akan punya tempat berpijak lagi di sungai telaga.
"Kehidupan yang tenang, jauh dari keramaian dunia, mungkin tak kalah menarik."
Seperti mengerti pergulatan batinnya, wanita itu segera berkata dengan lembut.
Sangat lembut. Senyum manis terlukis di wajahnya. Lelaki mana yang kuat
menghadapi senyum seperti itu?
Jauh dari keramaian. Kalimat itu perlahan ia ulang-ulang dalam hatinya. Ya,
hakekatnya, kehidupan seperti itulah yang harus ia jalani bila ia menerima
pilihan itu. "Kamu jangan khawatir, Si kupu kupu akan selalu mendampingimu."
Si kupu kupu, ah, wanita yang menarik. Ia tak keberatan bila terus ditemani
wanita itu hingga akhir hayatnya. Cantik, pandai masak, murah senyum,
kata-katanya selalu lembut. Tapi, bukan dia yang membuat dia lama mau
mempertimbangkan tawaran itu. Wanita yang kini berdiri di depannyalah
alasannya.
Ia begitu anggun. Tak heran bila dunia persilatan menjulukinya sebagai wanita
paling cantik di dunia. Tapi julukan sebenarnya adalah Bidadari Baju Putih.
Ia adalah pemimpin Perkumpulan Bunga. Dan Si Kupu Kupu adalah salah satu anak
buah kepercayaannya di perkumpulan itu.
Si Bidadari jadi incaran semua lelaki. Tapi ia sudah memilih. Enam bulan lagi
ia akan menikah dengan Si Pedang Langit, pendekar ternama dari Kota Tengah.
Semua menganggap mereka pasangan setimpal. Yang satu tampan, yang lain
ayu.Yang satu jago, yang lain pilih tanding.
Tapi, jelas ada masalah di antara kedua orang itu. Buktinya Si Bidadari kini
memintanya melakukan hal yang sangat berat itu. Membunuh Si Pedang Langit.
Wanita itu tahu, orang lain mungkin tak akan mampu melakukannya, tapi ia
bisa. Karena ia adalah orang yang paling dipercaya Majikan Istana Tengah,
ayah Si Pedang Langit.
Tak usah bertanya alasannya, pikirkanlah imbalannya. Begitu kata Si Bidadari
ketika ia beratnya mengapa Si Pedang Langit harus dibunuh. Imbalannya, itulah
yang membuatnya langsung kelimpungan. Tanpa malu-malu, atau berubah raut
mukanya, Si Bidadari menjanjikan untuk melayaninya selama seminggu
penuh. "Apapun yang kau minta aku pasti mengabulkan," katanya saat itu, tentu
saja dengan senyumnya yang supermanis.
***
Membunuh Si Pedang Langit adalah perkara rumit. Seperti naik ke langit. Itu
anggapan banyak orang di dunia persilatan. Tapi baginya tidak seperti itu.
Pendekar muda itu sama sekali tidak sempurna. Ia memiliki kelemahan mendasar
sebagai lelaki: gemar main perempuan. Ia menduga karena alasan ini pula Si
Bidadari ingin melepaskan diri dari kemungkinan terkikat dengan lelaki ini.
Tak banyak yang mengetahui kebiasaan buruk Si Pedang Langit. Sebagai pelayan
ayahnya, ia mungin termasuk yang sedikit itu. Tapi seperti kata pepatah,
serapi-rapinya menyimpan bangkai pada akhirnya akan tercium juga. Mungkin hal
seperti itu pula yang berlaku dengan Si Pedang Langit dan Si Bidadari.
Tapi itu semua bukan masalahnya. Masalahnya kini adalah bagaimana melenyapkan
Si Pedang Langit dengan cepat, tanpa menimbulkan kecurigaan. Ia sudah punya
beberapa rencana bagus, tinggal memilih yang paling ampuh.
***
Dan ternyata semuanya sangat mudah. Bekerja sama dengan Si Kipas, wanita
penghibur paling cantik di Kota Utara, ia bisa melakukan tugasnya dengan
sempurna.
Ia sangaja memakai Si Kipas karena pernah sekali bertemu dengannya. Ia sangat
memikat dan tahu caranya menyenangkan lelaki. Ia juga tidak bermulut ember
seperti wanita penghibur lainnya.
Ia sengaja membuat jerat agar Si Pedang Langit kepincut dengan wanita yang tak
pernah lepas dari kipasnya itu. Dan itu mudah. Ia tinggal memanfaatkan
kebiasaan anak majikannya yang selalu meminum arak di Warung Merah.
Ia mengatur skenario agar Si Kipas tak sengaja menumpahkan arak si pedang
Langit. Dan semuanya kemudian sesuai rencana. Malam-malam si pedang
mendatangi kamar si kipas diam-diam. Keduanya terlibat obrolan hebat, lalu
pergumulan yang luar biasa.
Ketika nafsu sudah mereda itulah saat yang kritis. Ia sudah meminta agar Si
Kipas memberikan arak yang sudah dipersiapkan. Arak yang sudah ditaburi racun
tanpa warna, rasa, dan bau.
Karena masih termabuk oleh napsu, Si Pedang Langit pun kehilangan kewaspadaan
dan menenggak arak itu hingga habis. Sejam kemudian, ketika Si Pedang Langit
tak sadarkan diri, ia pun dengan mudah menusukkan belati ke jantungnya. Saat
itu Si Kipas sudah berlalu membawa upah yang memuaskan.
***
Dan disinilah ia. Seorang penagih yang berdebar diamuk sensasi. Kamar itu
begitu indah dan harum. Sangat sesuai untuk ditempati Wanita Tercantik di
Dunia.
"Tuan, silahkan dinikmati araknya."
Ia agak terperanjat. Ternyata di depannya sudah terhidang arak. Yang
Menghidangkan adalah Si Kupu Kupu yang tengah tersenyum manis. Wajahnya tak
menunjukkan sesuatu keanehan. Tetap seperti biasanya. Apakah dia sadar apa
yang akan terjadi antara dirinya dan ketuanya?
Ah, tapi ia tak mau terganggu dengan hal seperti itu. Ia saat ini lebih
memilih menikmati setiap detik pengalaman yang tak akanbisa diraih oleh
sembarang orang. Bahkan Si Pedang Langit yang begitu hebat pun tak bisa
merasakaannya.
"Mari, Tuan, saya permisi dulu."
Ia agak terperanjat dan lantas mengangguk menyiayakan.
Ia lantas sendiri lagi di kamar itu. Tapi tak berselang lama. Saat satu cawan
masih ia nikmati, yang ditunggu pun datang.
Si Bidadari masuk menggunakan gaun putih. Tetap anggun seperti biasanya.
Wajahnya tampak sendu, seperti menyimpan perasaan duka. Tapi mungkin juga ia
salah. Atau tak peduli. Saat ini terlalu berharga untuk dibebani masalah
apapun. Ia hanya ingin merasakan sensasi yang lama dimimpi-mimpinya itu.
"Kuharap tuan pendekar belum terlalu lama menunggu." katanya sambil tersenyum
dan duduk di sampingnya.
Ia hanya menggeleng. Wangi tubuh wanita itu sungguh memabukkan. Dan ia tak
tahan.
"Ih tuan pendekar rupanya sudah tak sabar," Si Bidadari tampaknya sadar benar
dengan keadannya lelaki di sampingnya. Ia tersenyuma, "Harap sabar, mari
minum secawan lagi, lalu tuan boleh mendapatkan keinginan tuan."
Ia segera mengambil cawan arak yang kembali sudah penuh tertuang dengan arak
itu dan langsung menegukanya. Si Bidadari menatapnya dengan tenang. Senyum
tak pernah hilang dari bibirnya.
Ia lantas berdiri berusaha mendekat ke arah si Bidadari. Tapi langkahnya tak
kukuh. Kakinya gemetar. Lalu gemetar pula seluruh badannya. Perutnya pun
bergolak. Racun? tiba-tiba pertanyaan itu terlintas di benaknya. Cepat,
secepat ambruk tubuhnya di lantai.
Si Bidadari tetap duduk dengan tenang. Menyaksikan lelaki itu
menggelepar-gelepar kesakitan di lantai. Senyum kini sudah hilang dari
wajahnya.
"Jangan katakan aku tak setia pada calon suamiku. Racun dibalas dengan racun.
Jadi sekarang beristirhatakan lah engkau dengan tenang, Hai Pedang Langit,"
katanya bergumam. Lelaki itu tak jelas menangkap gumamaman itu karena
kesadarannya mulai hilang. Gelap lambat laun menguasai pandangannya,
kepalanya, dan seluruh tubuhnya.(*)