27 Februari 2009

Panineungan Urang

LABUH rasa lebur cinta. dina galengan nyampay carita. tutundaan baheula: basa leungeun anjeung raket nangkeup cangkeng. pagegeye mapay sisi sawah. paguneman diselang ciwit-cikikik. dunya nu urang, pinuh warna katumbiri.

lebah tampian urang reureuh. cai entuk herang marahmay. suku ucang angge kukucibekan. panas ilang, rasa reureug nyaliara. ngadon silih paling deuleu baru teu kendat ngabaledogkeun imut.

ka lebah lalamping pasir urang silih rangkul taktak. ngadurenyomkeun pikahareupeun. soal rencana jumlah anak jeung bentuk imah.(*)

Hidup Ini

ASU!

Sajak Gurun

AKULAH padang gurun
tandus, rindui kasih sejati
oaseku menjadi madu
persinggahan lebah pengelana
mereka berbaris, menunggu giliran, setiap malam
datang dan pergi
berganti ganti
mereguk tubuhku inci demi inci
tinggalkan padang gersang
tanpa semak harapan(*)

Titeuleum dina Lamunan

hayang teuing melesat ka alak paul. sare na amparan mega. mipit bentang. siduru na haneutna sarangenge. taya kainggis, teu rempan ku isuk. hiber, bebas, leupas tina sakarung bangbaluh dunya.

"ah, lalamunan teu junun!" anjeun kucem. asa dicentok: naha iraha terakhir anjeung ngebrehkeun imut? asa geus likuran taun. baeud anjeun, mateni tengtrem urang.

langit, satungtung deuleu. kuduna kita hate urang. lega, bisa narima sagala: karudet, kasedih, komo rasa gumbira. tapi langit urang kiwari ceudeum haleungheum. kajembar dirobeda curiga, ditandasa kahayang teu tinekanan.(*)

Tasaro Menyihir lewat Samita

Kedewasaan tak ditentukan umur. Itu jelas benar bila kita mengamati kiprah para penulis muda. Mereka begitu produktif dan menggebu. Banyak, di usianya yang belum 30, sudah mampu melahirkan karya-karya bernas.

Kemarin baru kubaca salah satunya. Karya Tasaro (Taufik Saptoto Rohadi) yang baru berusia 29 tahun. Ia menulis cerita silat berlatar masa akhir kerajaan Majapahit. Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit, buku itu, juga menyertakan tokoh silat dari Cina, Laksaman Cheng Ho dan murid-muridnya.

Membaca karya ini kita pun segera ingat Kho Ping Hoo dengan cerita silat-silatnya. Banyak kemiripan. termasuk dengan khotbah tentang esensi hidup yang banyak tersebar di dalamnya.

Buku ini menarik. Sebagai penggemar cerita silat, saya menyukainya. Membandingkan dengan tiga pengarang lain yang baru saya baca karyanya: Langit Kresna Hariadi (Serial Gajah Mada), Saini KM (Banyak Sumba), dan Gamal Komandoko (Sangrama Wijaya), Tasaro mampu menempati tempat lumaya.

Samita terasa masih di bawah Gajah Mada. Langit memang begitu piawai menghadirkan alur yang kaya dengan kejutan dan daya pikat. Bahanya juga mengalir lancar dan indah.

Tasaro kalau pun terpaut tidak jauh. Bukunya memiliki plot yang solid. Bahasanya enak. Kepiawaian dia meminjam idiom-idiom Cina dan pemahaman yang cukup terhadap budaya jawa dan Islam terasa menjadi nilai tambah.

Kekurangannya: dia masih kerap terlalu berpanjang-panjang, terkesan menggurui, dalam dialognya. Sehingga saya pun sempat terdorong melakukan lompatan-lompatan halaman karenanya.

Entah seperti apakah buku ini di pasarana. Menilik tahun terbitnya, 2004, dan tak banyak publikasi tentangnya, tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Tapi bila anda rindu pada cerita silat, bukunya bisa jadi bahan pengobat yang lumayan.(*)

25 Februari 2009

Jogjaku

kota ini istimewa
semata karena orang menyebutnya begitu
itulah selalu perasaanku
di sana tak ada apa apa
kenangan pun nyaris pupus tuntas
tertinggal bayang bayang mengabur
wajah dan tempat tempat yang kembali menjadi asing
di pelukan kota itu
siang yang gerah
di isi ceramah yang tak cerdas
malam: hapalan, hapalan, hapalan
atau tersedot sihir layar kaca
seperti di bawah setangkup batok
menjadi katak buta dunia
tanggung, setengah setengah
ilmu tiada, asmara tuna
setelah beranjak
baru tersadar: alangkah banyak yang lepas
menerobos sela jari jari yang gagap mengepal
jogja...
bagiku: hanya senoktah kenangan muram(*)

Sanggrama Wijaya

hidup bagimu apakah?
masih belia kau sudah melihat semua
raja hebat, ayah dari istrimu, terbuta oleh puja puji
menjentik semut, menginjak cacing
lalu terkejut oleh hasilnya:
semut dan cacing menghunus badik
kerahkan wadya merebut tahta
satu kali ia bisa dibendung
tapi yang lain tak habis habis
bergelombang seperti bah
berlomba menebus sakit hati, merengkuh ambisi

hidup bagimua apakah?
saat matahari belum di ubun
kau sudah merasakan segala
menyimpan nurani di balik lekuk keris
tiada jalan tercela untuk merengkuh kejayaan
tipu muslihat

hidup bagimu apakah?
keledai saja tak jatuh dua kali
tapi kau mengulang jua langkah itu
cedera janji, meremehkan bakti, menjaga kursi
semut dan cacing kembali berbaris
menguskikmu: tiada lelah, tak sudah sudah

hidup bagimu apakah?(*)

Mendaki

setangkup gunung sekabut misteri
hutan perawan, ngarai tak berdasar
batu, akar, onak, duri,
menghalangi langkah kita, aku dan engkau

peluh dan keluh
tak surutkan langkah
hati kita kembara mendahului ke puncak
serasa sudah mengecapnya
pemandangan surga:
undakan sawah berseling sungai mengelok indah
tegalan dan semak-semak
tenunan pelangi sejuta warna

inilah hidup kita
mendaki menyiang misteri
beganti setiap hari:
kejutan, kebahagiaan
penderitaan, kesedihan
tak surutkan kita
terus menapak dibuai cumbuan puncak
kebahagiaan bersaput kabut(*)

Ngudag Mumunggang

ngarayap selengkah salengkah
ngajugjug mumunggang implengan
rumahuh: bangga jeung cape pohara
jungkrang jungkrang karempan
gawir gawir kagimir
ukur bisa mepende hate ku gambaran engke
neuteup dunya ti puncak pasir:
bubulak ngampar, sawah ngeplak
dipayungan langit biru beresih
bleg sawarga

enung, itu teh lalakon urang
mapay lamping pinuh kaseunggah
hirup nu teu kendat rumahuh
coba, gogoda, teu kendat kendat
tapi teu kudu mopo
suku urang terus lengkahkeun
na hate kotretkeun gambaran eta:
endahna mumunggang nu liuh
mumunggang urang, gunung impian(*)

24 Februari 2009

Karya

Karya serupa anak: berjiwa, memiliki nasibnya sendiri. Hadir dari sebuah proses, kadang panjang kerap pendek, ia tertuang dalam sebuah bingkai waktu. Ia tersimpan rapi atau mungkin tergeletak terbungkus lupa. Ketika kelak melihatnya lagi kita pun dibuat terheran-heran: betulkan aku melahirkannya?

Karya tak ada yang gagal. Yang terburuk pun akan mengandung banyak hal: inspirasi yang bisa digali lagi, potret yang menyimpan kenangan, atau sebuah titik dalam proses belajar melangkah belajar menjadi lebih baik.

Karya adalah buah dari perjuangan. Kita berkeringat, malawan malas, dan kerap berkali-kali gagal mewujudkannya. Ketika ia akhirnya menjelma, kita pun merasa puas meski hanya sesaat. Sesaat saja karena kemudian sering kali kita menemukan lubang yang menganga dan ingin segera menambalnya. Karena itu karya kerap jadi perjuangan tanpa ujung.

Karya adalah penanda. Karenanya seorang akan diingat. Karenanya seseorang akan dihargai. Jadi bila belum juga punya karya hari ini: menangislah lalu bergebas meneguhkan hati untuk memulai.(*)

Getir Pagi

pada jendela
yang menyelundupkan
sinar keemasan pagi hari
suara bocah bersiap sekolah
dan seru seruan penjaja roti
kubisikan sebait resah
: ini hari akankah berbeda?
pagi terus berganti, datang pergi
kaki masih saja terpatri, di sini
tak beranjak barang setindak
harapan, impian
kian nyata terkuburkan
bernisankan hampa dan patah harapan
lembar almanak terus tersobek
kian melebarkan luka nyeri bernanah
pada kaca jendela itu
masih tampak nyata
saat kau pergi dengan sebuntal cinta
tinggalkanku sendiri
mati, berkali-kali(*)

Katresna Ngalakay

kalakay mahoni mancawura
katebak angin panungtung usum katiga
di langit jurueun lembur
aya mega nu nyumputkeun hujan
di lamping pasir ieu
aya teuteup nu beueus cimata
: hampura, enung!
ukur kuat kedal sakitu
dada kaburu ditonjok rumasa: lalaki hengker taya kawani
ah, moal rek baha
jungkrang lungkawing
rempan nyorangna
cinta, kayakinan:
lain pilihan nu bisa dibenturkeun
sarangenge meh surup
guludug meupeus kasimpe langit
pras pris girimis
cimata anjeun geus titadi banjir
hapunten, jungjunan!(*)

23 Februari 2009

Pakarangan

ukur tangkal jambu jeung balingbing
taya ros, taya malati
sacangkewok, salega dius implengan
jadi kanvas pangudar lamunan
nu laluncatan tina dongeng jeung lambaran carita
kuring, anjeung, sauyunan: sasaungan, teterekelan, ucing-ucingan
kiwari urang pajauh
kajiret pinasti sewang sewangan
naha anjeun masih inget
buruan ipukan panineungan(*)

Tanya Tentang Hidup

pernah kau dibuat termangu
pada sore yang kusam
tanya mengetuk-ngetuk hatimu: kita hidup untuk apa?

kau lalu dibuat tercekam
di meja kerja
atau di tengah macet jalanan
tamu itu membangkitkan gundah
mengantarmu segera menjejerkan hari-hari
kemarin tanpa arti
esok hilang janji

atau kau segera dipaksa berpaling
mengambil sesuci dan bersungkur di malam sepi
mengadukan dosa dan rasa tak berdaya
tapi hanya malam itu
esok dunia abu merangkulmu lagi
kau pun segera lupa semua
harimu pun kembali sama: datar tanpa asa

pernahkah kau dibuat nanar
oleh bayangan datang
menyerbu kesadaran: alangkah cepat hidup berlari
membuatmu hilang pijakan
sedang bahumu dibebani gundah, resah,
tak sudah sudah(*)

Basa Layung Hibar

basa layung hibar
meberkan endah
urang teu malire
ukur seuri garogonjakan
mandi kesang, guyang kesenang
sore salawasna sampurna
di tempat eta: lapangan hareupeun kaum
maen bal, baren, ucing-ucingan

basa dur bedug
urang rikat kacai
teu mandi, ukur susuci
jadi ma'mum bau kesang
pa ustad, nu ngawuruk ngaji ba'da magrib,
mindeng kukulutus: mere nasehat soal kasucian
tapi urang teu malire
isukan lulumptan deui, maen bal deui

duh, pangalaman endah
dongengkeunen ka anak incu
pososore kiwari
lapangan masih rame
tapi bada magrib, masigit sepi nu ngaji(*)

Menanam Dosa

bila hari kian beranjak
dan cahaya keemasan membelai kulit
akankah semua sempurna?
maaf, mungkin tidak
biduk kita hanyalah kertas
yang siap dihanguskan percikan kecil
padahal kita nyaris serupa
mengubur dosa dimana-mana: menjadi api dalam sekam
menunggu waktu untuk diingat
nanti
akan tinggal hanya perih
saat kita berdiri di tubir itu
yang ada hanya dilema
kejujuran, kebohongan, tak akan lagi berbeda
hanya mengiring kejatuhan: dengan keras atau hingga remuk(*)

22 Februari 2009

Sasak Ciwayang

gulidag rongkah di tungtung jurang lungkawing
letah cai raksasa arang herang
ngagempuran batu batu rohaka
pabalatak lir kebo raksasa
ngadadago mangsa
loba carita, rea puringkak
tiap liwat hate tagiwur
ciwayang
jungkrang jungkrang kapaur(*)

Emut ka Bapa

kungsi basa pakanci
aya cireumis na pucuk jukut
liuh sarangnge nganteur lengkah
ka kebon harepan di tungtung lembur
pesemon anjeun basajan
teu kendat ngaharewoskeun sumanget
: ukur satapak peucang, tapi nu urang
keur numbu hirup, nambah harepan

di tengah huma
anjeun taya reureuhna
ngucurkeun kesang teu bosen bosen
melak cau, ngoyos kalapa
: hirup teh nyengcelangan, sampeureun jaga

sore dipirig sora tonggeret
urang mulang:
manggul suluh, ngajingjing sampeu beuleumeun
ema ngahiap hiap budi marahmay

asa karek kamari
padahal geus kaliwat sababaraha mangsa
bapa teh geus lila ninggalkeun
tapi kalangkangna teu incah balilahan
napel na ingetan
salawasna mapatahan bari langsung nyontoan(*)

Dari Film Doubt

ragukah itu
yang diterbangkan angin
bersama helai dedaunan luruh
menerpa mata, menjadi nila di hati

kau tatap dia
mempesona di atas mimbar
menyelipkan ayat ke hati tiap jemaat
: musang berbulu dombakah? atau santa?

ragu beranak pinak
menjadi rayap
merebut nikmat tidurmu
meretas kokoh tiang yakinmu
dan bayangpun erat menyergap
seorang bocah altar yang malang
dan seorang gembala tua
berpelukan di koridor ramai
: mungkinkah ada dosa di balik jubah pendeta?(*)

20 Februari 2009

kenangan yang mengabur

ini kali tak ada cinta yang menyapa
hanya kesiur padi dan lambai jauh daun kelapa
lekuk wajahmu bahkan mulai mengabur
dari pigura hati

ah, sudah berapa lamakah semua
pada pematang hitam
seperti terngiang-ngiang
perpisahanmu dulu
: jaga anak kita, mas!
ada leleh air mata
tapi tiada putus asa
kau pergi dalam ihlas
tinggalkan aku yang tak sepenuhnya siap
melepasmu selamanya

berapa lamakah itu
perkubangan derita itu
malam malam sunyi tanpa kantuk
siang gerah tanpa gairah
pijakan kaki tak lagi teguh
hati pun tak lagi khusu
tanpa hadirmu
semua terlalu menyiksa
memaksaku angkat kaki

dan kini aku kembali
pada sawah, ladang, dan bukit-bukit dulu
tapi kemana bayangmu
kenapa kian samar kurasa
dirampok waktu dan goda dunia

ah maafkan aku, jungjunan
aku sungguh tak ingin beranjak dari cintamu
tapi waktu sungguh tak bisa diajak kerja sama
dan wajah jelita itu begitu menggoda
maafkan...(*)

18 Februari 2009

Emut Cinta Munggaran

mun pareng liwat deui
mapay tanjakan jeung pengkolan
nu eta
naha masih aya kolebat anjeun
siga baheula: maledogkeun imut ti pakarangan
buuk disimbut anduk
samping nutupan dada
leungeun tangginas meureut seuseuhan

mun pareng nganjang deui
siga baheula
ba'da magrib malem minggu
naha masih aya darehdeh anjeun
rikat mere bagea
sor mere suguhan
panceg ngabaturan
imut jeung nyiwit tiap dielegan

mun kuring datang deui
naha masih rek sarua
da kapan urang papada geus aya nu boga
ah, tapi hate teu bisa dipapaler
cinta mungguran
moal mungkin kapopohokeun(*)

Hunting Party

sarajevo,
pada kota dan pinggiran muram
masih tercium aroma itu
anyir darah
maut yang murah
serta duka yang tak bertepi
sesiapa yang tak berdosa telah dikurbankan
karena beda keyakinan

di pegunungan berhutan rimbun
sang pencabut nyawa menemukan sorga baru
sebuah perburuan berbeda: dulu manusia, kini serigala
sentosa ia, dipagari para pemuja

pada bar kusam
serta jalan menanjak berkelok-kelok sepi
ada hati yang gundah sabil
:haruskah kaki menyebrang
melawan segala ketidakpedulian
haruskah mengikut ucap nurani
dan mengundang nestapa untuk badan

tiga wartawan
pilih melawan arus
membalaskan dendam dunia
berburu di hutan
menangkapnya: bukan serigala, tapi sang angkara
lantas membawanya ke ladang pembantian dulu
sebagai persembahan(*)

17 Februari 2009

Terpesona Gajah Mada

Serial Gajah Mada (Langir Kresna Hariadi) membuatku terpesona. Buku laris itu tampaknya telah menyemai benih baru: kelahiran novel sejenis.

Ada Diah Pitaloka yang justru bertalian dengan Gajah Mada. H Aksan mampu menghadirkan teks yang lumayan mempesona, meski tak semulus dan bikin penasaran seperti gajah mada. Mungkin karena yang dia tulis adalah cerita yang endingnya sudah jadi pengetahuan umum.

Langit justru mampu merekonstruksi atau mungkin memanfaatkan fakta besar sejarah menjadi konplik2 detail yang menawan. Cerdik dan dipenuhi kebaruan (jelas tak sepenuhnya sesuai sejarah).

Baru-baru ini menikmati dua buku baru: Raden Banyak Sumba (Saini KM) dan Pelangi di atas Glagahwangi (S Tidjab). Sayang aku lantas kecewa. Keduanya tak sepadan dengan Gajah Mada: lamban, bertele-tele, dan kurang piawai membangun penokohan, konflik dan klimaks. Kita pun tak mampu di buat terpaku mencermati paragraf demi paragraf.(*)

Bee Season

mengeja
anak-anak belia itu
melapal hurup pembangun kata kata
di depan tepukan atau gelengan kasihan
berlomba

mengeja
mengupas takdir
selapis demi selapis
istri yang ideal hancur dalam tekanan
putra penurut menjelma robot yang tertekan paksaan
putri yang terabai justru bijak memandang kehidupan:
memilih keutuhan daripada trofi dan sanjung puji

lewat gere, melalui binoche
teringat mukjijat dzikir
saat kata menjadi mantra
diulang ulang, ubah realita

mengeja
melapal hurup
merapal cemas
merangkai harap
menanam harapan(*)

Lingkaran Inspirasi

semua memegang obor
pada lingkaran itu
api menyala nyala
seperti mata api bersumur minyak
karya
karya
karya
seperti berlomba
menuang isi hati
menorehkan inspirasi
aku terpana menatapanya
di sini, di luar lingkaran itu
hanya bisa menikmati
tanpa memberi
bangun
bangun
bangun
hanya karya yang akan membuatmu dikenang(*)

Tunjang Barat

reureuh na mumunggang pasir
handapeun tembong atra:
sawah ngaplak hejo lendo
kamalir leutik mawa kahirupan
undeureun sakulawarga
bleg lukisan
ngalalakon budak kampung
ngimpi jadi urang kota
na talupuh sesa rinyuh

suku ngalengkah deui:
pencelut pasir, pudunan, pakebonan
tunjang barat beuki jauh tina implengan
ukur jadi katineung samar-samar

ahir tahun kamari
tunjang barat datang deui
ema semua ngalimba
kiwari sawah teh katalangsara
taya nu daek miara
ma'lum jauh jalan rumpil
: coba mun bapa maneh masih aya(*)

Hariring Kasmaran

lain jentreng kacapi, lain gelik suling
ukur wirahma angin
ngusapakan dangdaunan
ngahariringkeun endah
mirig lengkah urang
mapay jalan satapak, sela-seka liuh tatangkalan
ramo patarema
reret paamprok saliwatan
taya ucap nu kedal
tapi hate pada surti
poe ieu dunya boga urang duaan
muga salawasna(*)

15 Februari 2009

Dari Slumdog Millionaire

tonjokan di ulu hati, setruman di jari kaki
bawamu pulang
ke tepian kumuh gangga
nikmati belai lembut, tawa teduh ibu
yang berakhir cepat
direnggut angkara berdalih iman

gebrakan meja, senyum nan mengancam
antarmu menjemput kenangan
melaju pesat: gunung sampah, perempatan riuh, atap gerbong kereta,
taj mahal, dapur resto pengap, kantor nan riuh
hidupmu beranjak, hatimu tidak
terus melapalkan asma
latika, latika, latika
ia cinta pertama yang tersandera keremangan

sorot kamera, mata semesta
pedihmu dulu bawa peruntungan: rentetan kebetulan
teguhmu menjadi simpul
kentalkan kembali ikatan darah dibeku amarah
pulangkan kekasihmu
ke stasiun itu
tempatmu setia menunggu(*)

Melukis Jarak

kian hari kian pasti
akulah elang, kaulah itik
sama2 tenggelam dalam gerimis
tangis
bisu kita kian melelahkan
melebarkan jarak
akulah elang, kaulah itik
hanya menunggu waktu mengucap salam
perpisahan(*)

Terpesona Nurhaliza

selembut sutra, semerdu nirwana
mendayudayu mengayun sukma
menghantarku menjemput kenangan
atau kisah kisah yang belum tertuliskan
dalam takjub, dalam khusu

tak bosan, tiada jemu
dendang melayumu meluluhkan
memupuk sisi lembut, sisi melankoli
ah, nurhaliza(*)

13 Februari 2009

Ego Ayah

terlalu memanggul ego
aku ini
selalu ingin sesuai rencana dan hasrat sendiri
jarang menimbang: ibunya juga sama berhaknya

ah, tapi dia darahku, dagingku
salahkah aku bila ingin yang terbaik
buat keduanya
si kembarku?

tadi sore mereka pergi
entah kemana, tak bilang bilang
aku meradang
merasa diinjak bak sandal
: tak ada harganya kah aku sebagai ayah?

sebenarnya,
ada juga sadar itu
menyelinapi hati bila sendiri
pada akhirnya mereka akan memilih jalan sendiri
dan akan melawan bila terus ditekan

tapi ah, tak bisa aku
marah itu jarang bisa dicegah
selalu membuncah
kala segala tak sesuai hasrat
emosi menggila, bertahan lama

sungguh, ini tak sehat(*)

11 Februari 2009

Surat Buat Istriku

dik,
kasihanilah rumah kita
dinding kusam, lelangit penuh jejak air
ia hilang pesona
rindui ceria
semenjak kau berujar pelan
: bagaimana kalau kita pindah saja?

dik,
kasihanialah rumah kita
ia mungil
disemen keringat, ditopang puasa
ingatkah kau
di terasnya kita pernah menyulam mimpi
di dapurnya kita sempat kobarkan harap
di kamarnya kita menjadi tak berjarak
ini rumah kita, buku selaksa cerita

dik,
kasihanilah rumah kita
tempat baru juga belum tentu
manusia memang memanggul kodrat
ada yang tulus, hati selembut beludru
ada yang iri, selalu menebar benci
mari kita berkompromi
buat sekat, di hati
tempatkan yang manis di ruang depan
ke ruang paling ujung
kita silakan mereka, para tetangga yang menyebalkan

dik,
kasihanilah rumah kita
ia rindu tawa, kehangatan, dan rencana
senyumlah dik,
lupakan mereka
para munafik sialan(*)

10 Februari 2009

Merindu Purnama

kau bagaikan purnama
akulah punguknya

09 Februari 2009

Bukan Nurhalisa

kau bukan nurhalisa
bidadari bersuara merdu, pujaanku itu
kau hanya menyuka rosa
yang agak mirip dia
setipis itulah jarak kita
hanya sehelai sutra
pada malam yang basah keringat
kita bahkan bisa menyingkirkannya
tapi, di siang nan melelahkan
jarak itu kadang melebar samudra
terlalu jauh tuk dilangkahi
lama sudah berlalu
batinku tak juga jenak
terus bertanya gundah
: kaukah belahan jiwa itu?
dan tanya itu berjawab resah
yang menyelundup ke ulu hati
menggagu malammalam tidurku(*)

Harus Berubah

aku harus pergi
karena ruangan ini kian menyempit
menghimpit

kuharus ke luar
bersua sesiapa
mereguk segala
karena jiwa kian kerontang
oleh bosan yang menikam

aku harus meloncat
melewati jebakan rutinitas
melampaui segala gundah

sudah berapa lamakah ini
terbelenggu sendiri
terpasung sepi(*)

Bapa

tanpa diundang bayangan itu datang
saat kau murka: tanganmu tinggalkan merah di pipi
itu pertama, dan terakhir, kusua kasarmu
karena aku berlarian di pelataran itu
: mesjid untuk dimuliakan, bukan untuk dihinakan
ah, tiba-tiba teduhmu begitu kurindu
saat aku kian kerepotan meredam amarah
saat hidup begitu berat untuk ditanggungkan
apa yang membuatmu tetap kukuh
waktu itu: saat beban tak henti menindihmu
apa yang membuatmu tetap tersenyum
ketika dunia tak ramah pada kita
aku mungkin harus pulang
dan mencari jawaban di gundukan pusaramu(*)

08 Februari 2009

Ema 2

tinggal belulang bertonjolan
berhias tangis
pada pagi
sore dan malam
derita berpianak
melumpuhkan tangan
kaki dan segenap badan
sakit di kulit, nyeri di hati
: berhargakah hidup serupa ini?
harusnya waktu jadi berarti
dengan dzikir
dan kataatan menjelang akhir
tapi hanya kusua marah
dan hilang harapan
: mengapa semua meninggalkanku?
maaf tapi semua kami semua mungkin sudah kalah
tak kuat menanggung keluhmu
sudah bosan
atau mungkin sama marahnya
semua memilih berpaling
atau menulikan diri
ema...
di ujung senja
kau terus berkubur derita

Sajak itu...

sajak itu indah tapi tidak kosong
ia harus berujar: tentang pikiran atau perasaan
ia harus mengguncangkan
menjungkirbalikkan
menggugah
atau sekedar menyadarkan
ia tak rumit
hanya cermat
irit dengan kata, penuh dengan maksud
sajak itu.....

04 Februari 2009

Jangan Berpaling

usah bergeming
terus tapaki jalan kecil itu
terjang kerikil
dan onak duri gerumbul semak
hingga kebal bebal
tapak menapak
tak ngeri, tak pula nyeri

di jalan halus licin
langkah tak kan lebih nyaman
tergencet pacuan mesin berderam

menjadi besar di tempat kecil
atau kecil di tempat besar
itulah soalnya(*)

03 Februari 2009

Hendak Merdeka

kita adalah balita
yang masih mengeja, terbatabata
saat dunia melaju kencang
susul menyusulkan kebaruan
televisi model baru
ponsel, kamera, komputer, motor, mobil
dan segalarupa teknologi itu
jauh, alangkah jauh kita tertinggal
tertatihtatih: dalam iri, sebal, gusar
mungkin lebih baik menjadi buta-tuli
lalu merdeka
dari segala sihir itu(*)

Kala Nurani Terbisu

serupa dengungan
bergantian, berhamburan, berpaduan
: televisi,
mesin, knalpot, dan paku bumi
sungguh bising
dan menindas semua suara dari dalam jiwa
:apa, apa kau kata?
ah, tak terdengar lagi
meski kutajamkan telinga
bisik nurani
terbungkam gempita semesta(*)

Otak Kosong

seperti muka danau: diam, tanpa riak
baru berombak bila diusik
itulah aku: kerap suwung di dalam
hilang akal, tanpa memori
sehingga menjadi kerbau:
mudah digiring sesiapa yang lebih berisi
mungkin harus lebih sering dihardik
dengan ide yang menghentakentak
dan kecemerlangan yang mencengangkan
agar terus terbangun
dan tak lena dalam impian(*)

Menjemput Siti

segelas kopi yang tandas
setumpuk tugas yang kian menindas
sepotong siang yang ngantuk
memaksaku menjemput bayangmu
putih, ayu, sewangi surga, semerdu senandung dewata
amboi, siti
kumemujamu
tak sudah-sudah, tak puas-puas(*)

Cermin Kenangan

pada muka cermin buram
kulihat kita
bergumul dalam napas menderu
berpacu, tak putus-putus
kulihat juga senyum tulus
ketika bibirku menyentuh keningmu
:hati-hati di jalan, aku selalu menunggumu
tapi ah, mana setiamu itu?
kau kini pergi
ke negeri misteri
tanpa pamit, tanpa ajak
pada cermin buram
masih kulihat jelas kamu
dari balik hujan air mata
yang mengaburkan pandangan
utuh, seluruh
ah.........(*)

02 Februari 2009

Sajak Kehilangan

kepada sunyi yang tak bertepi
kuisakkan kehilanganku
dan kerinduan pada indah pelangi
harum mawar, semerbak melati, kicau burung dan bening embun
yang sirna bersama kepergianmu

pada gundah nan tak berujung
kurapalkan sesal sedalam palung
ego itu tlah pulaskan aku
hingga lali menyirami taman asmara kita
kini layu dan gugur semua bunga itu
dibunuh waktu dan hal-hal sepele

pada waktu yang memanjangkan deritaku
kuteriakkan namamu
dan permintaan maaf itu
kau, entah dimana kini, bisakah mendengarnya(*)

Cinta di Titik Nadir

gerimis februari: gigilkan kamar dan peraduan
sendiri aku, dipagut sepi
berguling kiri, beringsut kanan
hanya temukan hampa dan penyesalan
adakah kau juga sama: di kamar lainnya
haruskah kita memaksakan ikatan
meski sama-sama tak bahagia, tanyamu,
mungkin sudah setahun lalu
dan kita masih juga begini
seatap, hati kita tak lagi saling memiliki
di meja makan kita masih bersama
tapi mata tak pernah lagi bersua
hanya dua sesosok badan
tanpa ruh, tanpa hasrat, tanpa rasa(*)

Memandang Hujan di Teras

hujan melantunkan sajak
hatiku merapalkan takjub
senyum mu itu, ah...
indah terukir malu-malu
kala gigil tubuhmu sigap kudekap
di teras dingin itu
tak ada kata
hanya senandung cinta
yang lantang menggema di relung hati kita
bayangan itu, ah...
alangkah manis terasa
bahkan kini setelah lewat 120 purnama
karna senyum kecilmu itu
kini jadi seringai sinis dan kata berbelati
waktu telah mengubah kita
dan mengubur senandang asmara itu
entah diman(*)