Membina rumah tangga adalah sebuah perjuangan. Melawan perbedaan, melawan kemarahan, melawan keegoisan, melawan rasa malas, melawan ketidakpuasan.
Saat berpacaran tak mungkin kita akan menduga seperti ini adanya. Begitu banyak masalah, begitu banyak hal kecil yang menyiksa, begitu banyak pengorbanan dibutuhkan.
Bila tak sabar, tak tabah, atau tak kuat, mungkin lebih gampang memilih jalan pintas: cerai! Itu adalah jalan yang sangat masuk akal setelah kita terus menerus diaduk-aduk rasa kecewa dan tak puas.
Tapi, banyak yang tetap memilih bertahan. Demi anak, begitu kebanyakan alasannya. Salah satu kerabatku termasuk yang begini. Sang suami tak puas sehingga memilih mencari pelampisan di luar. Sang istri kecewa, tapi tak berani menempuh jalan sendiri. Maka ikatan rumah tangga kemudian hanya jadi dagelan.
Demi anak, tepatkah alasan itu? Sebagian bilang ya, tapi bagiku tidak. Banyak anak yang orang tuanya bercerai memang kurang nyaman hidupnya. Tapi aku tak setuju bila disebut perkembangan psikologisnya akan terganggu. Buktinya, banyak orang jahat dan sialan saat ini justru hidup dari keluarga yang kedua orang tuanya hidup langgeng. Banyak pula anak yang orang tuanya bercerai justru jadi warga yang baik-baik dan senantiasa sentosa dalam hidupnya.
Jadi apa sebenarnya yang membuat banyak dari kita terdorong untuk berjuang mempertahankan bahtera yang sudah tak nyaman ditinggali? Akhirnya itulah pilihan masing-masing. Ujung-ujungnya karena kalkulasi masing-masing. Bagi orang mungkin remeh, keterlaluan, tak masuk akal, tapi bila yang menjalani merasa itu alasan yang masuk akal, mau apa lagi.
Membina rumah tangga adalah sebuah perjuangan. Melawan perbedaan, melawan kemarahan, melawan keegoisan, melawan rasa malas, melawan ketidakpuasan.
Tiap hari kita dihadapkan pada pergantian suasana yang begitu ekstrim. Pagi-pagi penuh canda tawa, penuh rencana indah, siangnya semua berantakan. Saling kecewa, berbalas kata tajam bahkan kasar. Malamnya mesra tiada tandingan, paginya bisa saja berubah dingin bukan kepalang. Perubahan itu bisa saja karena hal kecil. Seperti sebuah kalimat di ujung acara sarapan. Atau komentar kecil di saat nonton Tv. Sudah tentu hal besar bisa lebih ampuh mengubah segalanya.
Bila kontinum kebersamaan begitu gampang berayun, moodnya begitu cepat berganti, lalu harus bagaimana kita? Kecewa, marah, putus asa. Ya, itu normal adanya. Semua pernah atau akan merasakannya. Yang terpenting mungkin berikutnya. Bagaimana kita mengatasinya. Selalu berusaha mencari hal-hal positif di tengah begitu banyak aspek negatif. Selalu mencari sinar di tengah gulita yang kita rasakan. Tak mudah, pasti. Tapi kita bisa mencobanya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar