Tapi perasaan lega itu hanya sesaat saja. Pukul 02.30 pagi Khorat seperti kota hantu. Sepi, meski bermandikan cahaya terang. Hanya sesekali mobil pribadi melintas di jalan. Tak ada tuk-tuk yang oleh panitia di Bangkok diklaim beroperasi 24 jam. Tak ada juga terlihat taksi lalu-lalang seperti di Jakarta.
Ketika saya –dan seorang kawan wartawan Jakarta seperjalanan—didrop di depan hotel di seberang main press center kami betul-betul merasa tersesat. Petugas kemanan dan penjaga hotel tak bisa berbahasa Inggris. Ditanya alamat hotel yang jadi tujuan kami, keduanya malah kebingungan. Juga saat tulisan cacing –begitu saya menyebut hurup latin Thailand—yang dituliskan petugas di Bangkok kami perlihatkan.
Tapi bahasa tarzan akhirnya berguna. Saat saya bilang taksi, si penjaga hotel yang tampak mengantuk sigap mengambil kartu nama. “Taksi,” katanya tegas. Setelah saya telepon nomor di kartu itu dan 10 menit kemudian orannya muncul. Pria berbadan besar itu dating mengendarai pick up dobel kabin. Tak ada tulisan taksi di mobilnya. Taksi gelap, batin saya. Saat kami perlihatkan tulisan cacing itu, dia manggut-manggut dan segera menelepon seseorang dalam bahasa Thai. Sesaat kemudian dia mengajak kami masuk mobilnya. “Itu hotel baru. Saya tahu tempatnya,” katanya.
Di jalan saya masih khawatir. “Wah, jangan-jangan kita digorok nih, dikasih harga tinggi,” teman sepejalanan saya rupanya sama khawatirnya. Tapi, ternyata tidak. Sampai di apartemen itu kami hanya dikenakan tarif 250 ribu baht atau sekitar Rp 75 ribu. Terasa murah untuk orang asing yang merasa sedang tersesat.
Tapi seperti itulah tampaknya Khorat. Kota sederhana dan bersahaja. Rekan wartawan lain pun sama mengakui, jarang sekali yang mendapat pengalaman buruk dikenakan harga yang tak wajar. Ah, berbeda sekali dengan pengalaman saya meliput SEA Games Vietnam 4 tahun lalu ketika sempat “dirampok” habis-habisan oleh tukang ojek yang pernah terdampar di Pulau Galang.
Khorat adalah ibukota provinsi di Timur Laut Thailand. Memiliki luas 20.494 km persegi, tempat ini hanya berpenduduk 2,5 juta. Memiliki jalanan yang sangat lebar (rata-rata bisa muat 8 mobil untuk dua arah), kota ini justru belum memiliki dihuni banyak kendaraan. Akibatnya, kemacetan pun menjadi barang langka di kota ini. “Kota yang asyik, sayang kalau malam terasa sepi dan susah cari angkutan,” kata seorang jurnalis tabloid dari Jakarta.
Kota Khorat juga bersih dan udaranya sejuk. Di pagi hari angin yang bertiup kadang terasa menusuk tulang. Irfan, wartawan dari Bandung pun terpesona. “Rasanya seperti berada di Bandung pada tahun 1987-an, saat saya masih SMA,” katanya. “Di sini adem, kalem, dan antimacet.”
Khorat, 8 Desember 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar