15 Desember 2009

Bercinta Tanpa Kata

ini hanyalah malam yang sama
kau mengelusku, memberi isyarat
lalu kita bercinta:
penuh keringat, tanpa sepatah kata

apakah cinta kita sudah
begitu saling memahami
hingga tak perlu
lagi segala kata-kata?
ataukah kita tengah berpacu
menuju kesunyian
yang hampa?

malam nanti kau mungkin datang lagi
ke kamarku
mengelus ini dan itu
meminta
aku mungkin akan coba
berkata-kata
mengucap sepatah dua puji dan rayu
agar cinta kita
tak mati kesepian(*)

09 Desember 2009

Meneropong Masa Depan Belahan Jiwaku

termangu menatapmu
dua belahan jiwaku
pagi yang heboh:
berkeras menolak mandi
dan makan
kalau tidak lantas jalan-jalan
siang yang gerah:
diwarnai tangis kalian
yang tetap menolak dipaksa
memakai celana
malam yang berisik:
dede terus saja merengek
meminta nenek
tetap duduk saat menemaninya bobo

ah, padahal kalian baru
sejenak menemani
baru dua atau tiga langkah saja
tapi sudah kulihat gambaran
masa depan itu:
kalian menempuh jalan sendiri
meski kupaksa memilih
yang kumau

anak, kata pujangga itu
memang serupa anak panah
kita hanya berhak mengarahkannya
setelah lepas dari busur
ia adalah milik dirinya sendiri
ia memiliki peruntungannya sendiri

bulan depan
kalian akan genap tiga tahun
tapi sungguh sudah banyak
yang kurasa bersama kalian
kembar belahan jiwaku(*)

16 November 2009

Hari Hari ini

hari hari yang nyaman
pikiran tanpa beban

anak anak silih berganti
menceriakan hari

kau pun lebih tenang
menekuni segala tugas
tanpa terpalingkan
kehendak berlebihan

hari hari yang sentosa
melaju kencang tak terkira
tak terasa semua berlalu
cepat belaka(*)

11 November 2009

Terlalu Banyak Pikiran

ketika melihatmu
bicara tenang
seperti sudah latihan berulang-ulang
benakku justru diserbu
segala adegan bioskop itu:
lelaki lelaki setengah baya
menghalalkan cara
demi menjejak kaki
di temmpat tinggi
angin menghembusnya
dari kiri kanan
meruapkan berbagai aroma
sekongkol dan kebusukan

melihat mereka
berlomba tebar pesona
di depan pejabat yang dipanggilnya
pikiran jadi teraduk
beraneka kecemuk:
seorang wakil bukankah tak boleh
buta dan harus bertelinga tajam
seorang wakil bukankah tak boleh bermuka tebal?

menyaksikan
mereka duduk sambil
mengudar prestasi hari itu
hati tetap syak:
tidakkah mereka semua
hanya buaya
yang mementikan isi saku belaka?(*)

Mencari Puisi

kucari dia di tikungan remang
tak mengharapkan ia
berpupur tebal dan bergincu mencolok
justru aku menduga teduh:
sosok lembut, renyah, bertutur runtun

kucari ia di lekuk ceruk
mungkin tengah terbaring
atau jongkok mengangkang
tapi sebenarnya kuharap dia
kokoh: berdiri gagah
menyuarakan percik percik
permenungan mendalam

kucari diterang siang
dan remang malam
di balik benda dan sudut-sudut sempit
kucari
tapi tak ada
hanya ada jejak semangat
yang ditinggal kata-kata
indah memikat(*)

Lebih Baik Buta-Tuli

mungkin lebih baik
menjadi buta tuli
agar tak mengetahui
semua busuk itu
yang diumbar setiap saat
di layar kaca
yang membuat kita terpana
dan geleng kepala:
seburuk itukah sudah

ya,
memang sempat ada
harapan yang mampir
saat semua peduli
lalu angin mengalir
dari puncak gunung
tapi, jelas salah
sangat salah
untuk memiliki harapan
seperti itu
di tanah yang sudah
membusuk ini

jadi,
mari kita bersama
memilih membutakan mata
menulikan telinga
agar tak tahu
akan segala buruk
dan busuk itu
sambil berdoa
semoga kita tak harus
berurusan dengan
tikut dan buaya itu

jadi,
mari kita tidur
sambil menggumamkan
puisi tentang cinta
atau sajak tentang angin
yang membawa kabar rindu(*)

10 November 2009

Tentang Degup Bertalu

ada degup bertalu
mengirngi sore hari kerja
yang lumayan sibuk
apakah ini?
pertandakah?
sekedar mekanisme
tubuh biasa
atau badan yang sudah
lebih seksama membaca tanda?

ada degup bertalu
membuatku tak nyaman
apakah ini?
sekedar jelma kecewa
yang sedikit demi sedikit
menghampiri
atau tentang sesuatu
yang lebih besar?(*)

06 November 2009

Untuk Kau Yang Menangis Malam-Malam

tuan, maafkan kami
tak lagi tergerak
melihat air mata
meleleh di sudut matamu

kami terlalu lelah
dibisiki dongeng buaya serakah
terus berlomba mengakali
aturan dan keadilan
untuk menggelembungkan isi saku

maafkan ya, tuan
kami tak lagi yakin
ada buaya putih di kolam keruh
karena kami lihat
kalian begitu bergelimang harta
begitu bermandi sentosa
saat kami tahu
berapa harusnya isi saku itu

tuan, harap kau tak kecewa
kami kini tak lagi percaya
bila kau bilang tidak,
kami duga iya
Saat kau bilang bersih,
kami yakin berlumur lumpur

kami tahu lidahmu lentur
terbiasa menenun kata penarik simpati
tapi maaf saja
rayuan itu bukan buat kami
hati hati kini sudah membatu
setelah terus dilewati kalian
yang tak henti menginjak-injak
keadilan kami(*)

Cicak Vs Buaya

tak ada yang kudapat
selain kekecewaan
kalian saling berbalas kata di layar kaca
sambil senyum anggun
atau pasang raut prihatin
kalian bilang putih, sambil menuding hitam
kalian bilang putih, sambil menuduh abu
lalu aku menjadi yakin
tapi segera ragu,
yakin lagi, ragu lagi
yakin
ragu
yakin
tagu
ah...
dan kalian terus berkata kata
berpindah ruang dikejar kamera kamera
kami tak pasti lagi
siapa putih
siapa abu
siapa hitam
yang pasti keadilan sudah lama pergi
dari negeri ini(*)

04 November 2009

Sajak Haus

tersesat aku
di padang pasir
haus, haus, haus
tak berkesudahan
padahal sudah kucaplok tanah
kumakan motor
kulahap televisi
kutelan mesin cuci
haus, haus, tetap saja haus
tak puas puas
tiap kulihat tetangga
menenteng barang baru
terbersit rasa ingin yang hebat
haus menggelegak
kucari akal
kuterjang aral
kutak peduli
meski harus korupsi
asal terhilang
haus ini(*)

Namaku Angkoro

namaku angkoro
jariku mencengkram kanan kiri
teleponku tersambung setiap kali
bidak bidak dijajarkan
bidak bidak diarahkan
bidak bidak dimanfaatkan

uang, uang, uang
kusebar ke kanan kiri
kuselipkan ke laci jaksa
kujejalkan ke saku polisi
kusodorkan ke meja hakim
hukum pun menjadi milikku
bebas kuatur semauku

namaku angkoro
halo?(*)

28 Oktober 2009

Persaaan Yang Kian Akrab

perasaan yang hangat bergulir
menggelitik gelitik tepian dada

apakah ini?
seperti kedamaian
mungkin harapan
atau barangkali semacam optimisme
bahwa langkah ke muka
tak semata menyasar gulita
ada seberkas janji
sinarnya menari nari
menarik narik kaki
memberi energi

ah, perasaan itu
kian akrab saja, belakangan ini
selalu menyapa
kala kusendiri: menembus terik siang
dan temaram malam

perasaan itu susah dicerna
seperti isyarat bahwa
sesuatu yang berharga, entah apa, akan segera tiba

oh, sungguh nyaman
ku dibuatnya: seperti diterpa
semilir angin di terik siang
atau berteman hangat unggun di ujung malam

perasaan itu
semoga memang sebuah pertanda
tentang harapan
yang akan menjelma nyata(*)

27 Oktober 2009

Sajak Tikus Lepas

kau tekuk tekuk semua
aturan
logika
juga omongmu
kau anggap kami semua
bodoh dan buta
kau kira kami, rakyat
tak bisa membedakan
si bersih dari si pendosa
kau bicara manis
tapi hatimu kotor
tanganmu kotor
kau bicara aturan
tapi kau abaikan nurani
kau melenggang kini
seperti tikus
cerdik di film kartun
tapi dunia tak buta
Yang Di Atas pun tak alfa
suatu saat nanti
pasti kau akan
jatuh dan aibmu terbuka semua
dan kami pasti akan
bertepuk
dalam seringai puas
jadi sesaplah
segala nikmat itu
sepuasnya
sebelum karma menjemputmu
nikmatilah
dan kami akan terus
melihatmu
berharap kejatuhanmu(*)

26 Oktober 2009

Rumah Impianku

aku tak mimpi banyak
hanya kenyamanan dalam
kesederhanaan:
menikmati hari hari
tenang di ujung ladang
tanpa harus berpikir
tentang hasil panen

aku juga membayangkan
rumah alakadarnya
di lereng gunung
tempat nikmati hari
pagi dan sore
berteman teh hangat
malam cerah berhias
gelik suling
jentreng kecapi

rumah peristirahatan
di pantai boleh juga
tempat bernaung
setelah menemani nelayan
menjala ikan
atau menghabiskan hari
di lidah ombak

ku tak mimpi banyak
hanya kenyamanan
dalam kesederhanaan(*)

25 Oktober 2009

Saat Sujud di HadapMu

ku datang bersimpuh
berganti ganti baju

kadang putih bersih
disertai penyerahan diri
penuh dan utuh
tapi ah..
jarang sekali
itu terjadi

kerap kali
ku datang dengan warna abu-abu
sesekali putih berhias khusu
tapi segera tergelincir
hati terampas hayal dunia

kadang bahkan hitam
badan bersujud
hati membayang-bayang
segala khianat dan maksiat
nan lezat

ku bersujud
terus berjuang
menghadirkan hati
tapi oh, susah sungguh(*)

Keabadian III

senandung serak basah keabadian
menggapai gapai
menarikku
kepadamu
kepada bayangmu:
mata kejora
wajah purnama
senyum nan embun

ah kenangan itu
tetap membuatku silap
mengartikannya
seperti cinta
atau kagum belaka
selintas saja
dan akhirnya dikuburkan
saat kau teguh
meneruskan takdirmu
bersama pangeranmu(*)

23 Oktober 2009

Kebadian II

bukan karena suara
serak basah yang lihai
mengayun-ayun perasaaan
semata kenangan
yang datang tiap menyimaknya
hadir pula engkau:
mata bening,
wajah purnama,
senyum yang susah diterka

sudah terpisah jarak
kumasih tak tahu
cara mengartikan saat-saat itu
mungkin hanya rasa yang percuma
datang terlalu senja
saat kau sudah bersiap
melapal janji
dan melangkah memeluk sebuket
masa depan serba terang

padahal andaipun kau menyambut
segalanya belum tentu
serupa persis harapan di mimpi
saat itu ada khawatir
yang mengusikusik hati
kutakut tak terlalu
baik buatmu

suara serak basah
kadangkadang berkumandang lagi
dan aku kerap hentikan langkah
menyimaknya
sambil bergumam: ah, kenangan itu.(*)

21 Oktober 2009

Keabadian

sebuah kaset
sederet kenangan
tentang rasa yang percuma
karna datang terlambat
karna hidupmu sudah
serba pasti:
ada janji, tanggal pengikatan, sebuket masa depan

sebuah kaset
putih bergambar perempuan
menyimpan ingatan
yang terus mengabut
ditelan laju waktu

sebuah kaset
sebuah entahlah(*)

21 Okt 2009

Gempa

ketika hari hampir beranjak
dan kelelahan
berharap segera dibaringkan
tibalah ia
guncangan yang mengguncangkan
meruntuhkan semua
gedung menjulang
rumah
toko
sekolah
pasar
dan kesombongan kita
gempa
seperti menjawil kita
menyadarkan
bahwa semua
akhirnya bukan milik kita
jadi kita harus siap
kehilangannya(*)

20 Oktober 2009

Hati Yang Telaga

kuberharap memiliki hati telaga
supaya leluasa kau
membasuh harihari yang lusuh
menyiram segala gundah
menenggelamkan segala kekurangan

kuingin memiliki hati telaga
supaya cepat terlupa
segala marah
bukankah riak telaga
segera tenang seiring cuaca berganti

kuberhasrat menjadi telaga
dalam
tenang
dan menentramkanmu
supaya kau lena
berbaring di sampingku
tanpa khawatir
pun takut sesuatu

kuingin jadi telaga
buatmu(*)

19 Oktober 2009

Sudah Benderang Semua

kukira sudah benderang kini
yang terpenting hanyalah
keberanian
dan ketekunan
sudah saatnya kini
ketakutan dikubur
raas malas dilepas
lalu mulai menekunkan diri
dengan apa yang dimiliki
mungkin kusam
mungkin asam
mungkin tak berarti apa-apa
pada akhirnya akan ada yang berjodoh
dengan tulisan kita
menganggapnya sebagai
potret
cermin
atau bahkan telaga
tempat menghela semangat
untuk meniti hidup
sudah terang kini
yang terpenting berbuat
dengan yang kita miliki
tak usai risau
dengan kelebihan mereka semua
sudah terang kini
benderang
seperti siang
tinggal bangkit dari tidur
dan menguatkan diri
menapak, setindak setindak(*)

Musafir Abadi

akulah musafir sejati
terlunta-lunta menapak jejakmu
yang dengan cepat selalu berkelok-kelok
seperti menghindar-hindar
akulah sahaya
yang memendam kekaguman
kepada seorang tuannya
kaulah itu
sudah berapa lama?
satu, dua, tiga
tahun-tahun seperti berlari
menyampirkan lelah
ke badanku dan hatiku
yang kian kerontang
lalu akupun selamanya
jadi sinta pendosa
selalu mendambamu
saat dilimpahi kasih
tak berbilang dari sang rama
o.. angin
o.. waktu
kapankah semua ini berakhir?
kuberharap
suatu saat bisa menatapmu
dengan damai
tanpa gejolak cinta dan napsu
yang bertahun terpendam
o..(*)

Renungan Setengah Jalan II

hampir separuh jalan
napas sudah ngos-ngosan
terasa berat kaki dibawa
gundah dan kecewa bebani dada
ah, ini bukan mimpi yang dulu
yang kureka-reka sebagai
sorga dunia
ini hanyalah ladang pertarungan
tanpa akhir
melawan ego
kecemasan
dan kekecewaan tak berkesudahan

setelah setengah jalan
aku hampir kalah
tapi masih terus berusaha melangkah
sambil berharap
cahaya akan tiba
tuk lebih terangi jalanku(*)

Lidah

suatu hari terpetik lah pelajaran berharga
tentang lidah setajam pedang
yang sudah jadi buah bibir dunia
tapi aku baru merasanya malam itu
saat istri merengut di pojok dapur
dia protes atas komentarku tadi siang
sebelum berangkat kerja
"memang komentar apa sih?
kok sampai diomongin pedas begitu?"
aku melongo
komentar apa?
bukankah hanya soal pohon tetangga
yang menjulang angkasa
kukatakan layak ditebang karena
sudah mengangkangi kabel listrik
aku enteng saja berkata begitu
karena sudah merasa dekat dengan
tetanggaku itu
rupaanya setelah pergi
muncul komentar pedas entah dari siapa
kenapa harus urusi rumah orang?
rumah sendiri saja tak karuan.
ya ampun
lagi-lagi lidahku
kata-kata yang kuanggap biasa saja
ternyata bisa jadi belati
yang menyakiti sesiapa
tampaknya,
sudah saatnya kata lebih dijaga(*)

18 Oktober 2009

Renungan Setengah Jalan

JALAN berliku, berdebu
kubelokkan langkah
mendinginkan kepala di rimbun pepohonan
terduduk sambil menatap ke belakang
ah, jalan panjang sudah dipijak
penuh onak
penuh luka
dibumbui sedikit bahagia
teringat tadi
hati sempat geram
nyaris memutuskan menyembal
mencari jalan lain
tapi lalu muncul dua pasang
mata bening
menatap bertanya-tanya
aku tak bahagia
tapi mungkin ini hanya rasa yang dibikin sendiri
oleh pengharapan berlebih
keinginan tanpa akhir
seandainya lebih sederhana
dan membiarkan segala
menyandang kelemahannya
mungkin akan bahagia(*)

13 Oktober 2009

Puisi di Rubrik Oase Kompas (2 Oktober)



Karya Nurdin Saleh
Jumat, 2 Oktober 2009 | 20:50 WIB

Setelah Lama di Jakarta

KULIHAT bocah lusuh melolong
dalam deras hujan di depan mall
lelaki berpayung di sampingnya
berusaha menarik-narik tangannya
sempat kuhentikan langkahku
cetus itu pun mengusik hati:
mungkinkah ini penculikan
untuk dijadikan anak jalanan?

kusua pria setengah baya
menyapa dengan manis budi
sangat akrab serasa sahabat lama
aku membalasnya dengan ragu
syak itu menyelip mengganggu
mungkinkah ia pura-pura baik
karena ada maunya?

dalam penantian mengesalkan
di hadapan birokrasi
silih berganti tamu elegan bertas besar
datangi kepala bagian
curiga pun menyapa:
jangan-jangan tas itu penuh
amplop sogokan untuk melicinkan proyek?

seorang tetangga mendadak sentosa
membangun rumah seperti tak peduli biaya
aku pun menjawil istri:
paling ia korupsi
mana mungkin seorang pegawai negeri mampu begitu?

setelah bertahun di kota ini
hari berganti, wasangka justru menjadi-jadi(*)
Pamulang, April 2009

Pemetik Abadi

PERGI lagi ke firdaus itu
memetik bunga-bunga kata
seindah melati, mawar, dan rupa-rupa
kucecap kuhirup pesona senandung pujangga
lalu kupulang menggenggam tekad seluas angkasa
kukan tumbuhkan bunga-bunga serupa
di taman sendiri
tapi ah, apalah dayaku: tak ada benih, tiada rabuk
harapan pun menjelma hampa
dan aku hanya akan terus kembali
ke taman itu: menjadi penikmat, pemetik abadi(*)
Pamulang, Mei 2009

Memaknai Hari

BAGAIMANA harus memaknainya
gundah dan bahgia bergulat
begitu mesra
tak henti berebut ruang hati
yang tak lagi lapang

jarum jam seperti diputar balik
adegan diulang-ulang
kembali ke titik-titik itu jua
hari ini tak beda kemarin:
dapur, ruang tengah, mall
dan setumpuk resah dan gundah

waktu tampaknya hanya berhasil memeta
pada sosok buah hati kita
kian hari kian beranjak
serupa insan dewasa:
membesarkan ego, haus sanjung puja

tapi derap waktu
tlah gagal mengubahmu
kau masih jinak-jinak merpati
seperti tunduk patuh sepenuh hati
tapi lantas mengulang-ulang
hal kecil itu
yang lanas membunuh sisa hariku

bagaimana memaknai hari ini
saat harap berujung kecewa
lalu kejutan kecil
kembali kobarkan asa(*)
Pamulang, April 2009

Cinta Yang Kucurahkan
: rpa dan lda

SATU waktu aku pasti merindumu
ketika angin rintih
menyapa senja di balkon sunyi
bibirku mungkin terus lapalkan asmamu
batinku tak henti melukis bayang indahmu

pasti kuingat semua
saat-saat kebersaam kita
hari ini dan kemarin:
tawa yang ceria
isak yang duka
manja yang luar biasa

saat itu aku mungkin sudah di ambang pintu
bermandi uban dipayungi
matahari kekuningan nyaris keperaduan
aku sendiri, tapi tak kesepian
selalu ada engkau
yang kubayang-bayangkan
kuduga-duga polah lagakmu

sudah pasti aku merindumu
juga akan kehilanganmu
tapi pasti kulepas kau
dengan lega dan rela
menjadi burung yang mencari bebas
atau air yang menyusuri takdir
karna kuyakin sekali
hari ini dan kemarin
karena telah kucurahkan cintaku
yang paling sempurna(*)
Pamulang, Mei 2009


(Nurdin Saleh, Jurnalis, kini tinggal di Pamulang. Masih membaca novel dengan penuh hasrat, tapi kian kesulitan merampungkan tiap cerita pendek yang dibacanya. Di sela kesibukan yang kian menekan makin yakin ba

23 Agustus 2009

Kenapa Kamu, De?

dede menjerit jerit
menjawil-jawil sang gundah
lalu mengajaknya masuk
ke dalam hati
: kenapa kamu de?

lagakmu sungguh susah dimengerti
tadi manis
sekarang membuat ayah meringis
begitu cepat berubah
begitu gampang berganti
kenapa kamu, De?

17 Agustus 2009

Renungan 37 Tahun

kaki terus melangkah
satu demi satu saja
tapi waktu
begitu cepat mengiringnya
sudah sejauh 37 tahun kini
uban pun sudah muncul satusatu
tapi sudah dimanakah?
mendadak kabut memenuhi kepala
mengilangkan gambar peta
dan arah mata angin
sungguh, aku tak tahu dimana
yang jelas
kerap mencuat sesal
gerah dan kecewa
sepertinya titik ini
tak pernah ada dalam anganangan dulu
tapi, setelah 37 tahun
anganangan seperti itu bahkan
tak lagi kerap muncul
kutekan keras hingga tandas
kutakut angan itu
dianggap undangan
buat tangantangan kekecewaan
setelah 37 tahun
serasa sudah diakhir
yang menyesakkan(*)

Merdeka

pekik menggelora
hymne gegap gempita
serta kibar merahputih
hanya kulihat lamatlamat
di layar kaca
sambil tiduran di ruang tengah
oh, ku bisa terus
melakukannya dengan leluasa
karena kini serba merdeka
jadi mari pekik bersama: merdeka!!!!(*)

14 Agustus 2009

Dihantui Bayang

bayangbayang
tak terusik
terus melekat erat
mengikuti kemana ku melangkah
berganti ganti setiap kali
terpicu apa lantas beda

bayangbayang jadi pelarian
karena indah, karena tiada tekanan
sedang hidup ini
begitu terbatas dan banyak masalah

bayangbayang
membayang
menandai hidup yang kian
tak sempurna
dan kecewa(*)

Sajak Segelas Kopi

segelas kopi yang tandas
tersisa ampas dan jantung yang dipalu debar

nanar di depan layar
hurup hurup berkeliaran
menyusun katakata
yang berbaris
berebutan masuki kepala
menjadi kisah kisah
berloncatan tak karuan

kuteringat kau
mengapa ada harap
yang langsung terampas
dan kata itu yang tak juga lepas
: janganjangan kita telah salah memilih?

kuteringat juga mereka
dua mungil penuh ceria dan nakal
: akan jadi apa mereka
bila kita harus berakhir?

gelas kopi tandas di pojok meja
cawan hati tanpa rasa di pojok dada
di luar sore berlarian dikejar malam
suaranya berderap
menularkan resah dan sepi
aduh....(*)

28 Juli 2009

Melihat Derita Kaka

aku merasa kecil
tanpa daya
ketika melihatmu mengkerut
dihantam batuk bertubi-tubi
tubuhmu memerah
nafas begitu susah
ah, kaka
entah mengapa takdirmu begini
segala kekurangan
segala kelemahan
seorang khusus buatmu
lalu aku merasa berdosa
sebagai ayah tak bisa
jadi pelindung paripurna
tapi mungkin Tuhan
sudah memilih jalanmu
mengajarku untuk sabar
dan mengenyahkan sombong
karena saat melihat deritamu
aku sungguh tak berdaya
dan hanya bisa
menyandarkan harap kepada-Nya.(*)

26 Juli 2009

Sudahlah

sebuah dering
lalu kabar yang itu lagi
dada sesak serasa kehabisan nafas

hingga kapan semuanya?

padahal ia sudah tak berdaya
tinggal kulit pembalut tulang
haruskah terus disiksa
oleh ulah putra berego gunung

ah, sudahi saja
akhiri segalanya
Tuhan, tolonglah!(*)

Mencari Kenangan

ingin kupetik bulir kenangan
dari butir pasir
dan lidah ombak
seperti pagi hari
saat ceria menyambut
embun berkilauan di ujung daun
karena itu kakiku melangkah
ke selatan
menyusuri kelok demi kelok
bibir laut
tapi tak kusua kenangan
hanya desah angin
dan gemuruh gelombang
serta matahari yang timbul tenggelam
mungkin karena aku
belum juga menemukanmu
belahan hatiku(*)

22 Juli 2009

Kenangan Sesat

hujan mencegat
di tengah jalan
kaburkan pandangan
buatku sesat
terseret kenangan liar
masa lalu penuh banjir dosa(*)

Hujan Malam

hujan mendadak tumpah
mebanjiri dada
dengan degupdegup
resah tanpa sebab
tentakel silih berganti
menusuki:
ngeri
khawatir
tak tenang
kilat dan guntur bersusulan
jerit bocah ketakutan
betina menyusup di dada
mencari kehangatan
resah pun berganti keringat
ah, ini malam yang beda(*)

21 Juli 2009

Lupa

kuingin menjadi batu
kukuh menyandang gores ingatan
sementara kini
hanya gunungan pasir
di tengah gurun
tandas tanpa bekas
dihempas badai gila
hingga masa lalu menjadi gelap
kemarin bahkan samar-samar
kenangan begitu gegas
menghilang
menjadikanku
tanpa sejarah
tanpa kebijakan(*)

20 Juli 2009

Menjadi Asing

hari kita kini lain
penuh kabut:
resah, gundah,
dan sederet kekecewaan

lalu rindu pun luput
hanyut bersama waktu
jatuh entah dimana

kini kita pun asing
saling menghindari pandangan
tiap berpapasan
di dapur, tengah rumah,
dan pintu kamar(*)

31 Mei 2009

Rindu yang Ragu

kerinduan yang tak henti memanggil-manggil
mengajak pikiran menapaki setiap senti
pematang, tegalan, dan huma yang gersang
tempat dulu diri bertumbuh

tapi ada ragu yang mengunci hasrat
ketakutan akan derita tak tertanggungkan
yang kini mengungkung ringkih tubuhmu
apakah akan kuat aku melihatnya?
apakah akan cukup tegar aku meinggalkannya lagi nanti?

kerinduan, keraguan, ketakutan
terus bertarung
di sela kemacetan
riuh mall
dan kehidupan yang kian menggencet

hari itu pun kian dekat
tanpa sekerlip isyarat
mana yang kan jadi pemenang(*)

Hari yang Klise

akan kusebut hari ini: klise
berisi cemberut, rengekan, dan tangisan
sudah sangat akrab dan bisa kuduga
tapi akibatnya
tetap sama: pudar semangat
ah, kau itu...
mungkin harus kuhadiahi cermian raksasa
biar leluasa berkaca dan melihat sekeliling
ada yang lebih diguris sepi: tak menangis
ada yang lebih ditekan beban: tetap tertawa
ada yang lebih ditusuki duri: tetap teguh hati
terus kucari pangkal sebabnya
dalam kebunmu kulihat batang-batang yang tumbuh
lebih baik dan memberi sinar sejuk
dalam aliran sungaimu kulihat
contoh sempurna dari seorang yang bersahaja
apakah urutan yang telah membuatmu begitu:
karena terlahir terakhir lantas jadi berbeda?
aku tak habis bertanya, tak juga bersua jawab
dan esok mungkin aku akan kembali menggeleng dan berucap: ah, klise(*)

17 Mei 2009

Calon Orang Kedua

: Buat Pak Boed

kau tenang di mimbar itu
tak menggebu tapi memukau
kupikir kau terlihat cerdas malam itu
membalas semua ragu dengan kata tuntas

itu pertama kusaksikanmu dengan seksama
sebelumnya hanya kata dan kabar
penuh sanjung puji: bahwa kau begini kau begitu
tapi bagiku kau hanyalah seorang politisi yang lain
yang apalah bedanya dibanding birokrat-birokrat busuk itu

tapi kini kau membetotku karena kau hendak jadi
nomor dua di negeri ini
membuatku penasaran tentangmu
dan kemudian kusua hal-hal indah
"ia seorang sederhana.
menko yang mau menyetir mobil tua
saat mengajar ke kampus."
kau ramah dan renah hati
kau bermutu di muka kelas
kau ...jauh sekali dari tudingan tudingan busuk itu
kau ...ah,
semoga berhasil mengubah
murungku tentang negeri ini
menjadi optimistme(*)

(*)

13 Mei 2009

Manusia Salju

patung salju berhati es
langkahnya menyebarkan beku
tapi ia adalah pemimpi sejati
berharap dianggap hangat
dan disambut sebagai hangat cahaya mentari(*)

Sendu Hampir Pilu

rasa itu terus datang dan pergi
sendu yang hampir pilu
sempat kupikir aku telah selamat
sukses mengantarnya pergi
hingga pintu pagar
tapi sore tadi ia kembali
mengetuk-ngetuk jendela hati
ah, jalan ini terasa kian menyiksa
penuh kerikil melukai kaki
penuh onak menusuki hati
kau mungkin salahkanku
karna telah menjelma es
mengembun menjadi awan
yang menghalangi hangat mentari
tapi, aku hanyalah si lemah
tanpa daya mengusir kecewa
yang terus datang tanpa alasan jelas
hari ini karena hal sepele
esok entah karena apa lagi
padahal rasa itu jadi pisau
mencukil-cukil rapuh tiang
penyangga mahligai kita(*)

11 Mei 2009

Lakon Politikus

: kepada Soetrisno Bachir

aha
kuucap seperti 'eureka'
seorang kecewa telah menemukan bukti
itulah dirimu yang kalah
"politikus itu harus berjiwa
preman dan bengis"
ujarmu selesu semangatmu
untuk tetap meniti tangga kekuasaan

tiba-tiba aku ingat kepalmu
di layar kaca belum lama ini
"hidup adalah perjuangan"
aha, kini kau menabrak dinding
dan pahitnya kenyataan
"Politikus itu harus bisa ambil putusan
tanpa peduli perasaan orang lain
agar tujuannya tercapai"

dan kini perasaanmu yang terluka
bukan karena dicubit-cubit nurani, jangan-jangan
tapi karena kau tersisih
dalam lomba menuju ke puncak tapuk kuasa
aha...(*)

05 Mei 2009

Kepada Angin, Kepada Rumput

: Rinrin Migristine (29 tahun)

pertanda itu mungkin sudah tiba
jauh sebelum elmaut menjemputmu

kau bisa saja bayangkan kematian
saat kau torehkan 'Angin dan Bunga Rumput'
dan kematin tak membuatmu takut
"Kenapa harus bersedih?
Apakah menurutmu mati itu kabar buruk?"
jelas kau yakin itu bukanlah akhir
"Percayalah padaku.
Kematianmu adalah awal bagi kehidupan yang lain."

kisahmu itu kemudian terbaca orang
pada Ahad pagi
di hari yang sama kau mangkat
bersama ginjal yang tak berfungsi(*)

Negeri Lupa

kami hidup di negeri ajaib
langit berpayung awan
setiap saat siap hujan

hujan itu begitu deras
membasuh tiap pikiran
hingga tak tersisa ingatan

kami hidup tanpa masa lalu
dengan sentosa mengubur
rekam jejak segala
seorang penculik bahkan
leluasa bermimpi jadi petinggi
kami melihat dan mengelu-elunya

tiap hari di sini adalah baru
kami pun terus mengulang-ulang
kesalahan yang lalu(*)

Pertanyaan Untuk Kita

pernahkah ada cinta?
tanya itu menyapa
saat aku di pelana motor
diayun ambing jalanan berlubang

ah, jalanan tak terawat ini
tidakkah mirip mahligai kita?
berlobang di sana-sini
kurang urus, kurang jaga

aku pastilah sumbernya
cenderung menggampangkan segala
karena sudah terikat
tak lagi trasa perlu melakukan
ritual-ritual cinta
kupikir perhatian kini hanya buat
buah hati saja

nyatanya kamu tersiksa
merasa sesat tak tentu arah
kerap nanap menatap
bertanya-tanya: masihkah ada cinta?

hubungan kita tak lagi sederhana
mundur jelas bukan pilihan meskipun terasa sangat masuk akal
karena, bukankah ada dua mahluk kecil yang
harus jadi perhatian?
bersama juga terasa tak nyaman
bila hanya begini dan begitu saja

hari ini kita mengayun langkah besama
dalam gamang, dan agak hilang arah
kita menunggu: berharap ada cahaya ilham
menerpa dan menyuburkan kembali
pohon cinta yang meranggas(*)

04 Mei 2009

Buat AA

kau tak membuatku terkejut
coreng mukamu bahkan sudah kukira
bukankah cela seperti itu
milik semua birokrat

kau pernah lama di sana
memimpin para maling berbaju pahlawan
yang membuatku terkejut justru sikapmu
kau tampak tenang penuh percaya diri
menghadapi dan mengelakkan semua tudingan

ah, barangkali kau sudah terlatih
saat meniti karier setindak demi setindak dulu
kebohongan bukankah menu sehari-harimu?

corengmu tak membuatku takjub
justru sepak terjangmu sebelumnya
yang membelalakanku
kau, yang pernah lama di comberan,
pernah garang mencuci semua koruptor
bahkan dari tempatmu dulu berpijak
: ah, kau seperti malaikat paling bersih

kini semua lawanmu bersorak girang

sedang aku hanya asik melihat
sebuah lakon lagi
di panggung penuh cerita basi(*)

Seadainya Kau Asing

bila bertemumu di jalanan
atau di warung saat menunggu pesanan
akankah beda?

mungkin aku akan mencuri-curi pandang
seperti saat bersua tiap anggun berjilbab
lalu apa yang akan kurasa?
akankah hadir letik-letik pesona?

ah, sungguh angan-angan bodoh
nyatanya kau sudah ada di sisiku
setia menemani
menggarami hariku dengan
senang, riang, dan jengkel

mungkin aku kurang menghagai mu, kini
semata karena aku lelaki, seperti dikata para bijak,
selalu abai dengan barang yang sudah tergenggam(*)

03 Mei 2009

Mahligai Kita

berapa langkah lagi
kesunyian akan menemani

kita berpapasan
dingin menghembis pori-pori
kita berpandangan
bara kekecewaan berlatikan

inikah mahligai impian?

saat ini kita mestinya duduk bersisian
di teras menatap tetes hujan
atau jerit riang dua bidadari
berloncatan-berlarian di sempitnya gang
sambil berbincang
rencana-rencana memoles mahligai
keemasan

tapi, lihatlah pohon di taman kita
dikerdilkan amarah dan kecewa
juga ketidakpuasan yang tak berujung

lalu, kemana kita nantinya?
mengapa pula kucium aroma cemas
dari ujung jalan
dan kudengar sayup
tangis kasihan bidadari kecil kita(*)

29 April 2009

Buat AO (2)

kau di sana
sudahkah bersua bahagia?

pasti harimu habis selalu
direbut hitungan rugi-laba
dan rencana belanja persediaan tokomu
adakah kau rindu masa lalu
saat bergulat mengejar waktu
menuliskan segala keindahan dan drama
lapangan hijau

kau di sana
sudahkah mampu genggam yakinmu?

hari-harimu akan sepi
dari gelegak hasrat
menorehkan indah
atau kau malah nikmat
terasing di kesunyian kota kecil?(*)

Buat AO

ia pergi
tanpa ragu tanpa takut
tinggalkan keasyikan yang membuai
untuk sebuah ladang baru

ia pun akan di sana
bersunyi dari ingar bingar segala
terduduk disibukan hitungan rugi laba
dan daftar berlanja
hari ini pasir habis
besok batu bata sudah tak ada

ah, ia memilih pergi
tanpa ragu tanpa takut
untuk berenang di lahan baru
sambil menggendong sang buah hati
di sini kami akan kehilangan
kerja keras dan kejeliannya(*)

28 April 2009

Tulisan untuk dilupa

ada hari kosong
ada hari buruk
ada hari-hari panen buah
itulah hidup penulis

yang terpenting berani
terus menggores
lalu melupakannya
suatu hari si buruk itu
mungkin akan menelurkan
mutiara hikmah dan inspirasi

jadi: menulislah terus
setidaknya sehari satu(*)

27 April 2009

Ada Pembunuh di Sekitar Kita

pembunuh di sekitar kita
ia berwajah cerah
senyum senantiasa
bicara cerdas
seperti sungguh seorang pembela

tapi banyak yang tak lupa
ia pernah menjadi durjana
memetik mawar-mawar yang baru putik
menghilangkannya
atau memulangkannya dengan luka tak terkira
tapi ia merasa bebas
karena tak ada palu diketuk buatnya

ada pembunuh di sekitar kita
ia kini ingin menjadi orang terpilih
pengayom segenap bangsa
apakah kita akan diam saja?(*)

The Forgotten

kisah-kisah itu mungkin hanya dalam angan
atau mimpi
atau bentuk kegilaan
tapi ah.. apa bedanya
selama bisa memperkaya batin
meneguhkan keyakinan

kau mengalami yang tak terperani
kemarin memiliki buah hati
hari ini tidak lagi
dan semua orang membantahmu
bersaksi bahwa kau tak pernah punya putra
menyebutmu wanita sakit jiwa
apa yang lebih mengiris dari kehilangan seperti itu?

tapi kau memilih teguh
berlari menyusuri pecahan
beling dan ancaman yang meraksasa
tapi kau tetap kukuh
berlari mengejar sayup bayang sang putra

akhirnya kau pun menang
kasih ibu tak kan pernah bisa dipangkas
tetap hadir, mengetuk-ngetuk setiap pintu lupa(*)

26 April 2009

Mengenangmu

Buat: rpa dan lda

suatu ketika aku pasti merindumu
mungkin ketika angin rintih
pada senja sunyi di balkon berangin
kukan terus lapalkan asmamu
dan batinku akan senantiasa
melukiskan indahmu
pasti kuingat semua
saat-saat ini dan kemarin
tawa yang ceria
isak yang duka
manja yang meluruhkan

saat itu aku mungkin sudah di ambang pintu
dipayungi matahari kekuningan nyaris keperaduan
aku sendiri tapi tak kesepian
cukup kubayang-bayangkan engkau nun disana
ku bahkan bisa menduga-duga
apa yang kau lakukan yang kau pikirkan
aku pun bisa mendengar lagi
bisik-bisik lirihmu
dari kemarin dan hari ini

saat itu aku pasti merindumu
aku juga kehilangan
tapi pasti kulepas engkau
dengan lega dan ihlas
menjadi burung terbang
atau air yang mengalir
mencari takdirmu
karena kutahu pasti
hari ini dan kemarin
telah kucurahkan cintaku
yang paling sempurna(*)

Ujung yang Awal

: mia bustam

hampir asar
matahari menghilang
tenggelam lebih cepat
dunia gelap
tanpa percik cahaya terangi
ayunan kaki

akhir? inikah akhir?
ah, pasti tidak

lihatlah kaki terus melangkah
teguh dan kukuh
perlahan singkirkan risau
secabik demi secabik

perpisahan jadi ujung
tapi juga awal baru

dulu hanya bayangan
membunuhi hasrat pribadi
demi pengabdian dan keharmonisan
kini melangkah bebas mencari cahaya
menjadi diri sendiri

sepi dan pilu itu
masih kerap melambai-lambai
menjadi bumbu
temani hari hari
lebih berwarna-warni(*)

Joging di Vila Dago

pagi cerah, jalanan lebar
keringat bercucuran
mata mata jelalatan
di pinggiran kaki lima berderetan

ini pagi yang ramai
boulevard disesaki orang-orang
orang-orang mencari kesehatan
orang-orang mencari hiburan
orang-orang mencari makanan
orang-orang mencari hubungan

vila dago setiap pagi di akhir minggu
oase di tengah centang perenang hidup
di pinggiran ibu kota(*)

Lelaki Pendiam

seorang lelaki mencerca ombak
yang mederu-deru sepanjang waktu
karna ia menyukai kesunyian

ia juga mencabuti pepohonan
menggantinya dengan benih-benih hening

ia berjalan dalam senyap
duduk dan tidur dalam diam

tapi jauh di dasar hati
ia tetap berharap
akan tetap disapa dengan hangat

ia mulai khawatir
akan mati kesepian
karena kini semua mulai mendiamkannya(*)

21 April 2009

Aku dan Kau Setelah Lima Kelokan

akulah sais yang ingkar
dulu janjikanmu taman sentosa
kini membawamu tak kemana-mana

tapi waktulah yang berdosa
merebut hari-hariku
menimbuninya dengan pikul-pikul kesibukan
hari-harimu lantas silih berganti dalam sepi
hingga kau menjelma duka: dalam tak berdasar

aku pun berusaha menjadi kipas
coba menghembus-tiupkan angin keteguhan
ke dalam kelam murungmu
tapi tak ada ruang tersisa di hatimu
habis direbut derita dan banjir air mata

ahirnya aku menjadi pendosa
yang meratap tak puas-puas
aku juga menjadi pendoa
tak henti meminta-minta:
kembalikan keindahan cinta
yang menghilang
dalam lima kelok tikungan(*)

Derita Hujan

hari yang dilanun murung
daun-daun ditangisi hujan
angin menghempas-hempas jendela
tapi rasa itu tak terusik
tak jua mau beranjak
dalam labirin hati
aku, kau, dan waktu yang tak bersahabat
sembunyikan semua kasih
dan kenangan itu
hingga kita menjadi asing
semeja tanpa bisa saling tatap mata
hujan mungkin masih akan turun
esok: entah kita masih kuat menanggungnya(*)

Kudu Nulis Buku

sigana geus kudu berobah hirup teh. kudu boga rencana, tong ukur ngadagoan naon bae anu tumiba.

unggal poe terus nulis, tapi taya karya nu bisa dibanggakeun. ukur carita-carita anu isukna geus jadi bungkus di pasar. koran memang pondok umur. sigana kuring kudu mimiti nganiatan nulis buka. teuing soal naon, nu penting kudu nulis buku.

nya lantara buku urang bakal leuwih dikenal. atawa sahenteuna urang boga hiji pasal keur diagulkeun ka anak incu. buku ngalantarankeun urang lewih abadi. karna buku, pikiran urang terus dibaca jeung dibaca deui.(*)

Melangkah Dengan Kompas

semua orang seperti memegang lilin
pembimbing langkah menembus kabut kehidupan
langakah-langkah pun lebih terarah: bertujuan

aku justru melangkah dalam buta
meraba-raba
pasrah menanti apa yang kan tiba

lilin itu karya
kompas sekaligus prasasti hidup
yang membuat segala momen bisa dikenang
yang membuat hidup lebih abadi(*)

20 April 2009

Dina Kikisik (unfinished)

letah ombak noelan suku
angin, bulan sapasi
silihgenti ngagero-gero katineung
metot tangtungan anjeun tina ingetan

urang kungsi pagegeye
tapak-tapak lengkah dipupus lambak
tukangeun batu
asmara urang bahe
guyang madu luhureun kikisik bodas

Buat Aan

ia terus menggores indah
satu langkah
ia jadikan tiga nyanyian
: pelan, ngelangut, menikam

tentang kecemuk di dada
tentang hubungan
tentang cinta
dan kekuatan yang ditimbulkannya

ah, ialah lelaki berlidah kasturi
ucapannya semerbak wewangian
kalamnya bertinta manikam
segores, berlapis lapis keindahan

mungkinkah hidupnya
seindah puisinya?(*)

Ia Yang Pernah Jadi Korban

ialah korban itu
pernah diangkut tim dengan
nama setangkai kembang
disiksa tak putus-putus
untuk diberangus

tapi ia bertahan
dan terus berdiri hingga kini
ia tak henti didatangi ibu-ibu
yang anaknya tak seberuntung dirinya

hanya sedekade
kejadian itu kian lamat-lamat
ia pun mengundang kerut
kening banyak orang
ia merapat ke pangkuan lalaki
dulu memimpin tim dengan
nama setangkai kembang

ada apa?
"aku telah disiksa,
ini saatnya meminta balas jasa
sepercik manis
secawan nikmat"

ah, luas nian hatimu
melarutkan nyeri dan dendam itu
hingga tak tuntas tersisa
atau kau hanya wajah yang lain lagi
tak tahan goda rayu kilau dunia?(*)

Ingin Jadi Penyair

pergi lagi ke taman itu
memetik bunga bunga
melati, mawar, dan rupa-rupa
kucecap kehirup harum segar keindahan
lalu pulang dengan harapan selebar langit
ingin menumbuhkan bunga-bunga serupa
di taman sendiri
apa daya: tak ada benih, tiada rabuk
harapan pun menjelma hampa
lalu aku hanya akan terus kembali
ke taman itu
menjadi penikmat, pemetik
abadi(*)

19 April 2009

hirup hamham

asa heubeul ngeukeupan impian
nepika ham-ham mondok moek
: naha urang teh ditakdirkeun
katideresa salawasna?

guling gasahan
basa peuting ngadeukeutan ahir
isukan, tanwande sarua bae
: iraha urang bisa tinekanan?

teu sosoranganan
nu sanasib ngampar sapanjang jalan
sapanjang sisi walungan
sadedet gang gang bau cikolomberan
hate-hate nu hengker
dilelepkeun nasib
beungeut beungeut sepa
sinarna dirobeda kanalangsa(*)

Balitungan

: keur wakil rahayat

pesen keur anjeun:
tong loba seuri
siap-siap ngabangingik

ilikan, buuk geus renung huis
sarangenge mimiti lingsir
nembrakkeun panah panah
katugenah
dosa nu kungsi dikurebkeun
di unggal pengkolan
silih genti narembongan
menta balitungan
anjeun bakal kasedek ka biwir jungrang
taya jalan nyamuni
lengkah kenca-katuhu antukna sarua bae
nganteurkeun anjeun kalebuh
longsor kahirupan(*)

Bagaimana, Sayang?

bagaimana harus memaknai hari
saat gundah dan bahgia bergulat
begitu mesra
tak henti berebut ruang hatiku
yang tak lagi lapang

jarum jam seperti diputar lagi
adegan diulang-ulang
dari titik ke titik itu jua
apa beda hari ini dari kemarin
dapur, ruang tengah, mall
lalu kelelahan

mungkin waktu hanya berhasil memeta
pada sosok anak-anak kita
kian hari kian berbeda
makin serupa manusia dewasa:
membesarkan ego
haus sanjung puji

tapi waktu telah gagal
mengubahmu
kau masih merpati
mendekat menjauh, dengan manis
lalu mengulang-ulang
hal kecil itu
yang selalu membunuh sisa hariku

bagaimana mendefinisikan hari
bila harap terus berujung kecewa
tapi kejutan juga mengobarkan harapan baru
bagaimana, sayang?(*)

17 April 2009

Kita Berlomba

kita ingin melepas dahaga
lalu berlomba
melubangi kapal

kita ingin sentosa
lalu berlomba
mengunduli hutan

kita ingin bahagia
lalu berlomba
menjadi nabi

kita ingin sejahtera
lalu berlomba
menjadi politis(*)

Lelaki Berpengeras Suara

ia yang bersuara lantang
terus mengusik: pagi, siang, dan malam
di tenggorokannya seperti ada
pengerus suara
yang memaksa terus berteriak
merebut kesunyian sekelilingnya

pintar, tapi tidak juga
seperti penting, tapi apa iya

mungkin ia kehilangan timbangan
hingga tak bisa mengukur diri
yang penting untuknya:
hatinya senang
pihkanya menang

semua menyapa, semua memandang
entah karena hormat atau enggan(*)

Ia, Penyair Yang Membuat Front

: buat ss

ia macan yang garang
sekali terusik aumannya membahana
tak putus-putus

sangat pendendam ia
aneh bahwa penyair jadi pilihannya
bukankah jalan itu mengutamakan kehalusan hati?

ia memilih meminggir
atau dipinggirkan keadaan, entahlah
lalu menatap semua yang di pusat
sebagai musuh: harus diusik, harus dicabik
baginya hanya ada dua kubu
dirinya dan mereka
yang memilih menyebrang
siap dirajam katanya yang bercabe

ada yang keder
lalu memilih lari
tapi banyak yang tertawa
sambil geleng kepala: heran atau lucu oleh tingkahnya

ah, ia kau sungguh seniman yang berbeda(*)

15 April 2009

Kaka Menangis Menjerit

hari ini si kaka nangis. luar biasa tangisnya; menjerir-jerit, mengguling-guling di kasur. masalahnya sepele aku menghentikan aktivitas dia yang sudah kelamaan menyimak tayangan lagu2 di dvd.

o..o..o, aku pun takjub. 2,5 tahun dan ulahnya sudah seperti itu. akan jadi apa dia nantinya? ah, segera saja kekhawatiran itu kesingkirkan.

yang pasti aku sempat hampir leleh dan menyerah atas keinginan kerasnya. tak tega benar melihat tangisan seperti itu. tapi kupukir bila itu kulakukan, maka ia akan terus mengulang dan mengulang. akhirnya kukeraskan hati. ia nangis, ku tinggal mandi. kubiarkan neneknya yang menangani.

pelajaran hari ini, semoga kamu mengerti ka: tak semua keinginan kita bisa kessampaian. kedisiplinan kunci mencapai kesuksesan.(*)

Sang Pencuri

: HA

mari kukisahkan
seorang lelaki muda di ujung negeri
gemar mencuri
tapi malah dipuji

hasan, hasan
begitu orang mengelunya
kemudaannya memedarkan kedalaman

hasan, hasan
ia mencuri ide dari mana mana
lalu membawanya pulang
yang punya tak merasa kehilangan
ia gores poles curian itu
menjadi senandung:
lebih indah
lebih menyentuh

hasan, hasan (*)

Tidur

tidurmu taman mimpi: indah, sentosa
tak sadar diam-diam
Kemarin bersijingkat pergi
tinggalkan bayang-bayang
yang kian mengabur dalam benakmu
saat Esok mengusir mimpi
tidurmu abadi
saat Kemarin pergi
dan esok tua jua datang(*)

Taman Penyair

Meski sama memuja kata
taman ini memiliki
sosok yang rupa-rupa
bahkan tak ada dua yang serupa

ada yang seperti nabi
menorehkan dengan misi suci
hidup pun harus lurus
bahkan ia ciptakan
sederet janji untuk ditepati

ada yang berkarya dengan gemilang
tapi hatinya penuh api
ia membentuk kubu:
dirinya dan segala yang di pihak lain
tak segan ia mencaci
tak sungkan membenci
sekali menyebrang, musuh selamanya

ada juga yang menjadi mata air
karya mengalir tiada henti
sejam sekali, semenit sekali
hanya anaknya lantas merana
tak terurus tak ada yang baca

juga ada yang nemilih kedalaman
setiap kata adalah perenungan
seminggu satu karya sudah bagus untuknya

ada yang pandai mencuri
menyerap ide dengan ksatria
lalu menggores karya membelalakan mata

di sebrang laut seorang muda taruna
memiliki bekal lengkap
semangat tak pernah sirna
ratusan sudah ditorehkan
orang kian mengangkat topi

di pojokan sini
ada aku, mungkin dengan beberapa lain
menggores asa-asalan
benak terus disesaki keraguan:
sudahkah ini puisi?(*)

14 April 2009

Sajak Pelacur

akulah hamparan gersang tak berkesudahan
selalu tandus, mimpikan embun
oaseku mejelmu madu
persinggahan siapa saja

para lebah pengelana berbaris
setiap hari: bergantin menunggu giliran
mereka reguki inci demi inci tubuh ini
mereka sesapi halai demi helai kemudaan ini

semua leluasa
datang dengan serangai nafsu
lalu pergi dengan wajah kuyup

akulah padang gurun itu
kian hari, kian kehilangan semak harapan(*)

Dari film: Silk

perasaan yang bergejolak
dalam belaian tangannya yang halus dan ahli geisha itu
membawamu pikiranmu berkelana:
menunggang kuda melewati bebukitan bersalju
terombang-ambing disamudra lepas

asmara terlarang di sunyi pegunungan jepang
memelukmu bagai hantu
tak lepas-lepas,
bahkan saat kau kembali ke pelukan istri terkasih
matamu tak juga kuasa mengusir
bayang-bayang merangsang:
bidadari bermata bening
telanjang, hanya kepala di muka air

telur-telur sutra berharga selaksa
membawamu menyebrangi samudra luas dan mengancam
menuntunmu ke haribaan cintanya
cinta yang sunyi, tapi menggelora

tapi kau lantas melihat akhir pedih:
istri sekarat dan berlalu
bayang2 jauh itu tak lebih halusinasi
yang memainkan pikiran dan kerinduanmu

dan di taman itu, yang kau bangun bersama istrimu
kau termangu murung
keindahan yang dulu niscaya
tak tersisa barang secercah(*)

10 April 2009

GM Suatu Hari

angin meniu niup kian kencang
dari barat, timur, dan segala arah
ada yang keras, ada yang pedas
dan kau pun takjub
"bukankah yang terbaik sudah digoreskan,
dengan niat baik yang kental"

dunia pada akhirnya memang sebuah
keliaran yang tak mungkin ditaklukkan
manusia berharap, kenyataan kerap menikam
kau pun tahu itu, barangkali
hingga kau pilih menutup telinga
dan terus melangkah
menyusuri puncak berpemandangan lapang

tapi pada sosokmu
aku belajar, hari ini
bahwa tiada yang sempurna
tiada dewa menjelma manusia
di dunia ini(*)

08 April 2009

Fragmen: Cinta Melihat Hakikat

cinta akhirnya membuatmu jadi pemenang. melumerkan kekesalan dan rasa jengkel yang dulu pernah mebuncah. kau merasa serba ada. di dirimu ada segala kemampuan untuk menjadi paripurna: kecakapan, kemauan dan kecepatan belajar, ketelatenan. bukankah itu rumus menunju sukses?

tapi kau sempat kecewa, karena cinta. kau lihat sahabatmu yang mengesalkan: malas, tak berkemampuan, miskin. tapi ia akhirnya yang terpilih. oleh ia yang jadi rebutan, bunga komplek rebutan semua kumbang. alasannya kau bisa menduga: karena ia lebih tampan.

ah, itu yang membuatmu kecewa. dunia pada akhirnya diukur fisik. semua kedalaman jiwa itu diabaikan total.

tapi kau juga sempat meraba dada. jangan-jangan salah menarik simpul. sahabatmu tetpilih mungkin karena ia ditemukan cinta. lalu kau pun memilih tenggelam. dalam kesibukan-kesibukan tak bertepi. semua kau coba, kau susuri
segala kerja, segala peluang.

hingga kau temukan tempatmu. dan anak majikanmu yang semula acuh
akhirnya melihat kualitas kedalamanmu. ia tak peduli pada rupamu
lalu kalian pun melangkah bahagia.

dan kau berkali meminta maaf pada Yang Atas. kau kini bisa menyimpulkan: cinta akan melihat hakikat(*)

Buat Dede dan kaka

rasa berdosa tak henti memburu
tiap kutatap kalian: kekurangan-kekurangan itu
ah, sungguh aku tak sengaja
membuat kalian begitu
sebagai ayah aku mau
yang terbaik buat kalian
tapi mungkin sedikit
alfa dan keteledoran
telah membuat kalian begitu
dan akan mebuat kalian
merana sepanjang hidup
ah, maafkanlah nak...(*)

Diudag Rasa Dosa

aya nu sumeleket
tiap kali ingat anjeun
nu teu walakaya
meureun itu rasa dosa

aya papaler
yen diri geus migawe
nu kudu dipigawe
tapi jauh jeroeun dada
aya pananya
nu teu anggeus-anggeus: naha bakti geus cukup?

rasa rumasa beuki kandel
mun inget baheula
basa anjeun bebeakan
keur ngahuapan kuring
kiwari kuring geus manjing
naha bet semua apilaian?

"ah, teu kitu
teu rumasa apilain
da lengkah kapan kacandet
rupa-rupa halangan"

panghibur diri nu butki
teu bisa mateni
rasa nu terus sumeleket
tiap inget ka anjeun
nu ngajoprak taya kawasa
ah...(*)

07 April 2009

Kesimpulan

sudah pasti kini
aku kembali di luar
di dalam orang melingkar,
mederas tuntas
aku terus meneriakkan hasrat
dalam hati
: terasing bukan karena bakat,
semata tak miliki keberanian(*)

Fragmen: Kedalaman Tak Terselami

sebuah pengakuan di jalan setapak. Pada obrolan dari tiga lelaki beranjak tua.
- ia begitu muda, begitu berbakat, bergitu hebat
+ ya, tapi aku melihat hal yang lebih aneh
- o, apa itu?
+ tuan muda kita. usianya belum 30 tapi lihatlah ia
saat melatih remaja berbakat kita.
selalu mampu menekan, selalu melihat celah, selalu melihat jalan
orang pertama terdiam. seperti merenungkan kata orang kedua.
= kukira itu betul. guru muda yang bisa mengasah remaja berbakat
hingga mengguncang jagad, sudah pasti luar biasa
irang pertama manggut-manggut.
langkah mereka terus mengayun menuju pergurun awan, tempat mereka sehari-hari bersemayam.
itulah perkumpulan baru. menyatukan orang-orang yang terusir atau kecewa. membentuk sebuah paguyuban silat yang kemudian menjelma jadi sebuah perkumpulan yang disegani.
diketuai seorang tua bijak berilmu tinggi. sedang wakilnya, sang menantu yang baru 27 tahun dan kain hari kian jelas bahwa ia memiliki kedalaman ilmu dan pengetahuan yang sangat sulit diukur.
ini tentang cerita pendekar tanpa tanding yang belum disadari dunia persilatan.(*)

Harap Membocah

harap yang membocah
menjerit menarik-narik
ingin lepas dari pegangan
mereguk fatamorgana
seolah niscaya
tapi kesadaran itu masih ada,
mengeratkan pegangan
mengerem langkah menunju lubang(*)

05 April 2009

Jelang Pemilu

janji yang diulang ulang
dan terus dingkari
semusim sekali
kita dibuat muak

kebebalan mereka
rakus merebutnya dari kita
hingga tak tersisa lagi
keyakinan itu
harapan itu
lalu putih terhampar dimana mana(*)

Hayal Hari ini

di depan layar kaca
udara mendadak direngkuh kabut
lalu setitik cahaya menjelma pusaran
membawaku jauh ke sana

hari ini menjelma pendekar muda
di negeri berjalan pedang
kukuh ditempa keadaan
masa depan cerah membentang
pada sebuah partai besar

petualangan
kedigjayaan
kepahlawanan
silih berganti mendatangi
jalan mudah, jalan sulit
jalan remang-remang
memnyodorkan nasib terang:
esok yang kian gilang gemilang

o, hidup yang menantang
di dalam sana
semua sempurna
sang pendekar selalu di depan
atasi masalah dan cobaan
dengan cerdik bermartabat

tapi ah lihatlah itu
kian lama cerita terangkai
kian datar dan hambar
hidup yang nyata
justru lebih menantang
karena kejutan-kejutan yang mencegatnya

hayal seperti ini
mungkin benar
kata cerdik pandai itu
hanya jalan lari
dari kenyataan pahit dan kecewa
ah....(*)

Indonesia

di negeri ini
lembar koran
berulang setiap hari
korupsi
perampokan
pembunuhan
aborsi

di tanah ini
hutan digunduli
danau diuruki
harapan disudahi
setiap hari

di sini
apatisme diternakkan
dirabuki kerakusan para petinggi

di bumi ini
akhir terasa begitu dekat(*)

Dan Begitulah

akhirnya begitulah
aku hanya tertawa
haru biru di dalam dada
kutumpahkan dalam ha ha ha....
kau selalu saja begitu
memberi kata kejutan
di tempat yang tak elegan:
di sadel butut, di laju keramian jalan
tapi ya begitulah engkau
seribu kali dinasihati
selalu kembali dan kembali lagi
maka aku pun tesenyum saja
biar kau bingung menebak nebak
padahal hatiku menghitung waktu: satu, dua, tiga
dan rasa tak lama lagi akhir itu kan tiba

pada ujungnya begitulah
jarak kian terasa antara kita
juga gamang juga ego
sempat aku tak peduli bila ini jadi akhir
kecuali terselip rasa kasihan buat dua yang terkasih
sempat pula kuurai kemungkinan lain: mengalah demi keutuhan
tapi semua hanya berputar, menjadi labirin
tanpa akhir yang pasti

pada akhirnya begitulah
kubiarkan mengambang
soal rumah atau apapun juga
akan selalu mengganggu kita
kembali dan kembali lagi
ku putusakan melangkah saja
mencoba melipat-lipat kesal
dan menyusunnya dalam lemari hati
sambil sabat menunggu esok seperti apa
sambil menanti kejutan lainnya
dari engkau

dan begitulah
aku tak akan terkejut
tak akan ada kecewa berlipatan
bahkan yang terburuk sudah pernah kuangankan
satu yang sudah pasti:
apapun antara kita
ku kan terus melangkah pasti(*)

03 April 2009

Setelah Lama di Jakarta

kulihat seorang bocah lusuh melolong
di bawah deras hujan di depan mall
seorang lelaki berpayung di sampingnya
berusaha menarik-narik tangannya
sempat kuhentikan langkahku
dan cetus itu langsung
mengusik hati:
"jangan-jangan ini penculikan
untuk dijadikan anak jalanan"

kusua seorang pria setengah baya
menyapa dengan manis budi
sangat akrab serasa sahabat lama
aku membalasnya dengan ragu
syak itu menyelip mengganggu
"jangan-jangan ia pura-pura baik
karena ada maunya?"

dalam penantian mengesalkan
di hadapan birokrasi
kulihat silih berganti tamu elegan
bertas besar datangi kepala bagian
curiga pun menyapa
"mungkin tas itu berisi amplop
sogokan untuk melicinkan proyek"

seorang tetanggaku mendadak sentosa
membangun rumah seperti tak peduli biaya
aku pun menjawil istri
"paling ia korupsi.
mana mungkin seorang pegawai negeri bisa begitu?"

setelah bertahun di kota ini
hari berganti, syak wasangka justru menjadi-jadi(*)

01 April 2009

Aku Kesal, Kau Heran

selalu dan selalu berulang: kesal yang pekat merampas semua hasrat dan keceriaan hingga hari pun berawal dan berakhir dengan murung

selalu juga serupa sebabnya: kau beri kabar, seolah biasa saja, bahwa ini hari buah hati kita harus kembali pergi mengungsi karena tiada yang menjaganya sementara kau dan aku sibuk kerja

kau selalu anggap biasa: menitip mereka pada kerabat dekat yang sudah terbukti telaten dan bisa membuat mereka terus tertawa apalagi kau pun dulu nyaman sentosa di tempat sama

kaupun selalu merasa takjub: apa pasal yang buat aku kesal dan menghancurkan hari dengan cemberut dan umbar amarah, toh banyak yang lain juga melakukannya

aku juga kerap heran: tapi aku tak bisa menghentikannya rasa itu terus saja datang dan datang mungkin karena ku tahu mereka telah hampir gagal membesarkan anak idaman, anak mereka sendiri
atau juga karena aku terlalu sayang dan khawatir pada anak2ku lantara aku sudah sering merasa betapa sakitnya melihat mereka sakit atau menderita....(*)

31 Maret 2009

Moal Aya Katumbiri

meureun moal aya katumbiri
ukur hujan nu malidkeun cimata
na tungtung poe
basa urang teteg: ngelengkah jalan sewang-sewangan

asih urang kungsi nyanding
na taman penuh warna endah
hanjakal teu lana
laas ditincak waktu
nu kawasa misahkeun urang
nu beuki peuteukeuh
na ego masing-masing(*)

Angan Sepanjang Jalan

diayun lamunan sepanjang jalan
saat menyelinap di tengah kemacetan
beranekarupa:
umumnya perihal hidup
yang lebih indah
lebih berjaya
lebih bergaya
di dalamnya kubisa bersaling rupa
jadi segala
pahlawan perkasa
pecinta romantis
pembunus sadis
penganut yang tawadlu
jarak terbentang tak terasa sudah
habis disesaki angan
indah membuai tapi segera saja usai
ketika tujuan tlah sampai
lalu aku pun kembali
menjadi asli: serba kurang, serba keluh(*)

30 Maret 2009

Dunia Apa

tangis tangis tak lagi tularkan kesedihan
tawa tak sodorkan ceria
bahkan maut, semata deretan angka
layar kaca, uhhh...
terus saja ia mengulang-ulang semua
setiap menit, sepanjang detik
membuat hati bebal
bikin nurani kebal
atau bosan
kita pun sentosa
menyimak tayangan bencana
di tengah suap suap nikmat
kita bahkan sempat tertawa
karena dengar celetukan sesiapa
saat jenazah terus diangkut
dari reruntuhan nestapa itu
ah, dunia apakah ini?(*)

Kutanam Benih

ku tanam setiap saat
benih-benih itu:
baik dan buruk bercampur aduk
aku pun pulas,
mimpi semua akan berujung sempurna
tapi datanglah hari itu
saat semua kelabu
biji buruk berkecambah
menjelma pepohonan raksasa
menelan semua sinar harapan
aku lantas mengeluh
salahkah sesiapa
lupa sudah persemaian dulu(*)

29 Maret 2009

Tragedi Gintung

cai nu rohaka
subuh subuh ngebadehkeun cimata
basa bendungan rungkad
nyebarkeun sasalad

gintung
saha nu ngabade
situ asri, taman tumaninah
tanpa ilapat
ngirimkeun caah rongkah
ngipuk kapeurih
cimata getih

meureun pepeling
supaya urang tetep eling
hirup teh bisa gancang anggeusan
boa sukan boa iraha(*)

Yang Terhanyut Bandang Situ Gintung

pagi buta yang mendadak bah
membuat dada terengah-engah sesak
air keruh air lumpur
berlomba menyerbu paru paru
gulita semesta, gelap semata mata
jerit dan keluh
bersahutan berpindah pindah
seperti ikuti arus ganas dan cepat

o, apakah ini?
mengapa tiada pertanda yang tiba
semalam saat kami ceria di meja makan
saling melempar banyolan
dan berkali-kali bersulang untuk keberhasilan

o, apakah ini?
lumpuh segenap indraku
gapai gapai yang percuma
teriakan yang tak bersuara
nyeri jalari sekujur kulit
mautkah? atau kimat?
hitam, semua menjadi hitam(*)

Gintung

berita dari lembah
datang pagi buta
tiba-tiba bah
tiba-tiba darah
tiba-tiba tiada
tiba-tiba duka
tiba-tiba luka
tiba-tiba

gintung
gintung
situ sentosa dalam angan angan
situ nestapa dalam pandangan
dinding yang runtuh
mengirim kan air mata
membanjir
iringi tubuh tubuh luka
darah darah leleh
nyawa nyawa terbang
hati hati ngungun

gintung
gintung
alangkah singkatnya kehidupan
alangkah tak terduganya(*)

Boa

meureun hate nu kingkin ku kasimpe
boa angen-angen nu terus dirobeda panasaran
ngabeungkeut carita urang: lugay di senayan

dina amparan jukut hejo, dina iuh-iuh tatangkalan sisi jalan
aya rasa nu sirungan
kasiraman mindengna paduduan
kagemukan leukeunna silih udar kahanjakal

tapi kapan jalan teh tarahal
bongan rasa urang tumuwuh di tempat terlarang
kuring geus aya nu boga, anjeun oge sarua
ah....(*)

24 Maret 2009

Ah..

mungkin cinta hanya sepercik racun
menodai hati hingga terus sibuk berkelahi
melawan ego yang terluka
lihatlah malam ini
tergolek sendiri aku
berguling ke kanan-kiri
resah itu membuat mata nyalang
tadi sore kau memilih pergi tanpa permisi
aku terlalu mengekangmu? ah...(*)

Aku dan Si Kembarku

kalianlah rembulan dan mentari yang terus terangi hatiku an jadikanku sempurna: di pagi yang hangat saat kalian merengek rengek minta dimanja, pada siang yang riang kalian menarik-narik minta permainan peran itu terus diulang ulang, saat sore ketika begitu banyak yang kalian mau, atau kala malam saat bangunmu berhias tangis dan pipis.

kalian mulai mewujud watak yang mencemaskan: berlomba membesarkan ego, berkeras tak mau dibujuk bujuk, atau terus ucapkan kata kata buruk. Tapi aku tetap sayang kalian sepenuh penuhnya. dan akan tetap begitu bahkan bila kalian menjadi lebih buruk lagi.

aku kerap ingin menjelma payung, atau rumah, yang selalu lindungi kalian dari panas dingin dan terpaan segala buruk. aku bahkan tak peduli disebut terlalu protektif. aku siap menjadi buruk dan dicela sesiapa asal yakin telah memberi kebaikan utama buat kalian.

aku tak sempurna dan tak mampu memberi yang sempurna. kadang bahkan gundah bersimaharaja manakala kulukis masa depan kita di dalam angan. tapi aku akan selalu berusaha sebisa bisa. dan gulana itu justru akan memahatku menjadi karang yang kian teguh menghadapi terpa gelombang yang tak sudah sudah.

aku hanyalah seorang ayah yang tak tahu apa jadinya tanpa kalian.(*)

23 Maret 2009

Buat Putri Kembarku

aku pun menjadi bocah
bersorak riang di pagi yang rintik dan sore yang bersahbat
rayuan kalian membuatku terbujuk
melupakan usia:
bermain kemah kemahan
jadi nelayan yang tak lelah berburu ikan
petani yang berseri memanen jagung yang sangat kalian gemari
atau jadi pendongeng bijak yang tahu segala jawaban atas tanya tak berkesudahan

kalian kuasa membuat hatiku menjelma salju
lembut tanpa rasa murka
selalu setia membujuk bujuk meski serasa sudah ingin marah-membentak
tak jua lelah mencari jalan membuat kalian tertawa
agar pasrah saat diarah

aku pun menjadi sempurna
penuh bahagia
saat menyusri waktu
bersama kalian: putri kembarku!(*)

Prasangka Yang Selalu Mengganggu Karena Bayangmu yang Terus Erat mengikuti Langkahku

akulah pengelana yang tak lelah menjengkali-mendepai jalanan berdebu bermandi asap kenalpot di pagi dan sore hari saat sejuk dan suntuk terus mengharu biru dan lidah kelu kehabisan kata untuk mengusir bayangan indah yang terus melintas-lintas

kaulah itu yang melenggang menggoda melambai mengundang dari jauh meniup-niupkan rindu pada hati yang terus diguris resah oleh beribu masalah yang tak juga terusir basah hujan dan lantunan ayat ayat tuhan

kaulah itu keindahan kedamaian yang sentosa selalu lekat dalam ingatana mengikuti kemana ku pergi memeluk erat rasa menimbulkan syak wasangka tentang hidupku kini bila tetap menancapkan kaki di tanahmu yang tak subur juga

bayangan yang berpedaran kadang indah kadang tidak tapi tetap menyimpan seribu misteri yang selalu menghadirkan gelisah: bila aku tetap di pelukanmu akankah lebih sentosa?(*)

Dangding Katineung (revisi)

Keur: L

asa hayang nganggit dangding
keur salira duka dimana
seja mipit katineung
tina buruan sakola, rohangan kelas,
jeung sisi walungan tenang herang
tapak tapak urang baheula

harita urang cangcaya
naha cinta atawa era
mun dipoyok jebul nyeuneu
meureun pedah bau jaringao
mindeng inget, tapi milih malipir
inggis jonghok sieun bingung

basa umur nambahan
ngaran anjeun jadi hariring
salawasna ngageterkeun dada
tiap disebut: samar polah, samar rampa

waktu jeung ruang
akhirna nyontang duriat urang
tapi teu rek baha
kiwari masih kaipuk harepan
hayang bisa tepang sono
urang jonghok:
ngadadar endah panineungan
ngagulkeun bati sewang sewangan
anjeun tilu budak, kuring geus dua(*)

22 Maret 2009

Buat Si Kembar

pada bus pengap
yang meruap ruapkan
segala bau mengusik hidung
aku justru sempurna
menjemput keindahan dari dalam ingatan
hari-hari indah penuh tertawa
aku menggoda, kalian menjerit manja
aku cerita, kalian terpesona
aku bahagia, kalian sentosa
setiap pagi, setiap hari
kita berbagi segala
di sini,
pada siang suntuk berdesakdesakan
saat mobil tua merambati panas terik
aku kian merasa
betapa sempurna hari
bila kalian di sisiku
ah, permata kembarku!(*)

Akulah Itu

mungkin akulah dinding
batu menjulang di lembah luas
selalu memeluk sunyi
kecuali ada suara suara
datang mengetuk
maka kugaungkan dengan serba lebih

mungkin aku adalah gong
terdiam di sudut
atau termangu mangu menjadi penonton
saat ditabuh
barulah gema itu
mengatasi segala

mungkin akulah muka danau itu
tenang dalam keruh atau biru
baru bergelombang
saat diusik lemparan-ceburan

mungkin aku semua itu
dan harus lebih seksama
menyerap segala
lalu menirukannya sebisa bisa(*)

Puisi Tak jadi

keberanian itu kuncup
segera setelah hari beranjak
puisi puisi itu terus mengalir
mewarna dunia:
dengan indah, gundah, pedih, dan tawa
juga teriak dan bisikan
sedang aku masih melapalnya
dalam hati
pelan, nyaris bisikan
ada ketakutan yang bolak balik datang
menahan tarian tangan di atas hurup hurup
menginjak keyakinan yang kian kuncup
kadang pula angan angan
menarikan dendang indah dalam kesendirian
di sana semua bahagia, semua sempurna
tapi ia lantas sirna
begitu mata terbuka
dunia nyata sungguh berbeda
ah, aku ini
hanyalah puisi
yang tak pernah jadi(*)

Antara Parigi-Tasik

pameunteu bulan
sorot soca talaga
basa imut
embreh taman endah warna warni

basajan, andalemi
tarapti, teu antipati
beubeulahan ati nu lila disungsi
nembrak na korsi gigireun

tapi di terminal
ukur silih bales lieuk
kapan hate kuring
geus manten
boga carita lian(*)

Dari Film Dooms Day

misteri deras berkeliaran
lewat celah celah pemahaman
saat nestapa dipagari
tembok tak tertembusi
ia menjelma kejutan:
wabah melentik di depan mata

dari balik tembok
sulur sulur tumbuh tak terduga:
yang divonis habis
menjelma peradaban kokoh

kita hanyalah manusia
lemah
berhasrat
tak pernah bisa kendalikan segala. (*)

17 Maret 2009

Sore Usai Melayat

bertujuh diayun kantuk
melaju pesat membelah jalan sempit bekasi
berliuk-liuk terantuk-antuk
lalu tol dan obrolan
kian deras berpindah, bolak-balik
tentang kerja yang tak menekan
rumah yang didambakan
atau segala omong kosong lain
hujan pun turun deras
dengan matahari masih menyengat
"ada perawan hamil," kata kawan
"emang masih ada bunda maria," sergah teman wanita
lalu cerita beralih pada ruang ruang
jakarta yang harus disiasati
terlupa sudah
kawan yang baru ditinggalkan
hatinya gulana
ditinggal ibu yang sepuh(*)

Pamulang

bila kau datang ke sana
danau danau keruh akan menyambutmu
membisikkan nyanyian gundah
peradaban membuat mereka sekarat

akan kau sua pula mall besar
megah dan ramai
senotasa semata,
tak lagi sisakan cerita:
pembangunan yang terus tersendat
karena halaman yang merebut muka situ
entah mengendap di laci
birokrat mana kasusnya itu

inilah kisah kota pinggiran
yang sukses membangun pusatnya sendiri
jalanan ramai
penghuni cepat bertambah
rumah dan toko bertumbuhan
mungkin tifikal negeri ini:
semua berkembang tanpa arahan, tak peduli aturan

konsumsi ramai sekali di sini
penjaja menemukan surganya
anak anak temukan semua
yang diiklankan televisi

jika kau datang ke sana
hiruk pikuk akan menyambutmu
nikmati saja semua
karna esok pemandangannya belum tentu sama
kota ini bergerak secepat kilat(*)

16 Maret 2009

Para Pengintip Masa Depan

bahagiakah para pengintip masa depan?
film doa yang mengancam menjawab: hanya penderitaan
buku samurai mengurai: berujung kegilaan atau kematian

masuk akal. ibarat menonton tv, seorang pengintip tidaklah bisa ikut serta. hanya merasa dari kejauhan: gembira atau berduka. tak bisa ia mengulur tangan untuk mengubah perutungan. tahu bahwa masa depan akan buruk, tak bisa berbuat apa apa untuk mengubahnya, akan membuat beban makin menumpuk. hidup menjadi semakin suntuk karena tahu derita sudah menanti di ujung.

dalam samurai, pengintip itu bahkan menjadi gila karena aliran gambar yang tak bisa dimengerti. ia menangkap masa depan yang terlalu jauh dan terasa tak mengakar. ia membantau segenap keluarga karena melihat duka menunggu mereka di depan sana. tapi buku itu juga bercerita tentang lelaki yang lain: gagah menjalani masa depan yang sudah terbaca. Buruk dan pahit dia kecap dengan hati tetap. ia pun menjemput kematian dengan anggun.

dalam film doa: idenya juga sama. gaya bercerita sudah lumayan maju dibandingkan sinetron. tapi terasa masih kasar dan di sana sini menghianati nalar. madrim sejatinya mungkin dikedepankan untuk mengolok diri sendiri: kita manusia yang ingin serba lebih. nyatanya kelebihan itu tidak membahagiakan dan madrim pun berharap kembali pada awal yang dia keluhkan sangat membuat ia tak kuat.

untuk apakah kita butuh pembaca nasib? hidup lebih berarti karena ia menyajikan misteri. kita giat menjalaninya karena tahu ada kemungkinan kita mendapat yang bagus di depan sana. kalau sejak awal kita tahu akan gagal: bukankah kita hanya akan memperpanjang derita saja.(*)

Kaya-Miskin

yang kaya makin perkasa
yang miskin kian papa

di pinggir kali dan gang semput
ada yang memendam tangis dan mengumbar keluh
ada pula yang tertawa
menghayati sisi bahagia tak punya sesuatu apa
"setidakya kita tak pernah khawatir kehilangan"
"kita juga lebih paham arti persahabatan dan kemanusiaan"

di gedung megah dan mobil mewah
sebuah hari diakhiri tekad: esok harus bisa meraih lebih
janji juga dikirimkan: mari bermain golf atau
cari permainan baru yang lebih menantang
agar enyah lelah yang tak pernah sudah
dan hati yang selamanya resah

pengusaha kecil tetap miskin
kurang modal dan tak pernah bersua keberuntungan
pengusaha besar kian tangguh
mengolah waktu meraup gunung
di antara keduanya
ada birokrat: menjadi kaya dengan menyunat uang rakyat(*)

15 Maret 2009

Pencuri (dari Thick as Thieves)

semua terlahir untuk sesuatu
kau pun merasa begitu
takdir itu terus memanggilmu:
menjadi pencuri

cerdik, teliti, selicin oli
kebohongan nan berlapis lapis
tujuanmu hanya satu: kemenangan
semua semata alat
untuk mengantarmu sampai ke ujung

di layar itu kau jadi pemenang
tapi benarkah?
lalu kemana kisah sepi itu
yang memelukmu saat terus berlari
hingga mati(*)

Kaasih Urang

pinuh warna
najan lain katumbiri
cinta urang
kakapeungan nambah-ngurangan

kabungah mindeng kacandet kuciwa
tapi kahanjelu
oge tara kateterusan

sakapeung kasedek ambek
sagala asa geus meh pungkasan
tapi basa pada sadrah
dunya asa moal bakal lekasan

lir momobilan ka pagunungan:
luak-leok, naek-turun
kaasih urang nandang tarahal kahirupan
beuki asak, beuki nambah, beuki endah(*)

Sopir Angkot

wajah wajah es
bertebaran sepanjang jalan
tanpa riak menahan serbuan
pelototan, cacian, juga bentakan

wajah wajah tanpa harapan
mulutnya menyembur berapi
membakar semua di sekelilingnya

wajah wajah tanpa hati
tak malu, tak sungkan, tak peduli

kesulitankah yang merampas tatakrama mereka?
atau pembiaran(*)

Seorang Penjual Rokok Pada Istrinya

dik, usah minta banyak
mintalah satu yang paling berharga
milikku: cinta yang sederhana

jangan silau
harta berlimpah
hanya akan membuat
kian dahaga
tak bahagia
dan membawa cinta yang makin berjarak

mari kita nikmati cinta ini
tanpa terpalingkan oleh hal lain
yang memang tak kita miliki(*)

13 Maret 2009

Aku di Tengah Manusia

ialah lelaki dengan pengeras suara di lehernya
menggelegar: pagi hingga senyap malam
tiada hati, tak bertenggang
kurasa ia serupa bata
penyusun tiang penyangga
bangunan megah bergelimang pelicin dan suap
semua enggan, bukan segan

ia, yang di depannya, justru sunyi
seperti mati
akrab bila disapa
tapi menjaga jarak dari segala

di tengah tengah ada satu lagi
dengan dunia di rumah dan entah dimana
tak pernah ada di gang itu
hanya bila pergi dan pulang kerja saja
dulu katanya ia sering bercengkrama di ujung gang hingga dinihari

di kanan ada sederhana
sepasang yang merindu buah hati
di depannya ada sepasang lain
selalu merindu yang didapat orang

aku di antara mereka
sendiri tanpa pijakan
memeluk sombong dan antipati(*)

11 Maret 2009

Kota yang Sepi

kota yang riuh terus susupkan sepi
ke dalam hati
yang ngangakan luka dan sesal

bunyian mesin, jerit manusia
menjelam simponi lirih
mengiring tetesan hujan
air mata di ladang tandus

gemerlap cahaya, pendar lampu
mengirimkan kabut
ke lereng perasaan: ngungun

ke setiap sudut mata mengarah
selalu muncul kelebatmu
tersenyum, lemparkan tatapan menuding
setajam belati
menggarmi luka dan sesal

bayangmu kian menajam
justru ketika waktu kian beranjak
seperti baru kemarin
kau memilih akhiri semua
di ujung kecewa menggunung
"silau dunia telah palingkanmu
dari cinta,"
tulismu dengan darah
dan air mata penghabisan(*)

Kalangkang Kota

kota teu kendat ngipuk kasimpe
na hate nu gudawang diturihan jahanjakal
sora sora patembalan
patariktarik: motor, mobil, haok jalma
jadi balati nurihkeun jepling
jeroeun ati: sepi mamring
lampu lampu hurung mancur ngusir pepedut
ngadon mondok jeroeun dada: baluweng
kamana suku ngalengkah
kalangkang anjeun terus narembongan
dina pasemon nganaha naha
beuki lila beuki atra
lir ngelipet waktu nu geus ngajawul jauh
ti saprak anjeun perlaya
na tungtung kuciwa
basa cinta kasilih serab dunya(*)

Balik Deui ka Taman Eta

seungit kembang nyambuang
maledogkeun pikiran
ka mangsa katukang
girimis nu ipis
rancucud handapeun caringin
silih rames ramo
ngusir tiris nu nyaliara
harita kencan urang nu katilu
dua bulan saprak jonghok mimiti
ahirna jadi panungtungan
hubungan urang
: jungkrang lebar
hamo kalengkahan
urang beda jalan, lain kayakinan
omongan anjeun ngoncrang deui
basa suku ngalengkah
saparanparan ka sakuliah taman
anjeun nu tumetep na kayakinan
kiwari geus taya dikieuna
nyambut elmaut di jalan jihad(*)

10 Maret 2009

Ciawi

ampir tasik
beus diganggayong pengkolan tanpa tungtung
luak-leok, nanjak-mudun
jandela jadi figura: lukisan sawarga

pikiran laluncatan
mapay galengan sawah hejo lendo
malipir gulidag kamalir
ngudag ngudag hariring nu nitih angin
gelik suling jentreng kacapi
tembang alam pasundan
sumeleket jeroeun dada

ampir tasik
angen angen heubeul kahudang deui:
boa bagja hirup di desa(*)

09 Maret 2009

Dibandang Gundah

dan aku menjadi peri. tongkat di tangan sungguh ajaib. menyebarkan mantra, mengubah segala. tapi ia tak kuasa mengusir gundah dalam hatiku.

aku lantas menjadi elang. perkasa meraja angkasa. sekali tatap semua tercekam. tunduk patuh. tapi tetap saja, ku tak bisa mengusir sepi nan kian mencengkram. kau tak lagi serupa impian.

aku pun menjadi air. luas, tenang: menerima segala dengan lapang. menjadi tempat mengadu, pelepas beban yang menindih bahu. ah, tapi tetap tak cukup lapang untuk menerima kenyataann: aku kian pasti akan kehilanganmu.

aku akhirnya menjadi aku. termangu diamuk bandang sesak: gundah, kecewa, sesal. lalu segala menjadi sunyi, dingin, dan mati. sangat mati.(*)

Asmara Bimbang

hareupeun panto: mandeg mayong
basa anjeun maledogkeun imut
pikiran ngacacang
lunta kamana boa
ah, meureun lindeuk japati

kalan kalan asa endah
mega bodas ngeplak na angen angen
jadi katumbiri: tempat ngalengkah silih puntangan
tapi mindeng kulawu
mega ngumpul jadi ceudeum
kilat jeung beledeg asa dina jajalaneun

soalna meureun rasa
nu lebeng teu kateuleuman
kaheman mekar dipatamanan
tapi lebah gapura aya pananya nganti jawaban:
naha anjeun teh enya pinasti kuring?(*)

06 Maret 2009

Ciawi

hampir tasik
bis digoyang belokan tak berkesudahan
hayalan berloncatan
ke pematang indah bertumpukan
ikuti irama lambai dedaunan padi
lantas berlari
mencari senandung kian nyaring: irama kecapi suling
ataukah hanya gema dalam hatiku?

awan biru, barisan bukit hijau
memanggil manggil dari balik jendela
mengundang harapan lama: hidup di desa, alangkah sentosa(*)

Angin Nu Ngipuk Rasa

angin rintih tengah poe
ngipukeun binih endah
jeroen dada: cinta terlarang!
aduh, na timana jolna
meureun sepi, boa honcewang
pedah nunggeulis diudag umur

waktu sigana jadi lantaran
meungkeut urang beuki deukeut
amprok saban poe:
stadion, lapangan badminton, kolam renang
meureun di dinya rasa teh tumuwuh
atawa dina liuh tatangkalan
tempat urang silih poyok, silih eledan

rasa disidem: teu wani balaka
pan anjeun geus aya nu boga
cinta siga kieu geus kabade tungtungna

tapi kasadaran teh musna
basa suku nincak tanah sebrang
angin nu nyebarkeun ambeu walungan purba
mere kawani: blakblakan lewat tulisan

jajaten neumbrag tembok
hate anjeun geus taya lolongkrang
"mending babarayaan
siga nu datang samemehna."(*)

Mabuk Puisi

Segalanya datang tiba-tiba. Mungkin sejak tiga bulan lalu. Aku tiba-tiba mabuk puisi: terus mencarinya setiap hari. Mencari bukunya di perpustakaan kantor, bahkan membeli beberapa.

Ada apa ini? Aku sendiri merasa heran. Dulu kuanggap puisi hanya sesuatu dari alam lain, sesuatu yang tak gampang dimengerti. Kala itu aku tak punya hasrat untuk menyibukan diri menelaah atau menikmatinya. Perhatian saat itu lebih banyak pada fiksi: cerpen atau novel.

Kini keadaanya justru terbalik. Cerpen kayaknya sudah makin aku tinggalkan. Di sela kesibukan susah sekali memaksa diri mengikuti cerpen yang kadang tidak pendek. Bila tidak benar-benar unik biasanya aku hanya membaca awal dan akhirnya. Kalau novel hingga kini aku masih rajim meminjamnya.

Dalam kesibukan yang kian menekan, puisi memang menjadi pilihan masuk akal. Ketertarikanku juga mungkin didorong sebab lain: hasrat memacu diri menjadi penulis lebih baik. Puisi kuanggap menjadi latihan cerdas menuju ke arah itu.

Sayang sejauh ini aku baru sebatas suka. Untuk membuatnya, ku belum bisa. Membuat yang benar, maksudku. Kalau hanya sekedar puisi yang luru, tentu gampang saha. Tapi puisi yang bagus tampaknya lebih seperti ini: menyimpan maksud dan rasa di balik kata-kata indah mempesona. Itu yang aku belum bisa menciptanya.(*)

04 Maret 2009

Sunda nu Karunya

panggung geus lekasan
layar geus diturunkeun
urang palastra: ngapar ngababatang
bleg tegalan bubat

tatar pasundan masih loba jirim
ngaler ngidul
tapi teu nyesa sunda:
basa kasedek deungeun
budaya nyesa dina rak buku
jeung museum

lalakon kaburu tamat
basa sabaraha taun
urang milih api lain(*)

Azan

panggilan bening
tenggelam di keriuhan
tak lagi mendesirkan hati seperti dulu
hati termabuk semesta:
dipeluk selimut
diburu tenggat
dipagut sibuk
dirayu nafsu

kota dan dunia
menjadi racun yang mencuri tawadlu
diri menjelma batu
suluh suluh neraka(*)

Sarangenge Lugay di Surabaya

keur :D

anjeun imut, ipis
sarangenge rikat nguniang di lantey tilu
sadeupa ti monumen bambu runcing
ngirimkeun haneut, ngusapan dada
basa hujan ngetrokan jandela kaca

anjeun timpuh: jilbab bodas, raray cekas
panon seukeut ngodokan eusi dada
basa kuring maledogkeun gonjak

teu kabade: bet anjeun leah
pasosore ngajugjug bioskop
di tukanguen bale pemuda: paduduan, ratug tutunggulan
atawa ukur jero dada kuring?
buktina heuleut poe
anjeung nyodorkan peso
nurihan angen: abdi tos papacangan!

euh, teu pegat helok
naha kungsi aya sakotret cinta keur kuring
ngalanto na hate anjeun?(*)

Puisiku

banyak seperti bocah
menulis puisi seperti sedang berlajar mengeja
lurus, transfaran, tiada keindahan
hari ini akupun terkaget:
puisi seperti itu menjelma jadi buku
nama besar memang lebih sakti dari kualitas

banyak yang menulisnya seperti kabut
menyajikan misteri dari awal ke akhir
kalimat tak bertautan
kata kata menjanjikan kedalaman
amboi, banyak nian yang begini
penyair penyair besar dan baru mulai
mereka mungkin sudah mengerti
puisi yang sejati

aku memilih yang ditengah
sajak sajak bermakna terang, tapi indah
ada kelokan, banyak kejutan
tapi tak melupa yang termutlak:
gagasan harus terbaca jelas
perasaan harus segera tertular deras(*)

02 Maret 2009

Ingin Kutaklukkan Puisi

ingin kutaklukkan puisi
merebut makna yang tersamar samar
memahami maksud yang berkabutkan
keindahan

ingin kugagahi sajak
lalu memaksanya tinggal di kepala
sebelum mengalirkannya lewat jemari
kata per kata
setiap hari: tanpa henti, tanpa mati
selalu menawan hati

tapi ia sungguh liar
berontak, ingin selalu merdeka
ku hanya bisa menerka nerka
arti dan rasanya

menyuruhnya tinggal di kepala
terlebih sulit lagi
mengalirkannya lewat jemari
muskil sungguh
tergagap gagap: kata pun kehilangan jiwa
kadang terlalu terang, tanpa aura indah
kerap terlalu lurus, tiada kelok kejutan

tapi tetap
harap tak mau sudah
terus bermimpi indah(*)

Puisi Yang Hilang

terseret aku, makin dalam
ke danau kesunyian
tarian jemari merangkai kata kata
menjelma selokan, kanal, samudra: banjir informasi
setiap hari menyerbu serupa bah
membuat semua tergagap, hilang napas
baca, baca, baca
betulkan mereka membutuhkannya?
adakah yang menemukan sajakku yang tersesat?
tak ada jawaba, hanya gundah
mengantar jariku terus menari
memperhebat bandang
yang kian menghanyutkan segala
pikiranku(*)

Dangding Katineung

--keur: L

seja nganggit dangding
haturaneun salira
kiwari duka dimana

hayang ngotretkeun katineung
basa pada pada beureum beungeut
di sisi walungan tenang herang
digonjak batur ngaliwet

harita urang cangcaya
naha cinta atawa era
mun dipoyok jebul nyeuneu
maklum bau jaringao
mindeng inget, tapi milih malipir
nyingcetan pertemuan jeung salira

basa umur nambahan
mindengn muncul heran:
ngaran anjeun lir hariring
ngageterkeun eusi dada
tiap disebut: samar polah, samar rampa

waktu akhirna teu panuju
misahkeun duriat
urang pajauh, muru takdir sewang sewangan
tapi teu rek baha
nepi ka kiwari mindeng jebul harepan
hayang bisa tepang sono
jonghok: ngadadar endah panineungan
ngagulkeun bati sewang sewangan
anjeun tilu budak, kuring geus dua(*)

01 Maret 2009

Sadrah di Tungtung Peuting

peuting muru ka tungtung
jempling ngirimkeun sorasora ti kajauhan:
jangkrik, anjing, jeung manuk peuting
mirig hariring jero kalbu
panon mumul peureum
tapi bangbaluh geus ucul
kakarek bieu, sadrah datang nyaliara
hirup kapan ukur wawayangan
kunaon make rempan ditinggal anjeun?
pageto pasti aya deui mojang nu ngalanto
jung, jung, ari enya geus teteg mah
tong teuing mandeg mayong
bral, teangan lalaki nu cintana leuwih ti aing
mun teu manggihan
poma ulah datang deui bari balilihan(*)

Apa yang membuat mereka?

Sebut saja pertanyaan, atau boleh dianggap protes. karna di berbagai arena selalu saja ada orang2 begitu cemelang. meraih puncak dengan energi sekedarnya. yang lain, meski jungkir balik, bahkan dekat pun tidak. bagaimana bisa? apa yang membuatnya?

sepak bola banyak memilikinya. seniman-seniman tulen dengan bola di darahnya. setiap gerakan, setiap operan, setiap tujuan selalu saja berujung tepukan dan decakan kagum.

dunia ilmu tak berbeda. ada einstein yang brilian. banyak penemu yang ajaib. berlimpah pemikir yang luar biasa.

dunia sastra juga sama. angkatan lama dan baru selalu menghadirkan bakat menojol: para perangkai kata indah berbobot kehidupan. ia sepertinya tak perlu banyak membaca atau berusaha. hanya menuliskan ilham lalu jadilan sumber kekaguman.

bagaimana bisa? apa yang membuat mereka?
lalu tanya soal adil dan tidak muncul. ah jadi teringat petuah agama yang dikutip sang raja dangdut kita: kaya dan miskin dicipta Tuhan agar saling melengkapi.

tapi mengapa, oh mengapa, seseorang dipilih jadi kaya dan yang lain tidak. mengapa seseorang dipilih menjadi gudang bakat dan yang lain menjadi sosok berotak kosong?

aku penasaran, sungguh2 penasaran. karena miskin, tak berbobot, dan berotak kosong justru menajdi aku.(*)

27 Februari 2009

Panineungan Urang

LABUH rasa lebur cinta. dina galengan nyampay carita. tutundaan baheula: basa leungeun anjeung raket nangkeup cangkeng. pagegeye mapay sisi sawah. paguneman diselang ciwit-cikikik. dunya nu urang, pinuh warna katumbiri.

lebah tampian urang reureuh. cai entuk herang marahmay. suku ucang angge kukucibekan. panas ilang, rasa reureug nyaliara. ngadon silih paling deuleu baru teu kendat ngabaledogkeun imut.

ka lebah lalamping pasir urang silih rangkul taktak. ngadurenyomkeun pikahareupeun. soal rencana jumlah anak jeung bentuk imah.(*)

Hidup Ini

ASU!

Sajak Gurun

AKULAH padang gurun
tandus, rindui kasih sejati
oaseku menjadi madu
persinggahan lebah pengelana
mereka berbaris, menunggu giliran, setiap malam
datang dan pergi
berganti ganti
mereguk tubuhku inci demi inci
tinggalkan padang gersang
tanpa semak harapan(*)

Titeuleum dina Lamunan

hayang teuing melesat ka alak paul. sare na amparan mega. mipit bentang. siduru na haneutna sarangenge. taya kainggis, teu rempan ku isuk. hiber, bebas, leupas tina sakarung bangbaluh dunya.

"ah, lalamunan teu junun!" anjeun kucem. asa dicentok: naha iraha terakhir anjeung ngebrehkeun imut? asa geus likuran taun. baeud anjeun, mateni tengtrem urang.

langit, satungtung deuleu. kuduna kita hate urang. lega, bisa narima sagala: karudet, kasedih, komo rasa gumbira. tapi langit urang kiwari ceudeum haleungheum. kajembar dirobeda curiga, ditandasa kahayang teu tinekanan.(*)

Tasaro Menyihir lewat Samita

Kedewasaan tak ditentukan umur. Itu jelas benar bila kita mengamati kiprah para penulis muda. Mereka begitu produktif dan menggebu. Banyak, di usianya yang belum 30, sudah mampu melahirkan karya-karya bernas.

Kemarin baru kubaca salah satunya. Karya Tasaro (Taufik Saptoto Rohadi) yang baru berusia 29 tahun. Ia menulis cerita silat berlatar masa akhir kerajaan Majapahit. Samita: Bintang Berpijar di Langit Majapahit, buku itu, juga menyertakan tokoh silat dari Cina, Laksaman Cheng Ho dan murid-muridnya.

Membaca karya ini kita pun segera ingat Kho Ping Hoo dengan cerita silat-silatnya. Banyak kemiripan. termasuk dengan khotbah tentang esensi hidup yang banyak tersebar di dalamnya.

Buku ini menarik. Sebagai penggemar cerita silat, saya menyukainya. Membandingkan dengan tiga pengarang lain yang baru saya baca karyanya: Langit Kresna Hariadi (Serial Gajah Mada), Saini KM (Banyak Sumba), dan Gamal Komandoko (Sangrama Wijaya), Tasaro mampu menempati tempat lumaya.

Samita terasa masih di bawah Gajah Mada. Langit memang begitu piawai menghadirkan alur yang kaya dengan kejutan dan daya pikat. Bahanya juga mengalir lancar dan indah.

Tasaro kalau pun terpaut tidak jauh. Bukunya memiliki plot yang solid. Bahasanya enak. Kepiawaian dia meminjam idiom-idiom Cina dan pemahaman yang cukup terhadap budaya jawa dan Islam terasa menjadi nilai tambah.

Kekurangannya: dia masih kerap terlalu berpanjang-panjang, terkesan menggurui, dalam dialognya. Sehingga saya pun sempat terdorong melakukan lompatan-lompatan halaman karenanya.

Entah seperti apakah buku ini di pasarana. Menilik tahun terbitnya, 2004, dan tak banyak publikasi tentangnya, tampaknya tidak terlalu menggembirakan. Tapi bila anda rindu pada cerita silat, bukunya bisa jadi bahan pengobat yang lumayan.(*)

25 Februari 2009

Jogjaku

kota ini istimewa
semata karena orang menyebutnya begitu
itulah selalu perasaanku
di sana tak ada apa apa
kenangan pun nyaris pupus tuntas
tertinggal bayang bayang mengabur
wajah dan tempat tempat yang kembali menjadi asing
di pelukan kota itu
siang yang gerah
di isi ceramah yang tak cerdas
malam: hapalan, hapalan, hapalan
atau tersedot sihir layar kaca
seperti di bawah setangkup batok
menjadi katak buta dunia
tanggung, setengah setengah
ilmu tiada, asmara tuna
setelah beranjak
baru tersadar: alangkah banyak yang lepas
menerobos sela jari jari yang gagap mengepal
jogja...
bagiku: hanya senoktah kenangan muram(*)

Sanggrama Wijaya

hidup bagimu apakah?
masih belia kau sudah melihat semua
raja hebat, ayah dari istrimu, terbuta oleh puja puji
menjentik semut, menginjak cacing
lalu terkejut oleh hasilnya:
semut dan cacing menghunus badik
kerahkan wadya merebut tahta
satu kali ia bisa dibendung
tapi yang lain tak habis habis
bergelombang seperti bah
berlomba menebus sakit hati, merengkuh ambisi

hidup bagimua apakah?
saat matahari belum di ubun
kau sudah merasakan segala
menyimpan nurani di balik lekuk keris
tiada jalan tercela untuk merengkuh kejayaan
tipu muslihat

hidup bagimu apakah?
keledai saja tak jatuh dua kali
tapi kau mengulang jua langkah itu
cedera janji, meremehkan bakti, menjaga kursi
semut dan cacing kembali berbaris
menguskikmu: tiada lelah, tak sudah sudah

hidup bagimu apakah?(*)

Mendaki

setangkup gunung sekabut misteri
hutan perawan, ngarai tak berdasar
batu, akar, onak, duri,
menghalangi langkah kita, aku dan engkau

peluh dan keluh
tak surutkan langkah
hati kita kembara mendahului ke puncak
serasa sudah mengecapnya
pemandangan surga:
undakan sawah berseling sungai mengelok indah
tegalan dan semak-semak
tenunan pelangi sejuta warna

inilah hidup kita
mendaki menyiang misteri
beganti setiap hari:
kejutan, kebahagiaan
penderitaan, kesedihan
tak surutkan kita
terus menapak dibuai cumbuan puncak
kebahagiaan bersaput kabut(*)

Ngudag Mumunggang

ngarayap selengkah salengkah
ngajugjug mumunggang implengan
rumahuh: bangga jeung cape pohara
jungkrang jungkrang karempan
gawir gawir kagimir
ukur bisa mepende hate ku gambaran engke
neuteup dunya ti puncak pasir:
bubulak ngampar, sawah ngeplak
dipayungan langit biru beresih
bleg sawarga

enung, itu teh lalakon urang
mapay lamping pinuh kaseunggah
hirup nu teu kendat rumahuh
coba, gogoda, teu kendat kendat
tapi teu kudu mopo
suku urang terus lengkahkeun
na hate kotretkeun gambaran eta:
endahna mumunggang nu liuh
mumunggang urang, gunung impian(*)

24 Februari 2009

Karya

Karya serupa anak: berjiwa, memiliki nasibnya sendiri. Hadir dari sebuah proses, kadang panjang kerap pendek, ia tertuang dalam sebuah bingkai waktu. Ia tersimpan rapi atau mungkin tergeletak terbungkus lupa. Ketika kelak melihatnya lagi kita pun dibuat terheran-heran: betulkan aku melahirkannya?

Karya tak ada yang gagal. Yang terburuk pun akan mengandung banyak hal: inspirasi yang bisa digali lagi, potret yang menyimpan kenangan, atau sebuah titik dalam proses belajar melangkah belajar menjadi lebih baik.

Karya adalah buah dari perjuangan. Kita berkeringat, malawan malas, dan kerap berkali-kali gagal mewujudkannya. Ketika ia akhirnya menjelma, kita pun merasa puas meski hanya sesaat. Sesaat saja karena kemudian sering kali kita menemukan lubang yang menganga dan ingin segera menambalnya. Karena itu karya kerap jadi perjuangan tanpa ujung.

Karya adalah penanda. Karenanya seorang akan diingat. Karenanya seseorang akan dihargai. Jadi bila belum juga punya karya hari ini: menangislah lalu bergebas meneguhkan hati untuk memulai.(*)

Getir Pagi

pada jendela
yang menyelundupkan
sinar keemasan pagi hari
suara bocah bersiap sekolah
dan seru seruan penjaja roti
kubisikan sebait resah
: ini hari akankah berbeda?
pagi terus berganti, datang pergi
kaki masih saja terpatri, di sini
tak beranjak barang setindak
harapan, impian
kian nyata terkuburkan
bernisankan hampa dan patah harapan
lembar almanak terus tersobek
kian melebarkan luka nyeri bernanah
pada kaca jendela itu
masih tampak nyata
saat kau pergi dengan sebuntal cinta
tinggalkanku sendiri
mati, berkali-kali(*)

Katresna Ngalakay

kalakay mahoni mancawura
katebak angin panungtung usum katiga
di langit jurueun lembur
aya mega nu nyumputkeun hujan
di lamping pasir ieu
aya teuteup nu beueus cimata
: hampura, enung!
ukur kuat kedal sakitu
dada kaburu ditonjok rumasa: lalaki hengker taya kawani
ah, moal rek baha
jungkrang lungkawing
rempan nyorangna
cinta, kayakinan:
lain pilihan nu bisa dibenturkeun
sarangenge meh surup
guludug meupeus kasimpe langit
pras pris girimis
cimata anjeun geus titadi banjir
hapunten, jungjunan!(*)

23 Februari 2009

Pakarangan

ukur tangkal jambu jeung balingbing
taya ros, taya malati
sacangkewok, salega dius implengan
jadi kanvas pangudar lamunan
nu laluncatan tina dongeng jeung lambaran carita
kuring, anjeung, sauyunan: sasaungan, teterekelan, ucing-ucingan
kiwari urang pajauh
kajiret pinasti sewang sewangan
naha anjeun masih inget
buruan ipukan panineungan(*)

Tanya Tentang Hidup

pernah kau dibuat termangu
pada sore yang kusam
tanya mengetuk-ngetuk hatimu: kita hidup untuk apa?

kau lalu dibuat tercekam
di meja kerja
atau di tengah macet jalanan
tamu itu membangkitkan gundah
mengantarmu segera menjejerkan hari-hari
kemarin tanpa arti
esok hilang janji

atau kau segera dipaksa berpaling
mengambil sesuci dan bersungkur di malam sepi
mengadukan dosa dan rasa tak berdaya
tapi hanya malam itu
esok dunia abu merangkulmu lagi
kau pun segera lupa semua
harimu pun kembali sama: datar tanpa asa

pernahkah kau dibuat nanar
oleh bayangan datang
menyerbu kesadaran: alangkah cepat hidup berlari
membuatmu hilang pijakan
sedang bahumu dibebani gundah, resah,
tak sudah sudah(*)

Basa Layung Hibar

basa layung hibar
meberkan endah
urang teu malire
ukur seuri garogonjakan
mandi kesang, guyang kesenang
sore salawasna sampurna
di tempat eta: lapangan hareupeun kaum
maen bal, baren, ucing-ucingan

basa dur bedug
urang rikat kacai
teu mandi, ukur susuci
jadi ma'mum bau kesang
pa ustad, nu ngawuruk ngaji ba'da magrib,
mindeng kukulutus: mere nasehat soal kasucian
tapi urang teu malire
isukan lulumptan deui, maen bal deui

duh, pangalaman endah
dongengkeunen ka anak incu
pososore kiwari
lapangan masih rame
tapi bada magrib, masigit sepi nu ngaji(*)

Menanam Dosa

bila hari kian beranjak
dan cahaya keemasan membelai kulit
akankah semua sempurna?
maaf, mungkin tidak
biduk kita hanyalah kertas
yang siap dihanguskan percikan kecil
padahal kita nyaris serupa
mengubur dosa dimana-mana: menjadi api dalam sekam
menunggu waktu untuk diingat
nanti
akan tinggal hanya perih
saat kita berdiri di tubir itu
yang ada hanya dilema
kejujuran, kebohongan, tak akan lagi berbeda
hanya mengiring kejatuhan: dengan keras atau hingga remuk(*)