18 November 2008

Ketulusan di Mittraphap Road

Di trotoar Mittraphap Road nurani saya diketuk. Mr Dom, seorang polisi lalu lintas di Nakhon Ratchasima, Thailand, membuat saya bertanya-tanya dengan rasa ragu: sudah patutkah masyarakat Indonesia menyandang sebutan bangsa peramah dan penolong? Saya justru menemukan keramahan itu, dan ketulusan yang kental, dari Mr Dom.

Sabtu malam itu, saya dan dua kawan dari Tempo, pulang malam dari Main Press Centre (MPC). Menurut jadwal bus panitia masih sejam lagi datang. Kompleks Universitas Teknologi Suranaree yang jadi basis MPC –dan perkampungan atlet— berada di pinggiran kota, sangat sepi pada malam dan susah sekali mendapat tuk-tuk atau taksi.

Kami pun menunggu, terduduk di trotoar sambil mengobrol mengusir suntuk. Lima belas menit berlalu, tiba-tiba sebuah Nissan Sunny warna silver berhenti tak jauh dari kami. Sang sopir melengok keluar. “Anda mau kemana?” tanyanya. Dia seorang polisi kalau melihat seragamannya.

Saat kami menyebut hotel tujuan kami, dia tersenyum dan menawarkan untuk mengantar. Dengan terheran-heran kami mengiayakan. Juga saat sang polisi itu dan wanita muda yang ternyata adalah istrinya memindahan tas dan serenteng baju dari jok belakang ke bagasi untuk memberi tempat bagi kami. Rasa takjub itu bahkan tak hilang sepanjang jalan. Baik nian ini orang, batin saya.

Di jalan kami berkomunikasi aktif, tapi mungkin tak sepenuhnya efektif. Bahasa Inggrisnya dan bahasa Inggris kami kerap tak saling mengerti. Kami bertanya kemana, dia menjawab kemana. Di sela pertanyaan kadang pak polisi berusia 43 tahunan itu berdiskusi dulu dengan sang istri dalam bahasa Thailand.

Tapi dari komunikasi itu saya bisa menangkap sejumlah hal. Dia adalah polisi lalu lintas dan tinggal di dalam kota Nakhon. Dia juga tahu tentang Jakarta dan Bali. “Saya selalu bermimpi berlibur ke Bali,” katanya. “Ya, tapi uang kami tak pernah cukup,” sambung sang istri. Keduanya tertawa. Terdengar ceria dan tidak pahit atau sinis.

Tak terasa kami sudah sampai ke gang yang menuju hotel kami. Terasa berat untuk berpisah. Mr Dom juga masih tampak antusias. Ketika saling pamit dan kami berkali-kali mengucapkan terima kasih, saya baru sadar tak tahu banyak tentang dia, termasuk apa pangkatnya.

Tapi kami mungkin masih akan bertemu lagi. Sebelum berpisah kami sempat bertukar email. “Bila anda ke Thailand lagi nanti, kontak saya saya. Saya siap mengantar anda berkeliling,” kata Mr Dom.

Ah, pribadi Mr Dom adalah mutiara yang saya rasa makin hilang di Jakarta. Keramahannya, ketulusannya, kebaikannya itu maksuda saya. Di Jakarta dan juga Indonesia –negeri yang dikenal dihuni masyarakat peramah-- saya justru kerap ragu tiap menerimta tawaran pertolongan dari orang asing. Mungkin karena banyak cerita seram soal kejahatan bermodus akal bulus keramahan.

Mr Dom juga memberi saya persepektif berbeda soal polisi. Polisi yang bisa sangat ramah dan penolong. Seandainya saja di Indonesia banyak yang seperti dia.

Thailand, 12 Desember 2007

Tidak ada komentar: