27 Februari 2009

Tasaro Menyihir lewat Samita

Kedewasaan tak ditentukan umur. Itu jelas benar bila kita mengamati kiprah para penulis muda. Mereka begitu produktif dan menggebu. Banyak, di usianya yang belum 30, sudah mampu melahirkan karya-karya bernas.

Kemarin baru kubaca salah satunya. Karya Tasaro (Taufik Saptoto Rohadi) yang baru berusia 29 tahun. Ia menulis cerita silat berlatar masa akhir kerajaan Majapahit. Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit, buku itu, juga menyertakan tokoh silat dari Cina, Laksaman Cheng Ho dan murid-muridnya.

Membaca karya ini kita pun segera ingat Kho Ping Hoo dengan cerita silat-silatnya. Banyak kemiripan. termasuk dengan khotbah tentang esensi hidup yang banyak tersebar di dalamnya.

Buku ini menarik. Sebagai penggemar cerita silat, saya menyukainya. Membandingkan dengan tiga pengarang lain yang baru saya baca karyanya: Langit Kresna Hariadi (Serial Gajah Mada), Saini KM (Banyak Sumba), dan Gamal Komandoko (Sangrama Wijaya), Tasaro mampu menempati tempat lumaya.

Samita terasa masih di bawah Gajah Mada. Langit memang begitu piawai menghadirkan alur yang kaya dengan kejutan dan daya pikat. Bahanya juga mengalir lancar dan indah.

Tasaro kalau pun terpaut tidak jauh. Bukunya memiliki plot yang solid. Bahasanya enak. Kepiawaian dia meminjam idiom-idiom Cina dan pemahaman yang cukup terhadap budaya jawa dan Islam terasa menjadi nilai tambah.

Kekurangannya: dia masih kerap terlalu berpanjang-panjang, terkesan menggurui, dalam dialognya. Sehingga saya pun sempat terdorong melakukan lompatan-lompatan halaman karenanya.

Entah seperti apakah buku ini di pasarana. Menilik tahun terbitnya, 2004, dan tak banyak publikasi tentangnya, tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Tapi bila anda rindu pada cerita silat, bukunya bisa jadi bahan pengobat yang lumayan.(*)

Tidak ada komentar: