya masih sangat berhasrat untuk melanjutkannya. Biasa: bila buku yang dibaca masih terus ditekuni meski sejumlah halaman atau bagian dilewati serta saat kita berhenti di tengah-tengah kita tak terlalu terpacu untuk menyambungnya lagi. Biasa sekali: bila setelah beberepa halaman saya harus berjuang untuk mencermati halaman berikutnya.

Buku Nagabumi ini saya rasakan masuk kategri biasa, bahkan cenderung biasa sekali. Mungkin hal itu disebabakan pengharapan berlebih bahwa sebagai penulis ulung Seno akan bisa menghadirkan cerita silat yang lebih menawan dari serial Gajah Mada atau Senopati Pamungkas.

Beberapa hal membuat saya kurang srek membaca buku ini.

Pertama, pemilihan tokoh utama yang sudah berusia 100 tahun. Tokoh ini memang melakukan flash back, termasuk perjuangan dia menjadi pendekar besar. Tapi sejak awal porsi penceritaan saat dia sudah berusia 100 tahun cukup banyak. Dengan pemilihan seperti ini tentu Seno memiliki tujuan tertentu. Salah satunya mungkin keleluasaan untuk menyelipkan berbagai ajaran kuno yang dengan fasih dia kuasai. Tapi pemilihan seperti ini juga berlawanan dengan pakem penulisan "happy ending" yang kerap dimiliki cerita silat. Saya sendiri akan lebih seksama mengikuti buku ini bila dimuali dari masa kecil si tokoh dan perkembangannya hingga akhir. Pemilihan tokoh yang sudah sepuh juga menghalangi kemungkinan terciptanya roman yang mendebarkan dalam buku ini.

kedua, terlalu terbebani misi. Seno tampaknya hanya menjadikan cerita sebagai wadah untuk menyampaikan pandangan dan pengetahuan dia tentang agama, nilai, budaya, serta falsafah dari masa lalu. Oke. Masalahnya dia terlalu banyak mengumbar wacana itu dalam setiap babnya. Sehingga cerita tentang "silat" dan drama yang menyertainya juga jadi sedikit terpinggirkan. Saya bahkan makin sering melompati halaman demi halaman karena tak telaten mengikuti bait-bait sair dari berbagai buku kuno yang terud dikutip penulis.

Saya terus terang belum bisa membaca buku itu hingga setengahnya. Tapi saat saya memiliki waktu senggang, saya masih harus melecut diri agar bisa meneruskan mencermati buku ini. Pengalaman sama tak saya dapatkan dengan buku serial Gajah Mada yang bagi saya masuk katagori "Bagus" dan terus mendorong saya untuk mencermati jalan ceritanya hingga akhri, meskipun kita sudah tahu cerita besarnya.(*)

29 September 2010

Pengkolan

hirup te pinuh ke pengkolan
lunggak lenggok matak gegebegan

28 September 2010

Halabhab

Asa halabhab teu anggues-anggeus. Unggal poe leukeun mukaan internet, sugan jeung sugan aya tulisan anyar. Neangan tulisan dina basa sunda kuring teh.

Meureun bakat ku sono. Geus lila ninggal sarakan. Geus ampir 20 tahun ngacacang ka mana-mana. Ayeuna, akhirnya, bumetah di Jakarta. Asa sono pisan kana basa sunda. Terutama tulisan-tulisan sastrana.

Kuring geus akrab jeung Mangle, Galura, sarta Sipatuhanan tikeur budak mula. Harita, ti mimiti kelas V SD asana, sok ngadon nginjeum majalah atawa koran basa Sunda eta ka tatangga. Biasana ka babaturan anu indung atawa bapana jadi guru tur kabedag langganan media basa sunda eta.

Carita pondok terutama bagian utama anu sok jadi udagan kuring. Harita pisan kuring teh kenal ka Aam Amilia, Holisoh ME, jeung pangarang sunda kahot lianna.

Ku mindeng macaan carita sok jorojoy kahayang nurutan. Hayang jadi pangarang. Tapi sanggeus dicoba-coba, berekah teu berhasil. Malah kuring nepi kana kasimpulan: kurang berbakat kana tulis menulis.

Tapi buktina ayeuna kuring jadi wartawan. Sapopoena ulukutek nulis. Tapi memang dina basa Indonesia nulis teh.

Ari kana basa Sunda ukur sono. Kana majalah jeung surat kabar berekah tara manggihan. Atuh kasono teh dipapalerkeun ku neangan tulisan tina internet. Ka beh dieunakeun kuring oge leuekun neangan babaturan dina fesbuk anu asal Sunda. Diutamakan nu kerep nulis dina basa sunda. Sugan we kasono teh kapapalerkeun.(*)

24 September 2010

Urang Sunda mah Materialistis

Urang sunda mah materialistis. Baheula kungsi kadenge tudingan kitu teh, basa kuring budah keneh. Harita mah can ieuh bisa mikirkeun bener henteuna tudingan eta teh. Da memang kapan ambahan ge ngan saukur sawates kampung wungkul.

Kiwari sanggeus sababaraha kota kungsi katempatan, kalan-kalan tudingan eta teh sok kapikiran. Lamun dibanding-bandingkeun kana jalma ti berbagai daerah anu kukuring kapanggihan, sakapeung sok asa aya benerna anggapan eta teh.

Urang sunda mah loba pisan nu teu boga mental "berakit-rakit ke hulu". Pangala teh lolobana langsung beak keur urusan konsumsi. Beda jeung urang jawa atawa Cina aku rikrik pisan: misahkeun pangala jang nabung geusan pikahareupeun.

Basa mulang lebaran kamari kuring panggih jeung babaturan sakola di SD. Manehna oge miboga kasimpulan nu sarua jeung kuring. Manehna kungsi jadi buruh pabrik ampir sapuluh taun, tapi akhirnya milih balik ka lembur lantaran ngarasa taya nu nyesa tina ladang tihuthet unggal poe teh.

Manehna oge nyarita, aya baturna urang jawa nu nepi ka ayeuna masih aya di Bekasi. Manehna masih jadi buruh di pabrik, tapi hirupna geus rada senang. Baheula manehnamah rajin nabung terus melian taneuh di daerah nu can maju. Kiwari si tanah teh dijadikeun tempat kontrakan. Manehna berekah bisa mengandelkeun hirup tina kontrakan eta.

Loba deui conto sejen nu kapanggihan dina hirup kuring. Di rengrengan keluarga kuring, boh ti diri kurang atawa pamajikan kuring anu pada-pada urang sudan, karasa pisan semangat jang ngabeakeun duit kana kasenangan jeung barang-barang konsumsi teh gede pisan.

Kuring sorangan justru kapangaruhan pisan ku tudingan eta. Jadina malah sabalikna. Kuring jadi apik pisan dina ngabalanjakeun pakaya. Malah kalan-kalan pamajikan teh nuding kuring pelit. "Piraku meuli baju jang dipake sorangan bae nyaah," pokna.(*)

23 September 2010

Hampa

remah remah harapan
yang masih
terserak tercecer
sirna ditiup
angin kekecewaan
hanya kelabu
dalam pandangan
suram
hampa(*)

03 September 2010

Ulin di Buruan

Ulin di buruan. Baheula basa kuring masih leutik keneh, istilah eta teh akrab kacida. Unggal poe, mu teu aprak-aprakan ka sawah atawa ka kebon, ulin teh nya sok di buruan. Ngadu kaleci, maen panggal, ngala jambu atawa balimbing. Pokona asa taya bosenna.

Kiwari istilah eta teh ukur tinggal implengan. Kuring sakeluarga hirup di Jakarta. Di kota ieu, tanah heureut imah padempet-dempet. Bororaah aya buruan nu lega. Mu aya oge sakliat pisan bek ku kabutuhan: garasi, nambahan kamar, ngelegaan rohangan tamu.

Pokona kiwari teh burun geus jadi barang langka. Ngan jelema jegud nu bener-bener boga burun lega teh.

Akibatna barudak kuring --sikembar nu ampir opat taun-- mun ulin teh biasana sok menta diajak ka taman. Tapi paling resepeun mah ulin di carrefour jeung giant. Di dua pusat perbelanjaan eta aya areal khusus keur ulin barudak. Mandi bola, poporosotan, imah balon. Pokona matak betah barudak. Unggal poe menta jeung menta deu ke tempat eta.

Atuh kuring nu jadi ketempihan. Beurat di ongkos. Sakali datang teh, minimal beak Rp 50 rebu. Mun sabulan opat kali bae, geus Rp 200 rebu. Dipikir-pikir, kacida bergunana mun bisa ditabung keur biaya sakola manehna.

Sunda Kagok

Kuring sunda, pamajikan sunda. Tapi di imah, sapopoe teh leuwih milih komunikasi ku basa Indonesia. Asa leuwih bebas, teu keeurad ku undak usuk.

Tuda kalan-kalan karasa teu pas mun hubungan make basa sunda teh. Kadang-kadang matak nyentuk kana angen-angen. Ari manehna asal ti Kuningan, sedeng kuring ti Ciamis. Pada-pada basa sunda, tapi loba ucapan anu beda panempatanana.

Dahar, tuang. kitu kuring biasana nyarita keur kagiatan ngeusian beutung teh. Tapi pamajikan mah, sok nyebut teh nyatu. Tah eta antara lain nu matak nyeblak teh. Di daerah manehna kata-kata eta teh lumrah. Tapi di daerah kuring eta teh kasar pisan. Ngan diucapkeun ku pihak nu keur ambek atawa ka sasatoan.

Masih loba keneh kata jueng kalimat nu siga kitu teh. Lumrah jeung lemes di tempat kuring, teu biasa di tempat manehna. Atawa sabalikna. Pangna ge ah, ngareunah keneh make basa Indonesia. Mun panggih jeung babaturan karek kuring make basa sudan. Kasar oge teu nanaon, teu matak nyentug kana angen.(*)

02 September 2010

Emut ka Bapa

Puasa nu kasabaraha itu teh?

Mun puasa dimimitan ti umur 6 atawa 7 taunan, meureun ayeuna teh jadi puasa nu ka-30 leuwih. Geus tapis kuduna mah. Makin bisa neuleman maknana, makin bisa sampurna ngajalankeunana.

Tapi, nyatana teu kitu. Beuki dieu, puasan teh asa beuki jauh. Jauh tina husu, jauh tina sampurna, jauh tian bermakna. Nu aya teh, taraweh makin langka. Kana dosa beuki teu asa-asa.

Inget kana caritaan ema jeung almarhum bapa baheula. Iman teh bisa ngandelan jeung ngipisan. Urang kudu usaha supaya iman eta terus ngandelan ku rajin ngahadiran pangajian.

jawan kiwari, justru nu aya teh kuring makin jauh. Pangajian taun kali oge henteu. Paling kongang ngadenge hutbah jumaah saminggu sakali. Kitu oge lamun teu nundutan.

Kalan-kalan muncul rasa dosa. Almarhum bapa teh keyeng pisan dina ngajurung kuring mempelajari agama. Anjeunna omat-omatan, kuring kudu ngaji di madrasah unggul burit. Sakola agama, istilahna harita teh.

Samemeh mulang ka alam kalanggenagn, anjeunna oge sering pisan mepelingan soal perluna ngajaga bakti ka gusti Allah. Kuring inget dina hiji kasempetan anjeunna tembong kacida bungahna pedah kurang mulang ka kampung bari dina kantong mekel buku hadis anu kandel. Anjeunna maka kedal majar kurang teh anak nu pang solehna.

Kiwari, nginget-nginget kajadian eta, kurang jadi era parada. Rumasa geus nguciwakeun harepan anjeunna. Kuring sama sakali jauh tina soleh. Nu aya ti poe ka poe teh diri beuki ngajuhan tina jalan agama. Kagoda ku mamanis dunya.(*)

Jadi Pangarang

Jadi pangarang. Kerep kasawang endahna. Ti bubudak mula. Meureun pedah kuring kalobaan teung maca carita fiksi boh sunda boh dina basa indonesia. Pipikiran antukna kabawa-bawa. Hayang nurutan.

Tapi da ukur kahayang wungkul. Bari teu didukung ka pangabisa. Basa SMA jeung kuliah ngan bisa nulis carita barudak, teu beda beunang barudak sakola dasar.

Pernah dimuat dina majalah mangle sabahara kali, tulisan teh. Honorna, matak era nyairkeunana. Ngan Rp 10 rebu. Pangnage wesel teh sok ditunggua nepi ke ngumpul opat atawa lima, terus dicairkeun.

Kiwari, kahayang masih aya. Tapi cara nulis teh can oge kataekan. Kuring kalah popolohokan nitenan barudak ngora rabul mintonkeun karya-karyana. Matak helok, matak kabita.

Di fesbuk, kuring teh ngahaja neangan batur urang sudan, terutama anu sok rajin ngirimkeun catetan dina basa sunda. Hayang macaan karya batur, sugan jeung sugan aya ilham nu ngaliwat. Tapi geus ampir dua taun, berekah can pareng aya tulisan nu jadi.

Meureun cita-cita teh ngan ukur rek jadi cita-cita. Nepi ka iraha oge moal tinekanan. Tapi da teu pati kuciwa. Kuring geus diajar, tepatna, geus biasa ku mangrupa rasa kuciwa. Ku bebekelan sakieu ayana, memang meureun kuduna ulah loba teung kahayang.

Tapi, da eta kasadaran teh ngan ukur sasisi tina koin. Di sisi sejnna, aya kapanasaran nu tetep ngebela-bela. Bahkan aya dugaan, yen lamun kuring leuwih rajin usaha, asana rek bisa ngahasilkeun hiji dua karya mah. Tangtu tong heula nyoal masalah kualitasna.

Jadi pangarang. Ah.(*)

seja nulis sunda

seja nulis sunda
sapoe sakotret
sugan kaubar
sono neu geus maneuh
sanggeus lilia incah balilahan
ninggalkeun sarakan
nu beuki kokolebatan
kalangkang lembur laleungitan tina implengan
kaganti ku meredong
poek pasualan hirup

seja ngotret ngahanca
sugan kahudang
rasa basa
nu beuki ngorotan
kagerus waktu jeung lalampahan

seja ngadeluk
nyabar-nyabar karep
nembrakkeun pipikiran
jeung rarasaan
boa jaga
aya manfaatna
prak.(*)

25 Agustus 2010

Berdua

kita berhadapan
duduk membisu
tiap pandang bertaut
segera dilemparkan
tak ada husu
pikiran malah berkeliaran
berandai-andai
dari satu skenario
ke skenario
kehidupan yang lain
melihat wajahmu
segera teringat
kecewa dan tak puas
dari kemarin dan sebelumnya
inikah hidup kita?
inikah bahtera kita?(*)

08 Agustus 2010

Buat Kua

dik...
mari menjadi koloni lebah
telaten membangun
sarang impian
semua kumpulan setia
memberi bagian
tak terpalingkan
tak terpinggirkan
hanya ada khusu
dan penerimaan
akan takdir dan semua beban
tak ada
keluhan
kebosanan
kemarahan
atau kekecewaan
mungkin dengan begitu
kita kan temukan
rumah impian(*)

26 Juli 2010

rindu

digigil dingin yang jauh darimu
aku dipagut rindu
yang menjadi-jadi
serupa meriang
wajahmu terbayangbayang
harummu terkenangkenang
burukmu termaklumkan
aku pun berjanji
akan mencintaimu
lebih baik
dan hati-hati(*)

24 Mei 2010

Setelah Membaca Acquitanne Progression

Aku sangat rakus belakangan ini. Membaca, membaca, dan membaca. Kebetulan kutemukan kios buku bekas yang menjual novel-novel luar negeri. Bukunya sudah pada menguning, tapi masih layak baca. Maka aku pun sibuk memborong.

Yang terakhir kubaca adalah Acquitanne Progression karya Robert Ludlum yang terbit pada 1984. Ludlum jadi magnit utama buatku, karena ialah pencipta tokoh Jason Bourne yang sudah difilmkan dan diperankan oleh Matt Damon.

Kali ini ia bercerita tentang seorang pengacara, veteran perang Vietnam, yang berusaha menghentikan konspirasi global para jenderal haus kekuasaan. Yang terasa saat membaca buku ini:

Ludlum sangat rajin dalam detail. Membuat segalanya tampak lebih nyata dan masuk akal meski juga membuatku harus sering melompat halaman karena ingin cepat-cepat mengikuti perkembangan cerita. Usai membaca buku ini aku pun sadar bahwa saat membaca halaman novel aku tak suka dengan teks/narasi yang terlalu berpanjang-panjang. Juga tak nyaman dengan oborolan yang terlalu banyak. Paling enak, ya kombinasi yang serba cukup dari keduanya.

Simpulan lain, Ludlum juga sangat paham dunia hukum dan seluk beluk spionase terutama CIA. Tak heran bila, entah aku baca dimana, ia sempat diduga sebagai mantan agen lembaga itu.

Aku juga melihat ia kerap berasik masuk dengan tema nazi modern. Aku pernah membaca beberapa buku dia sebelumnya dan banyak di araranya yang berfokus pada pengembangan tema ini. Menarik, tapi sudah tak lagi terlalu menantang.

Melihat daftar buku karangan dia, aku pun sadar alangkah tekun dan produktifnya dia. Setiap tahun ia paling tidak menerbitkan satu buku. di barat hal itu tampaknya dimungkinkan. penulis buku sudah bisa jadi gantungan hidup di sana sehingga banyak yang memilih jadi penulis full time.(*)

Ingin memenjam

aku hanya ingin
memenjam
agar terhindar
dari mukamu
yang menyerangai
dari segala penjuru
memunculkan nausea
dalam dadaku(*)

16 Mei 2010

Dilema

bayangkan
hidup yang berbeda
sendiri setiap hari
sepi, tapi tak kecewa
tapi seberapa tebal
tali itu
untuk memberangus sepi
yang terus mengembang
beranak pinak
tidakkah akhirnya
akan lebih parah
mati sendirian
dalam kehampaan

tapi ah...
kecewa ini
juga kian tak tertahankan
menusuki malammalam
di pembaringan
membunuhi hasrat
dan senyuman
dan tidakah
akhirnya juga hanya
kesendirian yang hampa
saat segala
tak lagi tertanggungkan

aku bimbang
di persimpangan(*)

Ketinggalan

orang berlari kencang
silih berganti
melewatiku:
si siput yang mamacu diri
dengan keras
tapi tetap seperti
jalan di tempat saja

kekecewaan
bergumul dengan rasa putus asa
anak2 bau kencur
bergantian tersenyum
saat melewatiku

ah, menyakitkan
menyebalkan
dan kian tak tertahankan
sialan...!(*)

beku

hatiku beku
diusap kecewa
datang berulang ulang

angan malah
sudah pergi
lebih jauh lagi
membayangkan tenggelam
di danau es
berusaha bangkit
susah payah
membunuh kemurungan

hidupku lesi
tanpa warna
tiada harap(*)

09 Mei 2010

Akhiri Saja

kalau hidup
kerap berujung kecewa
maka salahkah
bila berhenti berharap

kalau hidup
adalah labirin duka
maka ada baiknya
kita siapkan
banyak air mata

kalau hidup
bukan untuk kita bersama
maka baiklah kita akhiri saja
di sini, saat ini
daripada menumpuk kecewa(*)

Lakon Klise

panggung ini
mengulang pentas itu lagi
lakon kita:
tak bersitatap
tak berkata-kata
sama-sama memeluk luka
lebar menganga

kita serupa bocah
gemas menyobeki
cuil demi cuil
cerita kebersamaan
hingga habis semua
tak tersisa esok

tapi kita
juga terlalu penakut
tak satu berani
melangkah ke pintu
yang akan membawa
ke arah sana:
entah kebebasan, ketenangan, atau penyesalan

kita hanya menjalani
hari ini dalam kental sunyi
begitu dekat tapi jauh
begitu terikat tapi tak menyatu
begitu putus asa
begitu tak berdaya(*)

06 April 2010

Bayangan Yang Akan Datang

kemarau memanggang jalan
gerimis tangis dalam hati

kemarau dalam hati
cinta meranggas
dibadai kekecewaan
kita pun serasa asing
bersua selalu melempar pandang

terbayang kehilangan itu:
kita tiba di ujung jalan
meringkesi kenangan
ke dalam koper
berangkat menuju ego
masing-masing
diantara sepasang mata bening
yang siap meledak dalam
tangis kehilangan(*)

Bila Itu Terjadi

di ujung jalan
mata basah
langkah kita
akhirnya terpisahkan
kau dengan inginmu
aku dengan kecewaku
dua pasang mata
menatap penuh tanya
seperti ragu
pada masa depan mereka(*)

Keajaiban usai sudah

usah lagi percaya keajaiban
yang mudah, yang menjanjikan
pasti hanya kebohongan
yang dibalut janji manis

langkah sudah panjang
memutar menyusuri onak kerikil
sudah yakin kini
yang kita terima
hanya buah dari yang kita usahakan

menanti keajaiban
hanya membuat kita
terninabobo oleh
harapan hampa

lebih baik bangun
langkahi jalan di depan
nikmati saja
meski penuh semak belukar(*)

22 Maret 2010

Jadi rembulan yang beda

akulah rembulan
gelap di dalam, tanpa daya
hanya bisa memantulkan
sinarsinar mereka saja

tapi kuingin menjadi
bulan yang beda
serupa chairil yang mati muda
meninggalkan nama
dan kepiawaian memantulkan segala

kuhanya perlu lebih banyak keluar
bersua lampulampu segalam macam
yang temaram
yang gemilang
lalu kupancarpancar saja semua
dengan caraku
dengan gayaku(*)

Ujung Berbelukar

serupa berjalan dengan mobil butut
bermandi keringat, berurai serapah
harihari kita menjelma ironi
berkubang di genang nikmat
tapi hanya bisa merutuki
gerimis kecil peengganggu hari
padahal belum jauh jarak:
baru lima enam langkah saja
tapi kini seperti di ujung jalan
bersua belukar onak
kemanapun melangkah
hanya cubitan duri dan
tusuk kekecewaan mengganggu hati
setiap hari tak hentihenti
kau kadang terlihat tersiksa
kadang terlihat nyaman
kerap pula tak peduli
sedang aku kian tenggelam
dalam: kekecewaaan sudah setinggi hidung
kita mungkin butuh penyelamat
dengan segera(*)

21 Maret 2010

Kumbang Lelah

akulah
kumbang yang bisu
melewati bunga tanpa sepatah kata
kumbang yang buta
memandang indahmu tanpa kecamuk rasa
kumbang yang kecewa
ditusuk sikap-sikapmu yang berduri
kumbang yang sudah lelah
dan siap menyerah
kapan saja: hari ini atau esok(*)

Mengantar Kalian dengan Kecemuk Rasa

akulah si tua yang gelisah
saat mengiringi langkah kalian
menjejaki etelase
dan bilikbilik mall
melongok mencecapi
semua bujuk rayu itu

langkah beringsut
kecamuk jiwa kian
tindih mendindih
senang melihat tawa kalian lepas bersahutan
was-was bila langkah ini
hanya mengantar kalian
jadi pemuja berhala dunia
ada pula kecewa
tak bisa memberi lebih
serupa mereka

rasa tak berdaya
juga berkobar
saat pagi atau sore
kami putus asa
menyuapi mulutmu
yang terus terkunci
lalu kembali mengimingi kalian
dengan janji jalanjalan

ah
bila kelak kalian
jadi mahluk buruk kehidupan
pastilah karena
lalaiku hari-hari ini(*)

09 Maret 2010

Kau pergi Lagi

selalu dan selalu lagi
berjalan memutar
kembali ke lubang sama
di tempat itu
membayangkan masa depan
menimbulkan nausea(*)

Setelah Melihat Shutter Island

karena ada kegialaan
dalam masing-masing kita
maka kita pun asik
melamun sendiri

seperti lelaki itu
yang terbenam dalam hayal setelah
menembak istri
yang menenggelamkan tiga buah hatinya
ia menjalin cerita
membuat dosa-dosa masa lalu
menjadi lebih mudah
ditanggungkan

karena kita dilekati kegilaan
maka kita pun seperti
tergantung pada seutas
benang tipis: kewarasan
sewaktu-waktu
bisa putus
lalu kita pun tenggelam(*)

19 Februari 2010

Kalian Candu Itu

ibarat secawan anggur
tak habis habis kereguk
itukah kebersamaan kita: aku, kalian

kita terus menuang
anggur ke cawan itu
lewat kata
lewat canda
dan segala permainan itu

o, alangkah indah
juga nikmat
juga memabukkan
dan membuat ketagihan

o, alangkah lahap
enggan terlepas
cawan dari bibir
kuteguk terus dan terus

kebersamaan kita
adalah candu(*)

18 Februari 2010

Aku di hari ini

aku di hari ini
termangu-mangu di segala tempat:
saat telentang di ranjang
duduk di meja makan
membelah suntuk kemacetan
dan dalam sujud yang tak pernah khusus

aku di hari ini
gelisah menengok
jejak jejak kaki
di belakang punggung
sudah banyak waktu berlalu
tapi langkah hanya berkutat
di tempat sama jua

aku di hari ini
melapal tekad
di pagi hari: kuat, teguh
tentang ingin dan hendak
dengan menjahit waktu
menjadi baju
untuk masa depan
tapi ketika sore tiba
dan badan lunglai
dihempas lelah
hanya tercetus enggan:
ah, nanti saja kumulai semua

aku di hari ini
tersesat dalam labirin
hidup yang sesak
dan menekan pundak(*)

Hanya Diam

aku di negeri asing
batas batas begitu tipis
satu rasa ke rasa lain
ibarat satu kedipan mata saja

kemarahan yang memuncak
terpendam dalam diam
kebahagian yang membuncah
ternikmati dalam diam

ini negeri yang aneh
tak pernah termimpi sebelumnya

kau cemberut, kudiam
kau marah, kudiam
hanya dalam hati
berkecemuk kekecewaan
penyesalan
dan keputusasaan
tapi sesaat kemudian
semua kecemuk itu luluh
kumaafkan kau, dalam diam(*)

16 Februari 2010

Di Ambang Senja

usia sudah nyaris tunai
tapi waktuku
hanya habis
di kamar tidur
jalanan
dan layar televisi(*)

15 Februari 2010

ingat usia

mengingat usia
gelisah meraja

tik tak tik tak
seperti jarum jam
umur terus beranjak
sedang langkah
masih tetap
di sini sini juga

terbersit tekad
tapi segelar terlupa
aroma tempat tidur
dan sihir layak kaca
tik tak tik tak(*)

14 Februari 2010

Kuruguk Semua

kalianlah kini segala hariku
kan kureguk utuh penuh kebersamaan kita

kaka yang lemah manja
dede yang selalu jinak merpati
aku tak peduli yang lain
hanya kalian

biar langit runtuh, bumi belah
takkan kuhiraukan
asal kalian tertawa sentosa

kan kunikamati hingga saripati terakhir
saat saat ini
karena esok: ketika kalian kian beranjak
entah apa kan terjadi

kutahu
sebagai pribadi
kalian akan membawa
adat kemauan dan takdir sendiri
jadi esok mungkin saja
kita akan bersebrangan

Maka hanya hari inilah milik kita
kan kureguk cucup semua
hingga hilang dahaga

kan kucebur selami kebersamana kita
hingga tak ada penyesalan
dan bila esok berbelok
ke arah yang tak terduga
aku masih bisa bergumam:
setidaknya aku pernah meraskan
kebersamaan nan ajaib ini
hanyut aku dalam cinta kalian(*)

(ketika kembar menginjak 3 tahun sebulan)

12 Februari 2010

Kita

bersisian
tapi terpisah lautan
itu kita
terbaring di ranjang sama
tapi hanya mendengar degup-detup
dari dada sendiri sendiri
kau asik dengan harapanmu
aku sibuk dengan kecewaku

waktukah yang bersalah
merenggangkan kita
atau kekecewaan: serupa pasir
datang sebutir-sebutir
lalu menjelma gunungan

ini bukan impianku(*)

01 Februari 2010

Atticus

: to kill a mockingbird

aku tersuruk
hilang arah, lupa waktu
bibir sudah terlalu lelah
tapi masih menggeletar
atticus! atticus! atticus!
terus kepanggil ia:
seorang lelaki
yang mau melawan kaum sendiri
demi menuruti kata nurani

ia putih
tapi bisa melihat
warna serupa
di hati si hitam
yang teraniaya
diperkosa lalu difitnah

ia diasingkan
diludahi
dimusuhi
tapi ia tetap melanglah
"ini adalah sesuatu
yang merasuk ke hati nurani.
aku tak sanggup pergi ke gereja
dan menyembah tuhan
jika aku tak menolongnya"

ah
atticus! atticus!
terus kucari ia
ke setiap lorong
tiap bangunan
dan pelataran
tapi tak ada
sama sekali tak berjejak
ia mungkin sudah mati
dan nurani kini
tak lagi berarti(*)

01 Januari 2010

Kau Sang Asa Yang Berkepingan

kau mungkin bermimpi jadi bidadari
disanjung puji setiap hari
padahal aku hanya lelaki
egois yang terus menghitung
ruas-ruas kekecewaan
yang silih berganti mendatangi
maka aku pun terdiam
mulut kelu
mata sayu
dan kau
dari sudut kamar
menatap penuh sesal
dan aih,
apakah itu yang berkecemuk di kepalamu?
angan-angan yang berkhianat
atau
asa yang berkepingan(*)

Nisan Hati

aku harus bersiap
mencari nisan
untuk menguburkan hatiku
yang kian beku:
tiada harap, tak ada lagi kecewa

di tahun baru aku pun
akan menjelma mayat
berjalan tanpa api
tanpa persaaan
hanya melangkah
menuju titik akhir
yang kian keras
terendus aromanya(*)