30 November 2008
Tong Kawin ka Anak Bungsu
Kiwari kuring nimu bukti, papatah eta teh teu salah-salah teuing. Dititenan tina pangalaman budak bungsu memang cenderung ogoan, hayang salawasna jadi pusat perhatian, tur rada hese kana gawe. Kabayang mun dua tangtunan anu ngabogaan sifat sarupa kitu kudu ngahiji dina ikatan rumah tangga. Ah, sigana bakal loba pacogregananan.
.....
(*)
Buat Kawan Sekampung
tubuhmu kurus bertonjolan tulang
hampir lima masa kau terhanyut
hilang pegangan, musnah keyakinan
ijasahmu hanya selembar ironi
tertolak di beribu pintu
kini kau pilih jalan sunyi
memulai dari debu
tanpa kebanggan
tanpa kehormatan
aku hanya perlu terus melangkah, katamu
sambil menulikan telinga
resep manjur, ternyata
kini kau sudah bisa tertawa
semoga sukses, kawan!(*)
Kaka Enggan Pakai Baju
Hari-hari ini aku kadang begitu bahagia karena si kembarku sehat dan cerita. Saat berbagi tawa hingga tergelak-gelak bersama mereka, yang kini hampir dua tahun. Alangkah luar biasa rasanya. Tak ada bandingnya. Juga saat si kembar bergelondot manja di badanku. Oh, indahnya.
Tapi kadang aku pun dibalut resah. Si Kaka belakangan menunjukan adat yang aneh. Sudah seminggu ini berlangsung. Kalau pemarah dia sudah sejak dulu. Marahnya bahkan membuat kami semua geleng kepala.
Tapi kini aksi dia sungguh berbeda. Dia selalu menolak bila mau dipakaiin celana atau baju. Langsung nangis menjerit-jerit.
Semula kuduga mungkin karena mood dia lagi buruk, tapi kok aksinya itu terus berlanjut. Tiap kali pipis dan celananya mau diganti langsung dia menangis menjadi-jadi. Padahal sesaat sebelumnya dia masih ceria.
Oh, ada apa, Kaka? Kenapa kamu begitu?(*)
Pembaca Yang Putus Asa
Kini jarang sekali aku membaca buku. Dalam enam bulan terakhir, paling hanya enam buku (semuanya fiksi) yang kulahap. Itulah penurunan yang sangat drastis.
Saat kecil akulah maniak membaca. Segala dilahap, semua dikejar. Majalah dan buku pinjaman sering kali kusembunyikan di bawah bantal, karena enggan kehilangan sambungan yang tertunda.
Saat masih SD aku pun rela menempuh berbagai cara untuk memuaskan dahaga membaca. Mengakrabi anak penjaga sekolah, yang kebetulan teman sekelas, agar aku punya akses ke lemari buku di sekolah. Dan cara itu cukup ampuh. Selain lewat peminjaman resmi, lewat penjaga itu pula aku bisa mendapat tambahan buku untuk dibaca.
Aku kerap berlomba cepat-cepatan, dengan peminat lain, untuk melakukan peminjaman pada tetangga yang berlangganan majalah sunda Mangle. Dari kebiasan itu pula aku belajar membaca cepat. Maklum saat membaca (biasanya di teras atau ruang tamu tetangga itu) peminat lain sudah menunggu dengan tak sabar.
Tapi memang kecenderungan sejak belia itu sudah jelas arahnya. Aku hanya menyukai buku-buku fiksi. Kesukaan yang berkembang seimbang dengan kegemarana berfantasi.
Saat SMA tamana bacaan di pasar jadi surgaku. Di sanalah berbagai novel Indonesia dan buku silat serial mandarin aku lahap.
Saat kuliah baru buku-buku non fiksi baru dilirik. Karena menang jadi kewajiban. Setelah kerja: fiksi dan non fiksi jadi seimbang ku ikuti.
Tapi ya itu, putus asa akhirnya datang menyergap. Aku sadar: kegemaranaku membaca itu akhirnya seperti sia-sia. Tak ada yang tertinggal di kepala. Paling seminggu bahan-bahan yang kubaca itu sempurna tersimpan, setelah itu menguap.
Ya, aku gampang lupa. Bacaan enam bulan lalu, saat ditemukan kembali terasa seperti baru lagi. Itu menjadi penyakitkan yang menghancurkan. Karena kondisi itu pula aku menjadi sangat dangkal. Tak ilmiah, nir analitis. Ya, karena menang tak ada data yang memadai untuk melakukan pemikiran dan perbandingan yang sistematis.
Kesadaran itu kemudian membuat hasratku untuk membaca lambat laun mengendur. Sekarang aku hanya membaca seketemunya. Paling meminjam dari perpustakaan kantor. Itu pun lebih terfokus pada bacaan fiksi. Akulah pembaca yang menjadi putus asa.(*)
28 November 2008
Usah Cemas
tak perlu dipikir
jangan juga direka-reka
masa depan biarkan datang
mending hadapi yang ada, satusatu
masalah datang kita selesaikan
yang tak tiba biarkan saja
hidup sudah terlalu suntuk
untuk ditambahi cemas dan khawatir
tentang masa yang belum tiba
mari nikmati saja hari ini
hadapi yang ada
reguk sepuasnya(*)
Bedil Takokak
Kaulinan nu dipika resep harita teh bebedilan. Sok nyieun sorangan tina bahbir albiso. Direka-reka ambeh siga enya. Jang pelorna dipake karet jeung kulit: persis katepel anu ditempelkeun dia bebedilan. Ari pelorna ku buah takokak .
Resep, ari peperangan teh sok ngadon neangan tempat nu penuh ku rungkun eurih atawa tangkal harendong. Jadi ulin teh bener-bener siga perang di leuweung. Batur opat atawa genep teh terus dibagi dua. Kadang-kadang eleh meunang ditentukeun ku nu pang terakhirna keuna ku pelor. Kalan-kalan terus perang nepi ka pelor masing-masing beak.
Ayeuna oge masih aya peperengan siga kitu teh. Tapi da tara nyieun sorangan bebedilan nana oge. Cukup meuli ti toko jeung pelor-pelorna. Asikna sih saruea wae sigana.
Terus nitenan cara kaulinan kitu: unggul mana budak ayeuna jeung baheula. Baheula meureun leuwih kreatif. Jaman ayeuna meureun leuwih melek teknologi.
Pada-pada aya unggulna, aya oge kalemahanan.(*)
26 November 2008
Kau
dalam dekapnya
nanar menatapku
adakah kulihat harap?
ah..
sua kita
sesesapanan anggur
nikmat
memabukkan
menyakitkan
kau dalam dekapnya
masihkah kenang sgala
gumul kita
di lipatan sempat
meluluhkan
menghancurkan
merindukan
kau
ah...(*)
25 November 2008
Halimun Katineung
tapak suku na kikisik
sakilat musnah
kateureuy letah ombak
naha bet siga kacinta urang
nu dirobeda waktu
ukur tinggal katineung
hawar-hawar
kasaput halimun(*)
Mencari Nurani
mencari nurani
kok, suaramu kian lirih?
sekaratkah kau
ditikam silau duniawi
tidurkah kau
dinina bobo kemegahan
ke relung tersulit
kuterpong suara hati
jangan kau pergi, plis......(*)
Wanci Sariak Layung
Tapi asa geus lila kuring teu ngarasakeun wanci itu. Boro-boro sempet nitenan langit beulah kulon, da kapan jam sakitu teh kuring biasana keur sibuk-sbukna di kantor. Mun pareng keur libur di imah, da langit beulah kulon teh tara ieuh kaciri, kahalang ku suhunan imah jeung gedung jangkung. Maklum kapan di Jakarta.
Padahal beheula basa masih keneh budak, wanci eta teh jadi salah sahiji favorit kuring. Sabatur-batur biasanya ngadon diuk na kuta masjid bari nuhurkeun kesang sanggeus maen bal atawa ucing baren di lapangan hareupun masjid.
Sakapeung sok dicarekan ku bapa atawa pa ustad. Soalna kadang-kadang kesang can kaburu garing kuring kudu geus milu solat. Bada solat terus ngaji. "Teu sopan eta teh. Memeh solat mah kuduna mandi heula. Piraku ngadep Pangeran bobolokot kesang," ceuk bapa, nu kiwari tos almarhum, sakali waktu.
Tapi da tara ieuh nurut. Isukna kuring tara kuat nahan gogoda asikna ulin jeung batur sapantaran.
Kiwari, mun pareng balik ka kampung, karing tara ieuh nyaksian barudak rame arulin di hareupeun masjid. Paling aya oge nu ngadon latihan maen bal, tapi da asa geus rada galede umurna teh. Basa solat Magrib oge tara kapanggih budah leutik umuran SD milu berjamaah, ukur hiji dua nu diajak ku bapana. Reres magrib oge masjid teh terus sepi, taya aya nu ngadon ngaji. Na kamarana barudak ayeuna?(*)
The Eternity, Tentang Resep Awet Muda

Bila di tangan anda tergenggam resep ramuan untuk menjadi awet muda, apa yang akan dilakukan? Menggunakannya? Menjualnya? atau menghancurkannya?
Dalam The Eternity, karangan Douglas Preston dan Lincoln Child, menghancurkan jadi pilihan yang diambil. Dua pilihan lainnya dianggap hanya akan membuat dunia menjadi menakutkan: kerusuhan dan baku-bunuh untuk berebut ramuan itu atau terjadi kelaparan karena semua manusia berusia sangat panjang.
Ini buku yang lumayan. Tentang misteri mutilasi tiga puluh enam tubuh di Manhattan, New York, pada 1870-1880. Mereka dibedah dalam keadaan hidup untuk diambil kumpulan saraf di sumsum tulang belakang demi mendapatkan resep awet muda. Pelakunya ilmuwan eksentrik, Enoch Leng, yang ingin hidup lebih lama untuk memuluskan misi memusnahkan umat manusia.
Di masa kini, tubuh ke-36 korban tersebut ditemukan saat sebuah komplek kondo dibangun. Jalinan asik penyeledikan agen FBI Pendergast dan arkeolog Dr. Nora Kelly kemudian terpapar. Mendebarkan dan penuh tikungan mengejutkan. Apalagi setelah kasus pembunuhan lain kemudian muncul dengan modus yang serupa.(*)
24 November 2008
Traitor, Film Terorisme Yang Berbeda

Ini film yang berbeda. Tentang terorisme, tapi dari sudut pandang berbeda. Bila anda kerap kecewa, sebal, atau geregetan dengan sudut pandang Hollywood tentang terorisme, fim Traitor ini menjanjikan sesuatu yang lain.
Ada sisi Islam yang lain yang disajikan dalam film garapan Jeffrey Nachmanoff ini. Itulah sisi Samir Horn (Don Cheadle), warga Amerika keturunan Sudan, mantan tentara Amerika yang jadi intel partikerlir, juga seorang penganut Islam yang teguh.
Dari diri Samir film itu menyajikan sudut pandang Islam yang lain. Bila para teroris --yang berrencana meledakkan 40 bis sarat penumpang di Amerika-- berani menghalalkan segala cara untuk meraih tujuannya, maka Samir adalah sosok muslim sebaliknya.
Dia justru menyungkur dalam sesal saat bom buatannya yang meledak di Keduataan AS di Nice, betul-betul merenggut para pegawai yang tak berdosa. Padahal sebelumnya dia dan bosnya --kontraktor intelejen AS-- sudah mengatur agar korban itu hanyalah di atas kertas saja untuk memuluskan jalan penyusupan ke tubuh teroris. "Karena menurut Al Qur'an membunuh satu orang tak berdosa sama dengan membunuh seluruh umat manusia," kata Samir.
Upaya penyusupan Samir untuk mengendus bos teroris serta kejaran gigih dari Roy Clayton (Guy Pearce) mampu menyajikan ketegangan yang terus memuncak hingga akhir film. Cukup menarik untuk memaku kita di tempat duduk.
Film ini tak istimewa, tapi lumayan lah. Runtut dan masuk akal. Meskipun bila ditelaah masih banyak lubang yang masih menganga. Masih banyak detail kecil yang hilang, misalnya soal latar belakang tindakan dan motivasi Samir menjadi intel. Uangkah? Idealisme kah? Tak jelas. Buktinya di ujung film Clayton menyebutnya sang pahlawan dan menawari dia kerjaan resmi, dia menolak. Bahkan ketika sang agen menyitir ayat suci: Bila anda menyelamatkan satu orang tak berdosa sama dengan menyelamatkan umat manusia.
Lepas dari kekurangannya, film ini pun sudah berani menyanjikan sudut pandang lain tentang dunia Islam.(*)
23 November 2008
Perjuangan Rumah Tangga
Saat berpacaran tak mungkin kita akan menduga seperti ini adanya. Begitu banyak masalah, begitu banyak hal kecil yang menyiksa, begitu banyak pengorbanan dibutuhkan.
Bila tak sabar, tak tabah, atau tak kuat, mungkin lebih gampang memilih jalan pintas: cerai! Itu adalah jalan yang sangat masuk akal setelah kita terus menerus diaduk-aduk rasa kecewa dan tak puas.
Tapi, banyak yang tetap memilih bertahan. Demi anak, begitu kebanyakan alasannya. Salah satu kerabatku termasuk yang begini. Sang suami tak puas sehingga memilih mencari pelampisan di luar. Sang istri kecewa, tapi tak berani menempuh jalan sendiri. Maka ikatan rumah tangga kemudian hanya jadi dagelan.
Demi anak, tepatkah alasan itu? Sebagian bilang ya, tapi bagiku tidak. Banyak anak yang orang tuanya bercerai memang kurang nyaman hidupnya. Tapi aku tak setuju bila disebut perkembangan psikologisnya akan terganggu. Buktinya, banyak orang jahat dan sialan saat ini justru hidup dari keluarga yang kedua orang tuanya hidup langgeng. Banyak pula anak yang orang tuanya bercerai justru jadi warga yang baik-baik dan senantiasa sentosa dalam hidupnya.
Jadi apa sebenarnya yang membuat banyak dari kita terdorong untuk berjuang mempertahankan bahtera yang sudah tak nyaman ditinggali? Akhirnya itulah pilihan masing-masing. Ujung-ujungnya karena kalkulasi masing-masing. Bagi orang mungkin remeh, keterlaluan, tak masuk akal, tapi bila yang menjalani merasa itu alasan yang masuk akal, mau apa lagi.
Membina rumah tangga adalah sebuah perjuangan. Melawan perbedaan, melawan kemarahan, melawan keegoisan, melawan rasa malas, melawan ketidakpuasan.
Tiap hari kita dihadapkan pada pergantian suasana yang begitu ekstrim. Pagi-pagi penuh canda tawa, penuh rencana indah, siangnya semua berantakan. Saling kecewa, berbalas kata tajam bahkan kasar. Malamnya mesra tiada tandingan, paginya bisa saja berubah dingin bukan kepalang. Perubahan itu bisa saja karena hal kecil. Seperti sebuah kalimat di ujung acara sarapan. Atau komentar kecil di saat nonton Tv. Sudah tentu hal besar bisa lebih ampuh mengubah segalanya.
Bila kontinum kebersamaan begitu gampang berayun, moodnya begitu cepat berganti, lalu harus bagaimana kita? Kecewa, marah, putus asa. Ya, itu normal adanya. Semua pernah atau akan merasakannya. Yang terpenting mungkin berikutnya. Bagaimana kita mengatasinya. Selalu berusaha mencari hal-hal positif di tengah begitu banyak aspek negatif. Selalu mencari sinar di tengah gulita yang kita rasakan. Tak mudah, pasti. Tapi kita bisa mencobanya.(*)
Ka Saha Nitipkeun Asih
“Huh, jadi kitu nyah, teu daek rumah tangga teh lantaran nungguan pamajikan batur?” Ema ngabalangkeun majalah kaluhur meja. Paromana cakueum haseum. Kuring Olohok. Na aya naon, datang-datang disambut ku bangkenu.
Sok majalah teh dirongkong. Dina halaman anu kabuka tembong judul ngajeblag : Ka Saha Nitipkeun Asih. Euh, berarti carita pondok kuring anu meunang lomba teh geus dimuat. Bener! Tuh geuning juara kahiji jeung kaduana oge dimuat babarengan.
Sinta teh? Naha siga widadari nepi ka Agung kaedanan?”
kerung. Har, naha bet jadi kieu? Tadina mah pangangguran. Basa nempo iklan sayembara ngarang carpon kuring bet katarik miluan. Kabeneran aya bahan tulisan anu can kungsi ka kirimkeun. Nya terus we diilukeun.
Ari caritana mah sederhana. Diropea tina pangalaman sorangan. Judul Ka Saha Nitipkeun Asih oge da lain asli beunang kuring. Baheula kungsi maca carita anu make judul kitu dina Mangle. Geus heubeul pisan, tapi eta kalimat bet tetep natrat dina ingetan. Kabeneran cocok jeung kaayan kuring ayeuna, nya dipake we.
Carpon teh nyaritakeun tokoh kuring anu terus diudag umur. Ku kolot ditagih geura kawin, tapi kuring bingung nangtukeun pilihan. Aya Neni. Sarua wartawan siga kuring. Manis, darehdeh, tur taat pisan kana agama. Make jilbab deuih. Kuring deukeut ka menhena lantaran meh unggal poe babarengan neangan berita.
Kuring kagum ka manehna. Kalangkangna sering kulayaban na pikiran. Asa bogoh, tapi oge cangcaya. Asana sampurna teuing. Beguer, manis, taat kana agama. Ideal pisan. Kuring jadi mindeng ham-ham. Naha pangawakan anu batan sakieu bisa ngigelan kasampuranaan manehna. Karunya teuing mun kuring teu bisa ngabagjakeun manehna.
Epes meer? Meureun. Tapi, ah, da barina oge kuring teh rada ragu-ragu ku sikep manehna. Siga lindeuk laleur. Bageur pisan ka kuring teh, tapi sakapeung asa aya jarak. Kuring jadi ham-ham, naha enya bageurna teh lantaran manehna boga rasa ka kuring.
Lila kaganggayong ku cangcaya, kuring akhirna justru leuwih deukeut ku Sinta. Ieu oge batur wartawan di lapangan. Manehna sobat dalit Neni. Tapi pasipatanana estu beda pisan. Mun Neni ramah tur pinuh perhatian, Sinta mah sering ketus. Teu boga rasa humor deuih. Dieleg teh sok langsung jamedud. Tapi, teuing kumaha mimitina, kuring jadi mindeng ngabanding-banding manehna jeung Neni.
Lila-lila kuring malah sering inget bae ka manehna. Mun di imah sok hayang geura gawe, hayang panggih jeung manehna. Berngakat gawe teh sumanget pisan da pan rek panggih jeung manehna. Hal itu bener-bener jadi siksaan keur kuring. Lantaran Sinta mah geus rumah tangga.
Tah eta kabingung teh ku kuring terus diropea jadi carita. Tetela bet kaleler juara ketilu.
“Urang mana Sinta teh?” Ema masih keneh tembong panasaran.
Kuring ngabelenyeh. “Ah, Ema, eta mah ngan ukur carita rekaan wungkul atuh. Sanes pangalaman nyata.”
“Tapi memang aya babaturan Agung nu ngaran Sinta kan? Ema oge pan sering narima telepon ti manehna.”
Wah! Memang sababaraha kali Sinta, oge Neni, nelepon ka imah. Biasana nanyakeun agenda acara keur isuk atawa menta nomor telepon sumber berita. Teu sangka ema masih keneh inget.
“Yeuh Gung, dosa hukumna lamun urang ngaganggu rumah tangga batur teh.”
Kuring kerung. “Ih ema, iraha kitu abdi ngaganggu rumah tangga batur?”
“Ari eta nanahaon?” Ema nunjuk majalah. “Ngarep-ngarep wanoja anu geus rumah tangga, lain ngaganggu rumah tangga batur ari kitu?”
“Aduh, Ema..., pan tadi ge tos dijelaskeun, eta mah ukur fiksi. Karangan. Bohong-bohongan.”
“Naha enya bohong-bohongan?”
“Ah, ema mah.” Daripada papanjangan gacang kuring ngaleos ka kamar. Majalah teh dibawa.
**
Isukna, base muru ka ruang wartawan DPRD, aya nu nepak taktak. Dilieuk, horeng Neni. “Hayoh, ngalamun bae. Digeroan mani teu lieuk-lieuk.”
“Aduh sori, rada malawung tadi teh.”
“Mikiran naon sih?”
Kuring ngarengkog. Naha titadi teh Neni bet sura-seuri terus. Aya naon nya? Nempo kuring merhatikeun, Neni tambah ngabelenyeh. Malah tungtungna nyeuleukeuteuk. Kuring tambah bingung.
“Aya naon, Nen?”
“Ah henteu. Neni mah karunya ka anu keur dirungrum kabingung.”
“Saha?”
“Aya. Sobat Neni keur bingung mikiran asmara.”
Kuring beuki teu ngarti. Cenah karunya, tapi titadi bet sura-seuri bae.
“Tos lah tong teuing dipikiran. Jodo mah tos aya nu ngaturna.”
Kuring tambah baluweng. “Eh, Neni ngomongkeun naon sih? Asa teu puguh juntrungna.”
“Tong bingung-bingung. Engke ku Neni dibantuan ngadugikeun ka Sinta.”
Kuring masih kerung. “Ngadugikeun naon?”
“Perasaan Agung. Ih, sok api-api. Dari pada bingung kasaha nitipkeun asih kan...,” pokna bari nyeuleukeuteuk deui. Terus manehna ngaleos ninggalkeun kuring anu masih keneh bengong.
Wah, berarti Neni oge maca carpon kuring. Aduh cilaka. Naha jadi kieu nya? Kuring gura-giru nyusul manehna. “Nen! Antosan atuh!”
“Hayu! Bilih acara rapat paripurna na kaburu mulai.”
Kuring unggeuk. Enya peo ieu teh aya rapat paripurna DPRD anu bakal mutuskeun kenaekan gajih Gubernur jeung DPRD. Mun ngabandungan sikep fraksi-fraksi basa diwawancara poe kamari mah, sigana disatujuan kenaekan gajih teh. Huh, pikasebeleun pisan para wakil rakyat teh. Diparilih teh lain ngabelaan rakyat, malah ngabelaan beuteung sorangan.
**
Basa asup ka kantin kuring mireungeuh Sinta keur nyanghareupan piring. Sabada pesen, kuring nyampeurkeun manehna. Nempo kuring teh manhena unggeuk. Tapi paromanna tembong teu berag.
“Kunaon, Sin?”
Manehna seuri maur. “Biasa lah, perang baratayuda.”
Perang baratayuda? “Pasea deui?”
Manehna unggeuk baru ngarahuh. Kuring milu ngarenghap panjang. Asana mindeng pisan Sinta pasea jeung salakina. Biasana soal anak. Maklum sanajan geus rumah tangga ampir opat taun maneha can oge oga budak.
“Masalah nu biasa?”
Sinta godeg. “Gara-gara Agung.”
Hah? “Ah, serius Sin...?”
Sinta unggeuk. “Kamari Neni nelepon, miwarang meser majalah Mangle terbaru. Ternyata aya tulisan Agung nya.” Kuring ngabetem. Asa bingung kumaha kudu mere reaksi. “Terus tadi enjing, basa Sinta keur masak si Aa ujug-ujug ambek. Pohara pisan ambekna teh. Nuduh kuring selingkuh. Kitu na teh bari nunjuk-nunjuk majalah nu aya tulisan Agung. Kabeneran basa tas maca teh ku Sinta halamanna dilipet.”
Meg! Angen kuring karasa asa ditonjok tarik pisan. Sinta tungkul. Kuring samar rampa. Salaki Sinta teh apaleun ka kuring da sababaraha kali kungsi papanggih. Jadi teu aneh lamun manhena langsung curiga teh.
“Si Aa teh ambekna bebeakan. Tapi Sinta mah da teu ngara salah, nya ngalawan we. Da teu rumasa selingkuh. Mun enya aya nu resepeun ka Sinta piraku kudu dicaram, tembal teh basa si Aa terus maksa supaya Sinta ngaku.” Sinta nyarita bari tetep tungkul.
Kuring beuki teu puguh rarasaan. “Hampura Agung, Sin ...,” kuring ngagerenyem meh taya soraan.
Sinta tanggah, mencrong. “Hampura? Hampura naonana, Gung? Pedah Agung boga rasa ka Sinta?” Kuring ngabetem.
“Ih ari soal eta mah Sinta justru kudu nuhun. Pangawakan Sinta anu batan sakieu bet masih aya keneh nu mikanyaah. Katarimakeun pisan, ngan Sinta mah moal tiasa malesan. Pan Sinta mah tos aya nu gaduh.”
Biwir Sinta teh terus ngabelenyeh. Ipis imutna teh. Tapi ceudeum anu titadi minuhan beungeutna ngadadak sirna. Asana imut Sinta teh bet manis pisan. Beda ti sasari. Kuring gancang mepeg rasa nu kumejot. “Tapi Agung tetep menta maaf. Lantaran tulisan Agung geus ngabarubahkeun rumah tangga Sinta .”
“Ah, biasa ari nu rumah tangga mah. Enjing ge pasti beres-roes deui.” Pokna baru imut deui. Hate kuring asa teu puguh rarasaan.
**
Basa mulang jam salapan peuting ema masih keneh nonton tivi.
“Aya undangan ti Mang Kamdi.” Pokna bari nyodokeun undangan.
“Undangan naon, Ma?”
“Mang Kamdi rek ngawinkeun.” Kuring neuteup Ema. Naha sorana asa rasa aneh. “Anak lalakina Mang Kamdi anu karek 23 taun rek kawin jeung urang Cimahi.”
Kalimat ema teh ngagantung. Kuring muka undangan baru ngadagoan sambungan caritaan ema anu geus kabade bakal kamana losna.
“Piraku Agung eleh ku budah kamari. Umur teh pan geus ampir 31, pagaewan geus boga. Naha ngadagoan naon deui atuh? Ngadagoan buuk huisan?”
Tuh kan, teu salah tina sangkaan. Kuring narik napas panjang bari meubeutkeun maneh kana korsi gigireun ema.
“Atawa rek terus ngadagoan pamajikan batur?”
Kurung ngarahuh. Lung we undangan nu can dibaca teh kana meja. Enya rek iraha atuh kuring teh bisa kawin? Teu ku hanteu, ras inget ke Neni anu bageur, ka Sinta nu tadi imut manis kacira. Ah, ka saha atuh kudu nitipkeun asih?(***)
Pamulang, Des 2005
Terpesona FBT Thailand
"Jangan lupa oleh-oleh FBT." Seorang kawan di kantor berpesan sambil melontarkan senyum sebelum saya bertolak ke Thailand. Setelah beberapa kali meliput SEA Games, dia tampaknya sudah kepincut oleh produk asli Thailand itu. "Kualitasnya bagus dan harganya murah," katanya.
FBT --singkatan dari football Thailand-- sudah menjadi ikon olah raga Thailand. Perusahaan asli negeri Gajah putih itu, yang memproduksi pakaian dan alat-alat olah raga serta berbagai cendera mata, bahkan terus mengepakkan pengaruhnya ke luar Thailand. Mereka menjadi langganan sponsor utama dalam berbagai kejuaraan olahraga di Asia Tenggara dan Asia.
Dan pada ajang seperti SEA Games dominasi mereka bahkan melebihi produk yang merknya sudah mendunia seperti Nike dan Adidas. Lihat saja dalam SEA Games kali ini. FBT adalah salah satu sponsor utama. Urusan pakaian dan pernak-pernik cendera mata menjadi hak eksklusif mereka. Dengan tak adanya saingan, sudah tentu FBT mengeruk untung habis-habisan. Tiap hari produk mereka terus menjadi buruan para pembeli. Hal itu tampak baik di beberapa mall di kota Nakhon Ratchasima serta di arena bazaar di berbagai tempat pertandingan.
Tapi FBT memang meraih semua itu dengan usaha keras dan panjang. Perusahaan ini betul-betul tumbuh dari bawah. Adalah Kamol Chokephaibulkit yang merintisnya pada 1952. Dia memulai dari sebuah toko kecil di Latkrabang dengan menwarkan jasa untuk membuat dan merevarasi bola sepak. Saat itu dia hanya memiliki tiga pegawai saja.
Dengan ketekunan dan komitmen untuk menjaga kualitas, usaha Kamol terus menggeliat. Hanya 11 tahun setelah berdiri, pada 1963, Kamol pun berkesempatan bertemu Raja Bhumibol Adulyadej dan memamerkan bola sepak dan rugbi produk perusahaannya dalam acara Thai Product Fair di Saranom Palace. Tiga tahun kemudian produk FBT menjadi salah satu sponsor Asian Games V yang digelar di Bangkok.
Pada 1972 --setelah 20 tahun berjuang-- Kamol pun mampu membangun pabrik pertamanya yang mepekerjakan 30 pegawai. Kini pabrik itu berkapasitas 6 ribu pakaian per hari. Setelah mendapat pengakuan FIFA pada 1978 FBT pun makin leluasa menjejakkan kaki.
Kini FBT sudah kian meraksasa. Mereka sudah memiliki pabrik kedua yang mempekerjakan 2 ribu orang dan bisa memproduksi bola hingga 15 ribu per hari. Mereka juga sudah memiliki gedung megah yang disebut "one-stop sports shopping centre", terletak di Bangkok itu didirikan pada 1995.
Menyimak jejak Kamol dan FBT-nya, ingatan saya pun terbetot ke tanah air. Kenapa kita tak bisa memunculkan orang seulet dia? Saya ingat betul pada 2006 lalu ramai diberitakan soal bola sepak produk Majalengka, Jawa Barat, yang berhasil menembus Piala Dunia.
Jadi kalau ngomong soal kualitas kita pasti tak kalah. Tapi, ini yang ironisnya, kita tak melihat satu pun perusahaan lokal mampu besaing di pasaran produk olah raga. Pangsa pasar yang gurih itu masih didominasi oleh produk asing, yang sebenarnya dibuat di tanah air lalu dipasangi merk dari luar negeri. Ah, mungkin itu semua salah kita juga, yang masih kerap terlalu gandrung pada merk asing.
Thailand, 11 Des 2007
Melongok Bonbin di Thailand
Saya langsung tertantang. Kebun Bintang Nakhon Ratchasima, Thailand, dalam Brosur wisata itu, disebut salah yang termodern di Asia. Kebanyakan koleksi bintangnya didatangkan dari Afrika. Hm, modern mana dibandingkan Kebun Binatang Ragunana, ya?
Yang lebih membuat saya tertarik di sebutkan bahwa di sana pengunjung bisa berkeliling dengan sepeda sewaan. Ini yang jarang ditemukan di kebun bintanng Indonesia.
Maka Rabu pagi lalu saya pun menyisihkan waktu di sela kesibukan meliput SEA Games. Kebun bintang seluas 800 km2 itu terletak di jalan raya menuju Pak Thong Chai, hanya 15 menitan dari Stadion Utama tempat berbagai pertandingan digelar.
Dari luar susananya tampak asri dan bersih. Tiketnya pun tak terlalu mahal, hanya 50 baht (Rp 15 ribu). Tapi begitu turun dari tuk-tuk di dalam areal kebun bintang, saya pun kebingungan. Mencari informasi lagi-lagi tak gampang karena kendala bahasa. Sangat sulit menemukan orang paham bahasa Inggris di tempat itu.
Maka saya putuskan mencari pusat informasi dengan sepeda. Ada banyak jenis sepeda yang disewakan di sana, dangan tarif antara 20 hingga 40 baht. Setelah mendapat yang pas saya langsung menggejotnya. Asyik juga. Jalanan di tempat itu licin beraspal dan rimbun oleh pepohonan.
Tapi, pusat informasi itu tak juga ketemu. Berbekal peta yang mayoritas berhurup cacing (aksara Thailand) saya bertanya sana-sini. Eh, malah tambah bingung. Yang satu nunjuk sana, yang lain nunjuk sini. Begitu ketemu gedung yang terpampang di peta, kok tak ada petugas. Ah, semprul.
Saya pun memutuskan melupakan pencarian itu dan menikmati kebun binatang itu sedapatnya. Sendirian saya terus mengayuh sepeda. Pagi itu kebun binatang sudah mulai ramai, terutama oleh rombongan anak-anak usia sekolah yang tampaknya datang berkelompok. Ada pula rombongan pramuka yang sedang melakukan kegaiatan di sana.
Ke tiap areal kandang bintang, saya selalu menyempatkan diri melongoknya. Cukup banyak koelksi di sana: singa, jerapah, cheetah, zebra, bahkan penguin pun ada.
Tapi koleksi Ragunan saya kira tak kalah dari ini.
Di salah satu sudut kebun, saya menyaksikan segerombolan rusa bebas berkeliaran. Beberepa asyik berjemur di tengah jalan. Sudah ada tiga pesepeda lain yang sedang berfoto di dekat rusa-rusa itu. Dua pria dan seorang wanita muda itu ternyata dating dari Bangkok. Mereka kru televisi Channel 11 yang juga sedang meliput SEA Games. "Hari ini kami libur, jadi menyempatkan diri mencari hiburan," kata Kitisak, lelaki yang paling tua.
Kitisak merasa kebun binatang itu sangat asyik untuk rekreasi. Pengunjung bisa melihat pemandangan dan berolah raga santai dengan sepeda. "Kebun binatangnya juga jauh lebih bagus dari yang di Bangkok," katanya.
Usai berbincang dengan mereka, sendirian saya kembali berkeliling. Matahari mulai meninggi, paha pun mulai terasa pegal karena terus mengayuh. Ah, saya ingat, hari ini masih harus menghemat tenaga karena masih banyak pertandingan yang harus diliput. Saya pun memutuskan meninggalkan kebun bintang itu dengan badan berkeringat. Tapi, sungguh, ini pengalaman berbeda dan asyik.
Thailand, 13 Desember 2007
21 November 2008
Setelah Indonesia Dipecundangi Burma
Kegagalan seperti ini bukanlah hal baru. Kita bahkan sudah terlalu lama, hingga kita semua lupa, bagaimana rasanya melihat Indonesia menjadi juara. Di level Asia Tenggara pun kita kini hanya menjadi tim kelas dua.
Hari ini, rekan wartawan yang biasa meliput berita PSSI kembali ke kantor dengan berkaok-kaok kecewa. "Bendol Payah, harusnya dipecat saja," katanya. Bendol adalah Benny Dolo, pelatih yang kini membesut tim Indonesia.
Ini adalah kali kedua Bendol menangani tim Indonesia, setelah sebelumnya sempat didepak karena dianggap gagal di ajang SEA Games. Kali ini dia diplot untuk membawa Indonesia di ajang Piala AFF yang bulan depan akan bergulir. Jadi ajang di Burma yang baru berakhir itu hanyalah ajang pemanasan saja.
Jadi tepatkah dia dipecat setelah gagal di Burma? Saya kurang sependapat.Pengelaman berbagai negara menunjukkan: pelatih yang sukses mempersembahkan prestasi biasa mengawali dari kegagalan. Lihatlah Luis Aragones yang terus dicaci publik setempat sebelum berhasil mempersebahkan gelar juara Euro 2008.
Bendol mungkin harus diberi kepercayaan dan keleluasan lebih besar. Oke deh, kegagalan di Burma memang harus jadi catatan buat dia. PSSI pun harus memanggil dan berdiskusi panjang lebar soal kegagalan ini untuk merancang langkah bersama ke depan.
Saya, terus terang, termasuk yang sudah bosan melihat pelatih tim nasional terus bergonta-ganti, baik asing maupun lokal, tapi prestasi yang diraih ya sami mawon. Lagi pula pelatih baru nanti bisa memberi keajaiban apa, bila materi yang ada ya tetap yang itu-itu saja.
Bendol bagi saya merupakan salah satu pelatih pilihan di dalam negeri. Dia punya keberanian, termasuk dalam memanggil pemain-pemain yang sebelumnya kurang mendapat perhatian. Meski bertemperamen keras, tapi dia kerap mampu mebangkitkan potensi-potensi dari para pemain baru itu.
Langkah yang bijak ditempuh saat ini bagi saya adalah mempertahakan Bendol sambil berusaha menata sistem. Bila ingin ada perubahan maka level pemain muda kitalah yang harus jadi garapan. Mengirim Tim U-17 unruk berkompetisi di Uruguay merupakan salah satu pilihan bagus. Langkah lain yang mungkin adalah menyewa pelatih bagus khusus untuk menggembleng para pemain muda di dalam negeri.
Jadi bila dari tim nasional senior saat ini kita bisa tak bisa berharap banyak, maka dari penerusnyalah kita bisa menanti peningkatan. Keajaiban tak akan datang pada kita, kecuali dengan usaha keras. Dan itu butuh waktu lama, tentunya.(*)
Ayo Pulang, Nak!
Bila kumangkel pada bunda kalian, biasanya kalian yang jadi jembatan. Mencarikan susana menjadi juru damai.Kini kalian tak ada, ketagangan terasa lebih pekat.
Saat kalian di sekitar, aku sering kali tak bisa istirahat.Pikiran semuanya tersedot.Saat-saat tenang yang hanya sekilas ketika kalian tidur, terasa sanga bermakna.Kini ketika kalian tak ada, mengapa saat senggang yang melimpah justru jadi siksaan.
Ah, dede, kaka, ayo pulang. Ayah kangen.(*)
18 November 2008
Sisi Cisodong
pernahna kuloneun lembur kuring, Kampung Palumbungan. Salawasna jadi alaternatif terakhir warga. Mun halodo mimiti rohaka, jeung sumur mulai ngorotan, Cisodong terus jadi jugjugan. Jadi tempat nyeuseuh, tempat mandi, tempat ngala cai jang kabutuhan dapur.
Di Cisodong kungsi aya asmara teu tinekanan.
Hari teh tas lebaran. Ngadon tepung sono jeung batur-batur SD. Ngaliwet bari mandi. Limaan berangkat teh, tapi nu matak degdegan, milu oge L, nu kungsi dipeupeujeuhkeun ka kuring basa masih keur SD. Cinta monyet kuring.
Obrolan di sisi walungan tetela terus nyambung. Disambung ke susuratan basa pada-pada ninggalkeun lembur. Kuring ka Jogja, manehna ka Bandung. Hanjakal ngan ukur bubulanan. Waktu jeung anggang misahkeun kuring.
Kiwari kuring ilang raratan. Cenahmah manehna geus boga budak opat. Ari kuring karek dua. Kadang-kadang sok hayang panggih, hayang ngawawaas jaman beheula. Di mana anjeun, L?(*)
Buat Baswedan
langka dipunya khalayak banyak
visimu menjadi cahaya
menerangi langkah sesiapa
tapi, maaf, seberapa kokoh pijakanmu
tidakkah kau akan tergiur juga
gemerlap politik pembunuh nurani
ku takut
ambisimu
akan mengeruhkan jernihmu
memadamkan visimu
membunuh kagumku(*)
Menjadi Optimistis
Pagi ini kumelihatnya di OChannel, di acara bincang 'Pagi Jakarta'. Tak komplit kusaksikan acarnya, tapi begitu kulihat dia tengah mengemukakn hal yang menarik. Soal kesalahan kita yang memilih jadi pesimitis.
Menurutnya, begitu banyak orang pesimitis dalam melihat segala hal di masa ini. Dan itu keliru besar. "Sebelum kemerdekaan, di saat ada sejuta alasan untuk pesimistis, para pendiri bangsa ini justru memilih optimistis," katanya. "Tapi di saat ini, ketiga ada banyak alasan untuk optimistis, justru banyak yang memilih menjadi pesimitis."
Menarik. Juga mengena. Ya, betapa aku pun masuk di dalam sentilannya. Aku adalah raja pengeluh dalam hidup. Aku juga sudah merasa putus asa dengan politik negeri ini. Mungkin benar kata dia. Kita harus berubah dan berani mengubah keadaan yang tak memuaskan. Segalanya bisa dimulai dari lingkungan terkecil. Kita dan keluarga kita.
Ya, mari menjadi lebih optimistis. Menjadi lebih berenergi dalam mencecap hidup. Lebih bersemangat saat mengubah keadaan. Ayo!(*)
Ketulusan di Mittraphap Road
Sabtu malam itu, saya dan dua kawan dari Tempo, pulang malam dari Main Press Centre (MPC). Menurut jadwal bus panitia masih sejam lagi datang. Kompleks Universitas Teknologi Suranaree yang jadi basis MPC –dan perkampungan atlet— berada di pinggiran kota, sangat sepi pada malam dan susah sekali mendapat tuk-tuk atau taksi.
Kami pun menunggu, terduduk di trotoar sambil mengobrol mengusir suntuk. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba sebuah Nissan Sunny warna silver berhenti tak jauh dari kami. Sang sopir melengok keluar. “Anda mau kemana?” tanyanya. Dia seorang polisi kalau melihat seragamannya.
Saat kami menyebut hotel tujuan kami, dia tersenyum dan menawarkan untuk mengantar. Dengan terheran-heran kami mengiayakan. Juga saat sang polisi itu dan wanita muda yang ternyata adalah istrinya memindahan tas dan serenteng baju dari jok belakang ke bagasi untuk memberi tempat bagi kami. Rasa takjub itu bahkan tak hilang sepanjang jalan. Baik nian ini orang, batin saya.
Di jalan kami berkomunikasi aktif, tapi mungkin tak sepenuhnya efektif. Bahasa Inggrisnya dan bahasa Inggris kami kerap tak saling mengerti. Kami bertanya kemana, dia menjawab kemana. Di sela pertanyaan kadang pak polisi berusia 43 tahunan itu berdiskusi dulu dengan sang istri dalam bahasa Thailand.
Tapi dari komunikasi itu saya bisa menangkap sejumlah hal. Dia adalah polisi lalu lintas dan tinggal di dalam kota Nakhon. Dia juga tahu tentang Jakarta dan Bali. “Saya selalu bermimpi berlibur ke Bali,” katanya. “Ya, tapi uang kami tak pernah cukup,” sambung sang istri. Keduanya tertawa. Terdengar ceria dan tidak pahit atau sinis.
Tak terasa kami sudah sampai ke gang yang menuju hotel kami. Terasa berat untuk berpisah. Mr Dom juga masih tampak antusias. Ketika saling pamit dan kami berkali-kali mengucapkan terima kasih, saya baru sadar tak tahu banyak tentang dia, termasuk apa pangkatnya.
Tapi kami mungkin masih akan bertemu lagi. Sebelum berpisah kami sempat bertukar email. “Bila anda ke Thailand lagi nanti, kontak saya saya. Saya siap mengantar anda berkeliling,” kata Mr Dom.
Ah, pribadi Mr Dom adalah mutiara yang saya rasa makin hilang di Jakarta. Keramahannya, ketulusannya, kebaikannya itu maksuda saya. Di Jakarta dan juga Indonesia –negeri yang dikenal dihuni masyarakat peramah-- saya justru kerap ragu tiap menerimta tawaran pertolongan dari orang asing. Mungkin karena banyak cerita seram soal kejahatan bermodus akal bulus keramahan.
Mr Dom juga memberi saya persepektif berbeda soal polisi. Polisi yang bisa sangat ramah dan penolong. Seandainya saja di Indonesia banyak yang seperti dia.
Thailand, 12 Desember 2007
Nakhon Ratchasima, Teringat Bandung Masa Lalu
Tapi perasaan lega itu hanya sesaat saja. Pukul 02.30 pagi Khorat seperti kota hantu. Sepi, meski bermandikan cahaya terang. Hanya sesekali mobil pribadi melintas di jalan. Tak ada tuk-tuk yang oleh panitia di Bangkok diklaim beroperasi 24 jam. Tak ada juga terlihat taksi lalu-lalang seperti di Jakarta.
Ketika saya –dan seorang kawan wartawan Jakarta seperjalanan—didrop di depan hotel di seberang main press center kami betul-betul merasa tersesat. Petugas kemanan dan penjaga hotel tak bisa berbahasa Inggris. Ditanya alamat hotel yang jadi tujuan kami, keduanya malah kebingungan. Juga saat tulisan cacing –begitu saya menyebut hurup latin Thailand—yang dituliskan petugas di Bangkok kami perlihatkan.
Tapi bahasa tarzan akhirnya berguna. Saat saya bilang taksi, si penjaga hotel yang tampak mengantuk sigap mengambil kartu nama. “Taksi,” katanya tegas. Setelah saya telepon nomor di kartu itu dan 10 menit kemudian orannya muncul. Pria berbadan besar itu dating mengendarai pick up dobel kabin. Tak ada tulisan taksi di mobilnya. Taksi gelap, batin saya. Saat kami perlihatkan tulisan cacing itu, dia manggut-manggut dan segera menelepon seseorang dalam bahasa Thai. Sesaat kemudian dia mengajak kami masuk mobilnya. “Itu hotel baru. Saya tahu tempatnya,” katanya.
Di jalan saya masih khawatir. “Wah, jangan-jangan kita digorok nih, dikasih harga tinggi,” teman sepejalanan saya rupanya sama khawatirnya. Tapi, ternyata tidak. Sampai di apartemen itu kami hanya dikenakan tarif 250 ribu baht atau sekitar Rp 75 ribu. Terasa murah untuk orang asing yang merasa sedang tersesat.
Tapi seperti itulah tampaknya Khorat. Kota sederhana dan bersahaja. Rekan wartawan lain pun sama mengakui, jarang sekali yang mendapat pengalaman buruk dikenakan harga yang tak wajar. Ah, berbeda sekali dengan pengalaman saya meliput SEA Games Vietnam 4 tahun lalu ketika sempat “dirampok” habis-habisan oleh tukang ojek yang pernah terdampar di Pulau Galang.
Khorat adalah ibukota provinsi di Timur Laut Thailand. Memiliki luas 20.494 km persegi, tempat ini hanya berpenduduk 2,5 juta. Memiliki jalanan yang sangat lebar (rata-rata bisa muat 8 mobil untuk dua arah), kota ini justru belum memiliki dihuni banyak kendaraan. Akibatnya, kemacetan pun menjadi barang langka di kota ini. “Kota yang asyik, sayang kalau malam terasa sepi dan susah cari angkutan,” kata seorang jurnalis tabloid dari Jakarta.
Kota Khorat juga bersih dan udaranya sejuk. Di pagi hari angin yang bertiup kadang terasa menusuk tulang. Irfan, wartawan dari Bandung pun terpesona. “Rasanya seperti berada di Bandung pada tahun 1987-an, saat saya masih SMA,” katanya. “Di sini adem, kalem, dan antimacet.”
Khorat, 8 Desember 2007
17 November 2008
Mencari Semangat
sendiri menjemput kenangan
serasa kemarin
dimabuk sensasi remasan tangan
dibadai kerling kejoramu
jalan lurus rindang teduh
bangunkan bayangan dulu
merapat erat
membelah angin
menjemput kepayang
malam sunyi berpayung bintang
gaungkan ikrar dulu:
berani cinta sehidup semati
rumah mungil di jalan sempit
kini nyaris hilang hangat
dirampok waktu
dirampas kesibukan(*)
Maniak Yang Berubah
Ada apa? Faktor teknis mungkin jadi penyumbang. Kualitas dvd yang kulihat kerap tak memenuhi standar, terutama gambar dan teksnya, sering kali Jauh dari memuaskan. Hal itu kerap membuat sebal dan membunuh kenikmatan.
Faktor usia juga mungkin berpengaruh. Kini sudah semakin sepuh. Makin banyak film yang sudah ditonton. Bila hanya datar tanpa inovasi maka kerap kali aku sudah bisa menduga plot dan likaliku ceritanya. Begitu 15 tak ada hal baru, tangan pun gatal untuk mempercepat putaran film.
Harapan juga bisa jadi penyebab. Aku kini lebih kerap jadi penonton yang penuntut. Mengharapkan kepahlawanan, kelucuan, kebesaran hati, keindahan cinta, keunikan, atau kecerdikan. Bila hal itu tak ditemukan, maka hasrat menuntaskan tontonan pun akan langsung menguap.
Sudah sering kecewa, tapi selalu saja aku terdorong untuk membeli film baru. Menontonnya, lalu kembali tak puas. Huh...(*)
Di Tungtung Jalan
lir kalakay maruragan
katiup angin
kakalayangan
kanyaah urang
bleg rungga
kapalidkeun caah
kokoleaban
taya puntangan
sakecap
nurihan ati
sarengkak
mesetan dada
saringkang
beuki ngajauhkeun urang
ah, lebar temen
padahal kakara tilu purnama
asih direnda dihadehade
ih, palias teuing
mun urang kudu anggeusan(*)
Pasimpangan
tali asih beuki ngendoran
dirobeda sifat patukangtonggong
pasini urang nu baheula
beuki ngolembar tina implengan
rek kamana lengkah teh, enung?
kenca jurang, katuhu jungkrang
bongan pada mawa karep sorangan
bongan keukeuh aingaingan
rek sabaraha lila deui, enung?
da umur beuki ngorotan
kapan kasabaran aya anggeusna
Ah...(*)
Hari Ini Mendung
Dalam hatiku awan bergumpal lebih kelam. Tak ada ceria, tak pula keindahan. Hanya murung dan rasa lelah. IRasanya penghuni biduk makin tak seiring jalan. Banyak hal sepela melukai hati.
Musim pancaroba seperti ini keadaan begitu gampang berganti. Pagi hujan, siang terik, sorenya kembali mendung. Hari ini panas, besok bisa saja hujan gede-gedean.
Kehidupan rumah tangga adalah masa pancaroba selamanya. Kini bahagia, besok bisa saja kecewa. Hari ini tertawan bahagia, besok saling lempar kata-kata menyakitkan. Pagi gundah, sorenya bisa jadi lega.
Di masa pancaroba penyakit amat gampang menyapa: flu, pilek, demam, batuk. Kadang bahkan demam berdarah. Kita harus selalu waspada, menjaga kondisi badan dan memperhatian kesehatan lingkungan.
Dalam masa pancaroba rumah tangga yang harus disiapkan adalah hati yang lebih lapang, yang lebih pemaaf, lebih mau menerima kehendak orang, lebih mau menjadi pihak terkalahkan.
Ketika cuaca tak begitu gampang diterka, kadang kita malas bepergian. Tak enak kecegat hujan di tengah kemacetan. Lebih baik di rumah bercengkrama dengan anak-anak. Ketika hubungan suami istri sedang korslet, hati juga jadi serba malas. Maunya tidur atau mencari pelampiasan lain.
Tapi ah, masa ada si kembarku. Keduanya butuh perhatian. Keduanya butuh stimulus kegembiraan untuk mendongkrak kepribadian.
Jadi aku harus kuat. Lupakan kekecewaan yang kian hari kian menumpuk. Pusatkan perhatian pada anak2, yang lain peduli setan.
Jadi Nak, mari bergembira bersama ayah. Menyanyi, melompat, berteriak-teriak, tertawa, dan menangis bersama. Ayo, nak.........!(*)
16 November 2008
Kubangan Amarah
Kini aku tahu jawabnnya. Soalnya hari ini amarahku begitu tersulut hanya karena hal kecil. Setelah itu lama sekali persoalan itu menghantuiku sehingga menyedot daya konsentrasiku dalam bekerja.
Jadi dari situlah rupanya si kembarku mengambil kepribadiannya. Dari sifat pemarah ayah dan bundanya. Padahal anak-anak, semakin yakin aku akan hal ini, hanyalah menampung dan memantulkan kembali sifat-sifat dari kedua orang tuanya. Sedihnya, sifat buruk orang tua terkadang dipantulkan sang anak dengan lebih keras. Ah, mudah-mudahan mereka bisa berubah. (*)
Surgakah Rumahku?
Aku selalu berusaha mewujudkan surga itu di rumah kecilku di pinggiran Jakarta.
Kondisi rumah RSS itu tentu jauh dari sempurna. Tak indah, tak luas, tak juga membanggakan. Tapi aku selalu berusaha mengaturnya agar nyaman dan menyenangkan.
Semula kurasa aku sudah berhasil. Karena di sana aku menemukan ketenangan. Saat jauh aku pun terasa kangen menyesap susananya. Banyak rencana kususun untuk masa depan si rumah mungil itu.
Tapi, dugaan ternyata keliru. Karena suatu hari istriku dengan gaya sungkan bertanya: mungkin nggak kami pindah dari sana?
Rupanya bukan soal sempit yang membebaninya. Tapi ulah tetangga yang membuatnya tertekan. Suatu hari dia melihat dua bapak-bapak "mengeroyok" seorang ibu. Mereka, yang rupanya sudah saling tak puas sejak lama, saling berukar kata-kata kasar. "Kok bapak2 di sini begitu ya. Salah atau benar tapi yang dihadapinya kan tetap seorang perempuan?" keluh istriku.
Pembicaraan pun lantas beralih pada kemungkinan yang bisa kami tempih ke depan. Dengan sedikit berakrobat, mungkin kami bisa menemukan rumah baru, yang sedikit lebih besar malah. Tentu asalkan mau mebebani diri dengan utang.
Tapi pertanyaan mendasar yang masih mengganggu: bila ulah tetangga yang jadi soal, adakah jaminan bahwa di tempat baru semua tetangga akan sesempurna harapan kami?
Diskusi itu akhirnya terputus. Aku tak puas, istriku juga tetap resah. Kini surga kami sudah berubah. Tak serta merta jadi neraka memang, tapi segala rencana yang dulu tersusun untuknya sementara dimasukkan kotak. Semua angan-angan untuk pengembangan disimpan sambil melihat pekembangan.
Rumahku masih mungil. Aku masih sering kangen untuk segera pulang ke haribannya. Maklum di sana ada dua mahluk mungil kembar yang menggemaskan. Tapi kini aku tak yakin lagi, haruskah rumah ini terus kupupuk atau kutinggalkan saja...(*)
12 November 2008
Baheula Sono, Ayeuna Sono
Basa tinekanan, kuring sakola di kota, enya merenah. Asa bebas pisan. Ngalengkah taya hahalang, ngeleos taya panyaram.
Kiwari geus welasan taun di kota. Kayaan jadi patukang tonggong. Kuring bet mindeng sono ka kampung. Sono kana hiliwir angin di saung sawah, sono kana suasana basa ngaliwet di sisi walungan, basa muru manuk di sisi leuweung.
Asa rineh pisan mun boga imah di kampung. Isuk2 siduru mari nyuruput kopi. Teu kudu diburu2 waktu. Teu kudu diudag-udah macet. Rineh. Genah. Merenah. Tumaninah. Alah ieung..........(*)
Kenangan Jomblo
Rasa
terlalu mudah terhanyat
terbawa rasa yang buta
terpesona, peduli pada siapa
kedekatan
cepat memupuk harapan
dan kerinduan
ini kali padamu
kemarin pada dia
esok entah siapa
terlalu mudah berubah
terlalu cepat berganti
tak satu lekat di hati
ah, jangan jangan
aku akan berakhir sendirian
(tertanda: 2004)
Kini bujang itu telah memiliki putri kembar. hehehehe....
Datar
tak ada harap, tak jua putus asa
tidak sedih, tidak gembira
tak kurang, tak lebih
hanya di tengahtengah
datar tanpa gelombang
tidakkah membosankan?(*)
Dari file lama : 2005
11 November 2008
Ciwayang
ngarengkog
sepi mamring
poek mongkleng
gulidag caah
hawar-hawar, congoeun gurawil jurang
punduk ting puringkak
kahudang kalangkang
karung-karung palid
eusi babatang tukang teluh
Iyyyyy.....(*)
Jadi Urang Sunda Pinggiran
Coba urang inget-inget, geus sabaraha tahun kuring tih lunta? Mimiti taun 1990 ka Jogja, terus Surabaya, ayeuna Jakarta. Geus ampir 18 taun geuing. Lila pisan. Salila eta, basa sunda teh ukur kapake saliwat-saliwat. Mun panggih jeung sasama urang sunda di pangumbaraan. Atawa mun keur balik lebaran sataun sakli.
Sabenerna kuring rabi teh ka urang sunda, urang Kuningan. Tapi nya eta asa karagok mun ngobrol jeung si bunda make basa sunda teh. Komo da sunda manehna mah sunda kasar. Karasa asa nyentuk kana angen mun omonganana nu kasar ditujukeun ke kuring teh. Pangna ge kuring teh sok tetep nembal ku Basa Indonesia we, sanajan diajak ngobrol basa Sunda oge.
Sakapeung sok muncul rasa sono. Komo mun inget basa jaman di kampung beheula (Cigugur, Ciamis) basa masih bisa rutin ngabandungan carita pondok tina Mangle. Inget pisan, sok parebut jeung batur nu sarua hayang nginjeum majalah ka Mang Momon (almarhum) atawa Bu Aam.
Basa keur di Jogja jeung Surabaya sakapeung sok ngahaja meuli Mangle urut saloba-loba, keur bahan bacaeun ari keur rineh. Tapi ayuena mah berekah, tara pisan. Asana gues aya tilu atau opat taun mah kuring sama sakali tara ngabandungan Mangle. Naha aya keneh atawa henteu nya?
Kalan-kalan kuring sok iseng ngotektak dina internet. Bet manggih majalah Cupumanik anu muat carita pondok. Ah lumayan ubar sono. Hanjakal asa langka pisan di-up date-na majalah teh.
Dua poe katukang kuring bet panggih jeung mekanik urang sunda. Basa ngabengkel motor di daerah Lebak Bulus. Harita karasa pisan kateugna ngomong basa sunda teh. Manehna make basa lemes, ari kuring angger we basa kasar.
Ah bener beuki lila teh kuring asa jadi urang sunda atu terasing, anu beuki terasing tina hal-hal kasundaan.(*)
Hopeless
bak dikuliti sekujur badan
sayatan pertama mutus harapan
yang kedua memangkas keyakinan
ketiga remukkan keberanian
sayatan berikut merebut kehidupan
mengambang aku, di kehampaan
terobangambing tanpa pegangan
tak nampak cahaya di depan
hanya kelam yang menyedihkan
dan hidup yang membosankan
hilang sudah, sirna semua
tersisa gundah dan marah(*)
File: 2005
Mimpi Indah
tanpa segala duka
pagi,
melangkah penuh harap
lantas bersua banyak keceriaan
siang, tertawa kagumi segala
sore, terpesona menatap saat cepat beranjak
lalu malam
saat mata belum terpejam
bibir pun mengulas senyim
: ini hari sempurna
sungguh!
dan esok pasti datang
membawa kegembiraan baru (*)
(File lama : 2004)
Sunyi
sore hampir beranjak
canda bocah sayupsampai
dari balik jendela
termangumangu aku
berkabut sepi
tak bosan menatap layar mimpi
malam menyapa
langit tiada purnama
gulita dalam dada
Sepi mengabut
tapi tak lagi menyakiti
hanya membunuhku
pelanpelan
dan sekaratlah aku
dalam senyap kehampaan(*)
(dari file lama: Juli 2004)
10 November 2008
Buat Putri Kebarku
tawa dan duka disesap bersama
kaka icha
dede lala
ayah
bunda
kita
hampir dua masa
kalian cepat beranjak
serasa kemarin
ku timangtimang
ku sayangsayang
hampir dua masa
kalian mulai berkehendak bebas
bikin senang
bikin tenang
bikin sebal
bikin bebal
ayahmu kini kewalahan
kelelahan
kegirangan
hampir dua masa
semoga tak cepat berakhir(*)
Revolusi Facebook
Memang asik sih. Facebook betul2 membuat kita bisa tersambung dengan begitu banyak teman di seluruh dunia. Kita bisa berkirim kabar tentang lokasi dan kegiatan kita. Kita juga tahu tentang posisi dan aktivitas teman lain. Bahkan interaksi, termsuk chatting person to person, bisa dilakukan dengan leluasa.
Luar biasa bukan? Dunia makin sempit. Pergaulan makin luas. Wawasan kian bertambah, harusnya.
Sementara ini, kulihat, teman2 masih menggunakan jaringan ini sekedar untuk iseng atau untuk menorehkan hal2 sepele. Sekedar berhalo2 atau berkirim ucapan misalnya.
Tapi di luar negeri, jejaring ini telah mampu memobilasasi manusia. Barrcak Obama naik pamor juga dengan memanfaatkan facebook. Dan kini dia sudah jadi presiden AS. Di Indonesia, beberapa tokoh sudah mulai merintis ke aras itu.
Dulu email. Sekarang facebook. Nanti entah apa lagi. Dunia begitu cepat bergerak. Dan aku tartatih2 mengikutinya.(*)
Gerentes: Hirup Teh....
Pertanyaan teh bet ujug2 nolen hate. Isuk2 basa katugenah datang.
Ti poe ka poe hirup bet asa taya incahna. Kitu deui, kitu deui, kitu deui. Mun jadi bahan carita mah matak garing. Mun jadi dongeng pasti ditinggal sare ku barudak lantaran matak bosen.
Hirup teh ngadagoan naon atuh?
Terlalu inggis kupikahareupeun. Terlalu rempan ku jalan tincakeun. Antukna sering nyimpen hasrat, nunda kahayang, neundeun harepan. Hirup kuring katalikung ku kasieun.
Hirup teh perjuangan lin?
Pasti lain ukur lalamunan. Lain oge keur nganteur karesep mendeko hareupuen televisi ti isuk nepi ka isuk deui. Kuda wani mecut karep. Sakotret demi sakontret. Salengkah demi salengkah. Hayohatuh geura ngorejat....(*)
06 November 2008
Manajemen Keuangan
Sejumlah hal bisa petik dari acara itu. Ini di antaranya:
- Kita perlu memiliki cadangan untuk antisipasi keperluan tak terduga. Jumlahnya berkisar tiga kali gaji bila kita masih lajang, lima kali gaji bila sudah berkeluarga, dan 10 kali gaji bila anggota keluarga kita lebih dari lima.
- Bila sudah memiliki dana cadangan, kita juga harus mulai memikirkan dana untuk investasi. Nara sumber itu menyebut tabungan pensiun. Kita harus menghitung beraapa dana yang kita tabung per bulan hingga kit apensiun pada usia 55 tahun. Tabungan itu harus mampu menutupi kebutuhan kita setelah pensiun hingga usia 75 tahun yang merupakan angka harapan hidup rata-rata kita.
- Untuk cicilan mobil dan rumah sebaiknya tak lebih dari 30 persen dari gaji kita.
Kayaknya masih banyak lagi. Ribet memang, tapi mungkin perlu dipikirkan untuk segera melakukannya.(*)
05 November 2008
Kan Kureguk Hari Ini
Hari2 berlalu tiada greget. Tiada warna. Tiada bunga. Hanya mengulang langkah kemarin jua.
Diri searasa terjerambab. Menuju sumur tanpa dasar.
Terjatuh, meluncur, deras. Tanpa kepastian. Tiada juga keyakinan. Esok tak menjanjikan pedar sinar.
Langkah seakan terjerat, dalam labirin tanpa ujung. Berputar, putar, putar, dalam gelisah. Dalam resah.
Terkadang silau oleh gemerlap sekeliling. Lalu merasa kerdil. Tapi segera sadar, apa yang ada sudah lumayan. Toh rasa kurang tetap menggelora. Mimpi ingin lebih masih selalu mendatangi.
Kukira akan sentosa. Ternyata hanya begini jua. Tak lebih, tak kurang. Hanya merangkak di tengah2. Tanpa sensasi. Tiada kebanggaan. Tak jua kepuasan. Ada yang bilang aku terlalu pengeluh. Yang lain menuding aku terlalu serakah.
Tapi ah, hati ku kok tak terpengaruh. Pagi dan sore mood berganti. Tapi tak jauh dari nuansa sendu.
Malam kadang kala ada gelora berlebih. Lalu kecewa melihat segala tak berjalan seperti rencana. Lalu sebal karena keadaan berubah pisau yang mengirisi kesentosaan. Lalu marah karna harusnya tak begini, bukan?
Kukira akan senang. Ternyata hidup hanya berkubang masalah. Silih berganti mendatangi. Menyimpan kesenangan berharap esok bisa lebih baik. Tapi ah, kini kian pasti, esok itu akan sama pula. Jadi mengapa mesti mengekang diri.
Aku lebih baik teriak, berlari, meloncat, mencebur, menendaang, menonjok, melempar, melolong, terbahak. Menikmati saat ini. Mungkin datar. Barangkali gerasang. Atau memang hanya sendu.
Tapi ini hidupku. Lebih baik kereguk sepuasnya. Sepanjang masih bisa.(*)
04 November 2008
Putri Kembarku Suka Memukul
Duh, pusing dan khawatir banget. Padahal usainya belum lagi dua tahun. Eh, kakak kembarnya, Icha, juga belakangan ikut meniru perilaku adiknya yang memang perkembangannya lebih cepat itu.
Kata orang anak belajar dari lingkungannya. Tapi, sungguh, aku bukanlah bayah yang gemar dengan kekerasan. Bahkan sangat anti. Lalu darimana datangnya perilaku dia? Ah, tak tahulah aku.
Mungkin secara tak sengaja kami --ayah dan bundanya-- telah menstimulus dia melakukan itu. Bisa saja suatu kali dia melakukan itu lalu kami menjadi lemah dan menuruti kemaunnya. Dia mungkin terus belajar bahwa cara itu ampuh untuk meluluhkan hati kami.
Tapi, ya ampun, memukuli disi sendiri?
Jangan atuh, De, Ka! Ayah jadi khawatir nih. Kini aku bahkan jadi bingung bersikap kalau dia melakukan aksinya: apakah melarang, mendiamkan, atau gimana.
Ah, kalian anak-anakku, bikin deg-degan ayah aja. Nanti kalian bisa berubah nggak ya? Semoga saja deh.(*)
03 November 2008
Carita Pondok: Keur Enung Duka Dimana
Enung nu bageur, dimana anjeuna ayeuna?
Basa suku ngalengkah meulah basisir, kalangkang anjeun tambah natrat. Asa kamari urang motah na letah ombak, kabeungkeut napsu dina kikisik lemes.
“Kang, diri abdi milik akang sagemblengna.”
Sora anjeun haroshos basa bulan nyamuni tukangeun mega. Laun, tapi ngahudang kalalakian. Leungeun urang patarema, biwir paadu. Ari rasa mah geus lewih tiheula ngahiji. Urang papuket. Urang gulet. Disaksian bulan anu tinggal sapasi. Dipirig ku galindeng degung ti lebah teluk tempat pesta basisir sapeuting jeput.
Anjeun pasrah sumerah. Basa leungeun kuring nyucup mamanis tina sakuliah awak nu endah. Basa biwir nyedot madu tina embun-embunan nepi ka dampal suku. Endah. Sampurna.
Hiliwir angin peuting jadi saksi. Basa lembar-lembar pakean ngalayah dina keusik. Basa kulit panas paadu taya hahalang. Urang ngahiji. Lebur sampurna.
Taya napsu nu kabendung. Taya kahayang nu kakekang. Kabeh tumplek.
Awak urang mandi kesang, hati urang luber ku madu birahi. “Kang tong dileupaskeun deui,” sora anjeun tetep haroshos.
Urang tambah rosa gulet papuket. Urang ngalayang babarengan. Luhur,luhur. Basa puncak tinekanan, ngoceak babrengan. Puas. tuntas.
Dina kikisik bodas taya kahanjakal. Taya cimata dina endahna mata anjeun. Ngan ukur aya kapasrah. “Diri abdi ayeuna tos jadi milik akang sagembelngna.”
Ah, peuting ieu purnama teh ku endah. Tapi hati kuring asa simpe.
Enung anjeuna dimana? Basisir itu terus jadi saksi, cinta urang nu kungsi
ngahiji. Taya kaseubeuh, taya kapuas. Nu kahiji disambung nu kadua, terus anu katilu, nepi ka urang leungiteun itungan. Anjeun salawasna datang nedunan jangji duaan. Anjeun salawasna pasrah serah bongkokan. Dia keusik bodas, cinta urang mangkak karembangan.
Tapi ah, kamana anjeun ayeuna?
Dua purnama katukang anjeun lunta. “Abdi hoyong milari bekel kanggo hirup urang,” ceuk anjeun basa pamitan. Anjeun teus sosoranganan. Lima wanoja batur anjeun satujuan. Ka luar negeri seja nyiar kipayah. Tapi anjeun terus plengles. Taya beja nepi ka ayeuna. Ceuk beja mah agen TKI anu mawa anjeun teh penipu. Ah tapi kuring bener-bener teu bisa-nanaon. Ukur nganti jeung nganti. Miharep anjeun geura datang. Kuring rek tetep ngadagoan, dina kikisik urang, dina basisir urang. Enung….sok geura datang.(*)
30 Januari 2008