Akulah pembaca yang putus asa. Kehilangan gairah karena sifat gampang lupa, kemandekan daya analisis, dan keterbatasan dana.
Kini jarang sekali aku membaca buku. Dalam enam bulan terakhir, paling hanya enam buku (semuanya fiksi) yang kulahap. Itulah penurunan yang sangat drastis.
Saat kecil akulah maniak membaca. Segala dilahap, semua dikejar. Majalah dan buku pinjaman sering kali kusembunyikan di bawah bantal, karena enggan kehilangan sambungan yang tertunda.
Saat masih SD aku pun rela menempuh berbagai cara untuk memuaskan dahaga membaca. Mengakrabi anak penjaga sekolah, yang kebetulan teman sekelas, agar aku punya akses ke lemari buku di sekolah. Dan cara itu cukup ampuh. Selain lewat peminjaman resmi, lewat penjaga itu pula aku bisa mendapat tambahan buku untuk dibaca.
Aku kerap berlomba cepat-cepatan, dengan peminat lain, untuk melakukan peminjaman pada tetangga yang berlangganan majalah sunda Mangle. Dari kebiasan itu pula aku belajar membaca cepat. Maklum saat membaca (biasanya di teras atau ruang tamu tetangga itu) peminat lain sudah menunggu dengan tak sabar.
Tapi memang kecenderungan sejak belia itu sudah jelas arahnya. Aku hanya menyukai buku-buku fiksi. Kesukaan yang berkembang seimbang dengan kegemarana berfantasi.
Saat SMA tamana bacaan di pasar jadi surgaku. Di sanalah berbagai novel Indonesia dan buku silat serial mandarin aku lahap.
Saat kuliah baru buku-buku non fiksi baru dilirik. Karena menang jadi kewajiban. Setelah kerja: fiksi dan non fiksi jadi seimbang ku ikuti.
Tapi ya itu, putus asa akhirnya datang menyergap. Aku sadar: kegemaranaku membaca itu akhirnya seperti sia-sia. Tak ada yang tertinggal di kepala. Paling seminggu bahan-bahan yang kubaca itu sempurna tersimpan, setelah itu menguap.
Ya, aku gampang lupa. Bacaan enam bulan lalu, saat ditemukan kembali terasa seperti baru lagi. Itu menjadi penyakitkan yang menghancurkan. Karena kondisi itu pula aku menjadi sangat dangkal. Tak ilmiah, nir analitis. Ya, karena menang tak ada data yang memadai untuk melakukan pemikiran dan perbandingan yang sistematis.
Kesadaran itu kemudian membuat hasratku untuk membaca lambat laun mengendur. Sekarang aku hanya membaca seketemunya. Paling meminjam dari perpustakaan kantor. Itu pun lebih terfokus pada bacaan fiksi. Akulah pembaca yang menjadi putus asa.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar